Mohon tunggu...
Kiki Rizki Rahmawati
Kiki Rizki Rahmawati Mohon Tunggu... -

Seorang lulusan IT yang lebih sering melahap buku-buku psikologi, penggemar buku dan audio motivasi. Dan selalu ingin mencari tahu banyak hal, di Universitas Kehidupan ini.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Andai Orangtuaku Bukan Mereka

15 Juni 2011   05:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:30 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tadi siang, aku menonton film Coraline. Film itu bercerita tentang seorang anak bernama Coraline yang tinggal di rumah baru yang berada di luar kota bersama orang tua yang super sibuk. Orang tua yang menurutnya sangat tidak ideal. Ayah ibunya seorang penulis yang sibuk, disiplin, mandiri dan terkesan cuek. Bahkan saking sibuknya, mereka pun harus berbagi tugas secara adil. Ayah yang memasak dan ibu membersihkan rumah. Menurut Coraline, itu sangat tidak lazim dan tidak menyenangkan baginya.

Ia ingin sekali memiliki orang tua yang ideal. Menurutnya, orang tua ideal adalah orang tua yang selalu menuruti dan memenuhi semua keinginannya. Ibunya harus pandai memasak, ayahnya harus lucu dan selalu menyediakan waktu untuk bermain dengannya. Coraline juga ingin bermain dan berpetualang sepuasnya tanpa larangan dari mereka. Pokoknya dia ingin selalu bersenang-senang dan hidup bebas.

Sampai akhirnya pada suatu malam dia bermimpi. Bermimpi berada di rumah yang sangat mirip dengan rumahnya dan orang tua yang mirip dengan orang tuanya. Hanya saja, mereka bermata kancing. Bahkan semua penghuni rumah dan lingkungannya bermata kancing. Mereka menyebut diri mereka, “orang tua Caroline yang lain”. Ibu Caroline yang lain sangat lembut, baik, pandai memasak makanan yang lezat dan selalu membolehkan Caroline bermain dan bersenang-senang sepuasnya. Sementara ayah Caroline yang lain, pandai bermain piano, suka melucu, selalu mengajak Caroline bersenang-senang dan memenuhi semua keinginannya. Benar-benar orang tua ideal dan berbeda jauh dari orang tua Coraline yang asli.

Awalnya Coraline sangat bahagia bersama mereka. Dia ingin tinggal di sana selamanya. Tapi, keadaan berubah sejak dia tahu bahwa ada satu syarat yang harus dipenuhi jika dia ingin tinggal di sana. Yaitu, dia harus rela mencopot kedua matanya dan diganti dengan mata kancing! Mata yang serupa dengan orang tua Coraline yang lain. Tentu saja hal itu membuat Coraline sangat terkejut. Dia tidak ingin matanya diganti dengan mata kancing, apalagi harus dijahit dengan benang kasur yang sangat besar dan tajam. Itu sangat mengerikan!

Coraline berusaha menghindar dan ingin kembali ke rumahnya yang asli. Dia ingin pergi tidur dengan harapan begitu dia bangun, dia bisa kembali ke rumahnya dan bersama orang tuanya yang asli. Tapi, ternyata dia sama sekali tidak bisa tidur dan orang tua Caroline yang lain dan menurutnya ideal itu, berubah menjadi monster yang sangat mengerikan. Dia ingin mengganti mata Coraline dengan mata kancing dan menculik orang tua Coraline yang asli serta menyembunyikan mereka di dalam sebuah bola kristal mainan milik Coraline.

Akhirnya, pertempuran pun dimulai. Coraline harus berhasil menemukan 3 pasang mata anak-anak yang diculik dan diambil jiwanya oleh orang tua Coraline yang lain. Pertempuran berlangsung sangat seru dan menegangkan. Walaupun Coraline berhasil menemukan 3 pasang mata anak-anak tersebut, tapi masih ada satu masalah lagi. Yaitu, dia harus memusnahkan kunci yang menghubungkan antara pintu rumahnya yang asli, dengan pintu rumah impiannya dimana orang tua Caroline yang lain tinggal.

Akhirnya, dia berlari menuju ke sebuah sumur tua yang berada jauh dari rumahnya dan berusaha membuang kunci tersebut ke sumur setelah bertarung dengan tangan monster ibu palsunya. Usahanya berhasil setelah dia dibantu oleh temannya yang bernama Wybern. Ketika dia kembali ke rumahnya, ternyata mainan bola kristalnya pecah dan mengotori lantai. Saat itulah, Coraline terbangun dari tidurnya. Orang tua Coraline pulang dari berbelanja dan ketika mereka melihat mainan itu pecah, ibunya langsung mengomel dan menasihati Coraline agar tidak ceroboh lagi.

Tapi, walaupun Coraline dimarahi orang tuanya, dia sangat bahagia karena akhirnya dia bisa bertemu dan tinggal bersama orang tuanya yang asli. Dia tidak lagi berpikir untuk mencari orang tua yang lain lagi. Karena dia akhirnya sadar bahwa, walaupun mereka bukanlah orang tua ideal, tapi mereka tetaplah orang tua yang terbaik untuknya. Dan orang tuanya ternyata tidak seburuk yang ia duga selama ini. Mereka tetaplah orang tua yang sangat perhatian, meski mereka punya cara tersendiri dalam mengekspresikan perhatian mereka pada Coraline. Orang tua Coraline juga tidak bermaksud untuk bersikap kaku dan cuek, bahkan mereka sayang pada Coraline. Mereka hanya ingin Coraline menjadi anak yang mandiri dan disiplin meski kurang tepat penyampaiannya. Pada akhir film, orang tua Coraline pun akhirnya belajar dan berusaha untuk menjadi orang tua yang lebih baik dan menyenangkan. Dan Coraline sangat bahagia memiliki orang tuanya yang sekarang.

Hikmah dari cerita tersebut adalah, bahwa...

Orang tua kita mungkin tidak sesempurna yang kita impikan. Mereka mungkin tidak selalu memenuhi semua keinginan kita, tidak memberi kebebasan seperti yang kita harapkan, suka memberi perintah yang tidak kita inginkan, suka melarang kita melakukan hal-hal yang kita sukai, kaku, otoriter, pokoknya ngga ideal menurut kita. Tapi, mereka tetaplah orang tua yang terbaik yang diberikan Allah untuk kita.

Setelah aku renungkan lebih dalam dan ku pahami lebih jauh. Aku paham bahwa, seandainya orang tuaku bukanlah mereka, mungkin hidupku takkan sebaik yang aku jalani hari ini.

Seandainya bapakku tidak mengolok-olok kesukaanku membaca dan mengoleksi buku, mungkin aku takkan se-delight ini terhadap buku. Seandainya orang tuaku tidak mencibir tingkah laku-ku dan melarangku ikut Rohis, mungkin aku takkan sehati-hati ini dalam bertindak sebagai seorang muslimah. Seandainya orang tuaku tidak melarangku memakai jilbab besar (padahal menurutku jilbabku tidak terlalu besar), mungkin aku takkan sekuat ini mempertahankan jilbabku. Seandainya orang tuaku tidak melarangku ikut kajian mentoring islam, mungkin aku takkan pernah sekuat ini memegang komitmen untuk terus mengkaji keislaman secara utuh. Seandainya orang tuaku tidak berusaha menjauhkan aku dari HPA, mungkin aku takkan bisa sedekat ini merasakan indahnya hidup sehat sesuai syariat dan ekonomi Islam yang kaffah.

Seandainya orang tuaku tidak mencela, bahkan menjatuhkan organisasi dakwah yang aku ikuti selama ini, mungkin saja aku tidak akan punya militansi yang lebih untuk membuktikan kesetiaanku dan saudara-saudariku pada keimanannya dan komitmen-komitmen kebaikannya. Aku dan saudara-saudariku memang bukan muslim yang sempurna dan ma’shum. Tapi, diantara sekian banyaknya kelemahan dan keterbatasan kami sebagai manusia, kami akan membuktikan bahwa kami akan selalu berusaha menjadi muslim/ah yang kaffah dan istiqomah di jalan Allah.

Dan seandainya orang tuaku bukan mereka, belum tentu hidupku sebaik hari ini.

Aku mungkin akan menjadi orang yang “seadanya” dalam mengkaji keislaman, menjadi muslimah yang tidak peduli akan nilai-nilai Islam dalam keseharian, merasa “cukupan” dalam beribadah, tidak punya spirit untuk berakhlak baik, hanya “sekedar prihatin” terhadap keadaan sesama muslim, tidak memiliki kebanggaan menjadi seorang muslim, tidak punya semangat juang untuk menjadi muslimah yang lebih baik dari hari ini, yang berusaha untuk kaffah dan istiqomah, dan tidak mau take action untuk mengubah keadaan yang buruk menjadi lebih baik dengan amal jama’i.

Walaupun aku masih jauh dari sempurna dan aku tahu sangat sulit untuk meraih kesempurnaan itu, tapi aku akan tetap berusaha untuk meraihnya.

Karena akhirnya aku sadar bahwa, memiliki orang tua seperti mereka, adalah satu cara Allah swt mendidik aku agar aku menjadi muslimah yang lebih tangguh dalam menjalani kehidupan. Dan sebagai hamba Allah, kita tidak boleh menyombongkan tingginya tingkat keimanan kita saat ini. Kita juga tidak boleh merasa aman dan tahan dari gangguan setan. Justru semakin tinggi tingkat keimanan kita, setan-setan yang menggoda akan semakin gencar dan kuat dalam menjerumuskan kita pada keburukan.

Tapi, tak usah khawatir. Kita khan masih punya Allah swt.

“Hanya kepada Allah-lah kita mencukupkan diri. Hanya kepada-Nya-lah kita menyerahkan segala solusi dari semua masalah kita. Karena hanya Dia-lah yang mampu menyelesaikan semua urusan-urusan kita. Maka aku yakin, jika aku bergantung sepenuhnya pada Allah, maka tak ada urusan yang sulit untuk diselesaikan. Tak ada impian, yang sulit untuk dicapai. Dan tak ada hati yang keras, yang sulit untuk dilembutkan. Semua pasti bisa diselesaikan dengan MUDAH dan CEPAT oleh Allah swt. Hasbunallah wa ni’mal wakiil... Ni’mal maulaa wa ni’man nashiir...”

Give thanks to Allah for giving my parents like them, and I don’t wanna change them with other parents.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun