Sudah lama rasanya nggak menulis di Kompasiana. Tiba-tiba kepengin lagi, gara-gara mulai maraknya perbincangan mengenai calon presiden Indonesia 2014. Padahal tadinya, saya berusaha benar untuk nggak menulis soal-soal politik. Terlalu berat rasanya. Kayak nggak menikmati hidup.
Cuma karena gatal dan pengin beropini, jadilah saya menulis soal ini melalui Kompasiana. Barangkali opini saya bermanfaat, barangkali bisa jadi pertimbangan, atau modal berpikir untuk mengasah pemikiran politik pembaca semua.
Buat saya, bangsa Indonesia masih terlalu hijau untuk berpolitik dan berdemokrasi dengan 'baik dan benar.' Transfer ilmu berpolitik masih berlangsung secara tradisional, berdasarkan keturunan, golongan, latar belakang, pencitraan, maupun kemasan. Nggak heran hasilnya, orang-orang yang kita pilih bukan orang-orang terbaik yang kita punyai. Saya nggak nyalahin rakyat Indonesia kok. Kita semua cenderung buta politik karena sejarah membuat kita begini.
Namun tahun depan, bagi saya, ini adalah momentum paling tepat untuk kita menentukan nasib bangsa Indonesia: Apakah memang kita bodoh dan nggak mau berubah, atau kita bisa move on dan berpolitik secara lebih cerdas dan beretika.
Satu yang perlu kita ingat. Kita punya hak untuk memilih. Itulah dasar dari demokrasi. Jadi pada saat kita tidak memilih, atau memilih dengan terpaksa, atau memilih karena iming-iming ini-itu, artinya kita mencederai demokrasi. Dan ketika demokrasi cedera, kita berarti mencederai Indonesia. Dan saat Indonesia cedera, berarti sakitnya ditanggung semua. Betul kan?
Kembali ke Pemilu 2014 sebagai momentum. Sekarang ini lagi seru pembicaraan mengenai bursa calon presiden. Rame bener! Beberapa tokoh bahkan makin hari popularitasnya makin tinggi. Semua sah-sah saja dilakukan oleh mereka-mereka yang memang mengincar kursi RI 1.
Konon, untuk bisa menjadi presiden Indonesia, seseorang butuh modal 5M. bukan lima miliar ya. Angka itu terlalu kecil. Yang dimaksud 5 M itu adalah: Militer (didukung militer), Media (didukung media), Mahasiswa (didukung kaum terpelajar), Massa (punya basis massa) dan terakhir tapi terpenting adalah MONEY (didukung duit bejibun--biasanya sih pengusaha).
Tapi masak iya sih? Nah, inilah momentum kita untuk 'membalikkan keadaan'. Melakukan bantahan secara berjamaah atas teori 5M lagi.
Kenapa? Karena dasar tegaknya demokrasi adalah penegakan hukum yang tidak pandang bulu. Hukum yang tetap menang di hadapan 5M tadi. Sayangnya sejarah kita bahkan sampai detik ini, menunjukkan kalau hukum kita masih kalah di hadapan 5M itu. Militer masih banyak yang seenaknya melanggar aturan. Kaum terpelajar kelakuannya sama sekali nggak terpelajar. Media massa bisa dimainkan. Jangan juga ditanya kelakuan orang yang punya massa ataupun pengusaha ya. Ya, hukum kita masih bisa dibeli. Murah lagi!
Lalu bagaimana kita bisa lepas dari situasi ini? Kita butuh sosok yang melek hukum. Sosok yang menyanjung hukum, yang menjadikan hukum sebagai senjata pamungkas dalam menahkodai Indonesia. Bukan senjata atau kekuatan militer, bukan uang, bukan nilai-nilai normatif teoritis, bukan pula banyaknya massa.
Kita pernah dipimpin militer. Kita pernah dipimpin teknokrat. Kita pernah dipimpin ketua partai dengan jumlah massa besar. Tapi kesemuanya masih saja mengkondisikan hukum menjadi loyo.
Jadi sekali lagi, kita butuh pemimpin yang punya latar belakang hukum kuat. Yang melihat segala sesuatu secara adil. Bukan demi wong cilik, juga bukan demi melanggengkan hidup orang kaya. Bukan demi orang yang punya banyak massa, bukan pula demi penguasa. Tapi demi bangsa, memandang semuanya sama.
Jadi menurut saya, lupakan dulu tokoh berlatar belakang militer, atau pengusaha, atau pemimpin massa, atau kaum terpelajar. Latar belakang, pengalaman dan kerangka berpikir mereka tidak didukung pemahaman terhadap hukum yang kuat. Mungkin sebagian dari mereka baik, tapi untuk 2014, mereka belum yang terbaik.
Pemilu 2014 adalah pondasi kita berdemokrasi dengan lebih cerdas dan beretika. Dan untuk menciptakan pondasi kuat, kita butuh pemimpin yang kuat dalam menegakkan hukum.
Mumpung kita punya waktu, silakan pelajari latar belakang kandidat-kandidat yang namanya bertebaran di media massa belakangan ini. Sekalian belajar menghargai hak memilih yang kita punya sebaik-baiknya.
Dengan pemikiran seperti yang saya tulis di atas, sebenarnya sudah punya calon yang saya harapkan bisa jadi presiden 2014 nanti. Tapi jelas, dia bukan Farhat Abbas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H