Mohon tunggu...
Masrinto Pongrambu
Masrinto Pongrambu Mohon Tunggu... wiraswasta -

A traveler yet an explorer, a dreamer yet a doers.\r\n- Let's make another friendship in twitter.com/reento & facebook.com/reento \r\n- Semua tulisan adalah pemikiran pribadi. Tidak mewakili kepentingan institusi apapun tempat penulis bekerja dan berusaha.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ramadhan, Lebaran, dan Kemiskinan Lintas Provinsi

4 Juli 2016   19:49 Diperbarui: 5 Juli 2016   13:39 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Walau tidak menjalankan puasa. Di bulan Ramadhan ini, saya ikut percaya bahwa segala bentuk pahala kebaikan akan dilipatgandakan. Sayangnya, kebanyakan orang tidak memahami bagaimana cara menuju peluang meningkatkan pahala kebaikan itu. Pintu rumah selalu tertutup. Kalau bertemu orang yang ugal-ugalan di jalan di maki-maki. Bertemu penjual keliling, barangnya ditawar dengan sadis. Yang paling menyedihkan adalah, tidak menyediakan hati dan kaki, untuk menemukan mereka yang sedang berkekurangan atau terjerembab dalam kemiskinan. Atau yang paling klasik, berkelit dan masih merasa miskin, jadi merasa tidak perlu menolong orang lain. Mungkin ada pikiran seperti ini... "Saya sendiri susah, bagaimana saya mau menolong orang lain?"

Ukuran Kemiskinan

Orang miskin akan selalu ada. Karena ukuran kemiskinan akan selalu berubah-ubah seturut dengan keadaan zaman. Di tempat yang lebih beradab, kemiskinan mungkin hanya sekedar soal kebutuhan sekunder. Atau pun “hanya sekedar” pakaian dan tempat tinggal yang kurang bagus.

Di Indonesia, ukuran kemiskinan rasanya masih jauh dari kata manusiawi. Lantai tidak di semen, dinding rumah tidak permanen, dan atap rumah yang masih alamiah dan mudah bocor, seperti dari daun rumbai, dan lain-lain.

Tapi yang terburuk dari soal kemiskinan di Indonesia, bukanlah soal ukuran kemiskinan. Namun, dari cara pemerintah menangani kemiskinan, dan dari cara masyarakat menanggapi keadaan sosial di sekitarnya.

Kurang Tanggapnya Kita Terhadap Kemiskinan

Kemiskinan bisa dikurangi, tapi bisa juga beranak-pinak. Anak-anak yang lahir dari keluarga-keluarga yang miskin, bisa jadi tetap miskin setelah mereka dewasa. Tentu saja saya tidak berharap seperti itu keadaannya. Saya berharap orang-orang yang terlahir miskin, akan dapat bangkit dan keluar dari kemiskinan, seiring dengan pertumbuhan mereka menjadi orang dewasa.

Saya teringat akan ucapan, bahwa terlahir miskin bukanlah salah kita. Namun jika kita mati miskin, maka itu adalah kesalahan kita sendiri.

Ucapan itu sepertinya cukup baik. Tapi bagi manusia yang beragama dan bermoral, tentu tidak akan pernah sampai hati membiarkan kemiskinan di sekitarnya terus berlangsung, tanpa ia sendiri turut terlibat untuk menangani hal tersebut.

Kemiskinan Lintas Provinsi, dari Kabupaten Brebes - Jawa Tengah, menuju Kota Depok - Jawa Barat

Depok seharusnya menjadi kota yang sejahtera seutuhnya. Bahkan ada plesetan, bahwa Depok adalah singkatan dari Daerah Elit Pinggiran Orang Kota. Hal itu mungkin terinspirasi dari fakta bahwa Depok adalah kota satelit di sekitar Jakarta, yang memiliki tingkat kehidupan yang lebih baik, dibanding wilayah satelit Jakarta yang lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun