Mohon tunggu...
Refa Fadola
Refa Fadola Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas Negeri Semarang angkatan 2023

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tradisi Kirab Pusaka Malam 1 Suro Keraton Kasunanan Surakarta

16 Desember 2024   21:30 Diperbarui: 16 Desember 2024   20:34 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Latar Belakang

Tradisi adalah kebiasaan atau perilaku yang diteruskan dari generasi ke generasi dan tetap dijalankan dalam masyarakat. Tradisi ini tetap terjaga karena adanya komunikasi, baik secara lisan maupun tulisan, yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Salah satu tradisi yang masih hidup meski di tengah modernisasi adalah Kirab Pusaka Malam 1 Suro yang diadakan oleh Keraton Kasunanan Surakarta. 

Kirab Pusaka Malam 1 Suro adalah ritual sakral yang digelar setiap tahun pada malam menjelang tanggal 1 Muharam dalam kalender Hijriah atau yang dikenal sebagai 1 Suro dalam penanggalan Jawa. Tradisi ini melibatkan prosesi arak-arakan pusaka keraton, seperti tombak dan gaman (senjata tradisional), yang dianggap memiliki nilai historis, spiritual, dan simbolis yang tinggi. Prosesi ini juga diiringi oleh doa dan ritual khusus, mencerminkan perpaduan antara kepercayaan Islam dan tradisi lokal Jawa. 

Prosesi kirab ini dimulai dengan upacara di dalam keraton dan kemudian diarak mengelilingi kompleks keraton dan beberapa jalan utama di kota Solo. Masyarakat dari berbagai kalangan ikut serta dan menyaksikan kirab ini, menunjukkan adanya rasa kebersamaan dan kebanggaan terhadap warisan budaya mereka. Kirab Pusaka Malam 1 Suro menjadi simbol kekuatan tradisi yang mampu beradaptasi dengan modernitas tanpa kehilangan esensi aslinya. 

Penelitian ini bertujuan untuk menggali lebih dalam tentang makna dan proses pelaksanaan Kirab Pusaka Malam 1 Suro. Dengan demikian, diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam upaya pelestarian budaya dan meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya tradisi ini. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengungkap upaya pelestarian tradisi di tengah tantangan modernisasi.

Pembahasan

Menurut masyarakat Jawa, istilah asyura dalam bahasa Arab memiliki arti kesepuluh, yang merujuk pada tanggal 10 bulan Sura yang menjadi awal perhitungan dalam kalender 5 Jawa. Sementara itu, masyarakat Islam menyebut bulan tersebut sebagai Muharram. Malam 1 Suro sering dikaitkan dengan suasana mistis dan kegiatan spiritual. Di lingkungan Keraton Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, bulan Suro dianggap sebagai bulan yang suci atau banyak keberkahan. Ini berarti bahwa selama bulan Suro, individu diharapkan untuk merenungkan diri, memanjatkan doa, dan menjalankan laku memohon ampunan dan petunjuk, yaitu mendekatkan diri kepada Tuhan YME. Bagi separuh masyarakat, mereka tidak diperbolehkan untuk bepergian selain untuk berdoa atau melaksanakan ibadah lainnya pada malam satu Sura (Aryanti & Zafi, 2020). 

Masyarakat Jawa merayakan Satu Sura sebagai awal tahun baru mereka (Arfendita, 2010). Perayaan ini dilakukan melalui berbagai ritual, seperti puasa, semedi, kungkum, serta berjalan mengelilingi keraton dengan diam. Mereka juga berkumpul di kuburan dan tempat sakral, disertai dengan selamatan dan tidak tidur semalaman. Dalam pelaksanaannya, mereka berpegang pada sikap prihatin, memohon ampun, dan meminta petunjuk Tuhan agar selalu dalam keadaan selamat dan terhindar dari bencana.

Kegiatan kirab pusaka ini dilaksanakan dengan memakai peralatan yang memiliki makna atau pesan yang bisa dimengerti dan diinterpretasikan kepada masyarakat. Makna yang terkandung dalam peralatan tersebut berfungsi menjadi tanda atau simbol yang kaya akan pengertian, yang bisa digunakan untuk pelajaran dalam hidup manusia. 

Upacara ini menyampaikan berbagai pesan yang mendalam. Ini membuktikan bahwa simbol atau tanda yang digunakan memiliki nilai yang signifikan. Kirab pusaka juga bermakna untuk mendorong manusia guna memperoleh keselamatan. Kirab memiliki makna filosofis yang mencerminkan keselarasan dan harmoni antara dunia dan manusia, sebagai upaya manusia untuk mencapai kehidupan yang tentram dan aman, berlandaskan sifat-sifat ilahi. Keseimbangan dan harmoni ini diciptakan melalui praktik kosmisreligius magis, khususnya dalam bentuk kirab pusaka, yang pada dasarnya melambangkan keselamatan dan ketenteraman (Wiseso, 2013). 

Kirab Pusaka ini juga mencerminkan nilai gotong royong dan kebersamaan. Dalam pelaksanaannya, masyarakat Keraton, baik abdi dalem maupun warga sekitar, ikut berpartisipasi secara aktif. Keterlibatan bersama dalam menyukseskan kirab ini menunjukkan pentingnya rasa solidaritas dan kerjasama dalam menjaga kelangsungan tradisi budaya. Tiap orang merasakan kewajiban untuk memelihara serta melestarikan warisan-warisan yang mewakili kemuliaan Keraton. Warisan tersebut juga merupakan sebagian penting dalam identitas budayanya. 

Selain nilai spiritual dan gotong royong, Kirab Pusaka Malam 1 Suro juga memiliki makna sebagai sarana untuk menjaga keberlangsungan budaya lokal. Dalam era globalisasi, di mana banyak tradisi lokal yang mulai tergerus oleh pengaruh luar, kirab ini menjadi sebuah bentuk perlawanan terhadap hilangnya nilai-nilai budaya tradisional. Melalui kirab ini, masyarakat diajak untuk lebih mengenal dan mencintai budaya Jawa, serta merasa bangga akan warisan leluhur yang telah ada sejak ratusan tahun lalu.

Pelaksanaan Kirab Pusaka di Keraton Kasunanan Surakarta dimulai dengan persiapan pada sore harinya, di mana para abdi dalem menyiapkan pusaka-pusaka yang akan dikirab serta melakukan pendaftaran. Para petugas mengenakan pakaian tradisional, termasuk 9 blangkon, jarik, dan beskap hitam. Kirab diawali dengan acara Wilujengan Haul, di mana dilakukan doa bersama untuk mengenang almarhum Paku Buwono X. Setelah itu, Kerbau Kyai Slamet dipersiapkan dan dibawa ke halaman Keraton sebagai pembuka acara. Rangkaian pusaka yang dijaga oleh abdi dalem dimulai pada pukul 00:00 WIB, disertai dengan iringan gamelan dan tembang Ladrang Wilujeng. Kirab dimulai dari Keraton dan berkeliling di sekitar area Keraton, dengan pengaturan jarak antar rombongan pusaka yang sangat ketat. Prosesi berlangsung dengan khidmat dan penuh kesakralan hingga kembali ke Keraton pada pukul 03:00 WIB pagi. 

Masyarakat umum biasanya turut hadir untuk menyaksikan kirab ini dari sisi jalan. Tradisi ini tidak hanya menjadi ajang spiritual, tetapi juga menjadi daya tarik budaya dan wisata yang unik. Pengunjung dari berbagai daerah kerap hadir untuk melihat langsung kekayaan tradisi Jawa ini. Kirab Pusaka Malam 1 Suro mencerminkan filosofi mendalam masyarakat Jawa tentang kebersihan lahir dan batin, penghormatan terhadap leluhur, dan keberlanjutan nilai-nilai adat. 

Pada pagi hari, acara dilanjutkan dengan Tirakatan, di mana gunungan (tumpeng besar) berisi hasil bumi disiapkan untuk diperebutkan oleh masyarakat. Kegiatan ini dilaksanakan pada pukul 09:00 pagi setelah pihak Keraton memberikan doa dan kata sambutan. Acara Kirab Pusaka dan Tirakatan merupakan bagian penting dari tradisi 1 Suro yang melibatkan seluruh kerabat dan abdi dalem Keraton.

Foto Kirab Pusaka Malam 1 Suro Keraton Kasunanan Surakarta (Sumber: Milik Refa Fadola pribadi)
Foto Kirab Pusaka Malam 1 Suro Keraton Kasunanan Surakarta (Sumber: Milik Refa Fadola pribadi)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun