Sudah satu tahun lebih lamanya kita berjibaku dengan pandemi Covid-19 dan kelihatannya belum ada titik terang sampai saat ini. Virus Corona telah memutar-balikkan kehidupan normal yang sebelumnya biasa kita nikmati tanpa menyadari sedikit rasa syukur. Jutaan nyawa telah direnggut di seluruh dunia dan puluhan ribu di Indonesia. Dampak pembatasan sosial, lockdown, dan resesi ekonomi menghantam jutaan orang yang mengakibatkan kehilangan pekerjaan, sumber pendapatan, dan menambah kemiskinan. Terutama bagi generasi muda lulusan baru yang berharap mendapat pekerjaan dan ingin meniti karir, lenyap begitu saja. Jutaan orang kehilangan pekerjaaan dan menjadi pengangguran dan saya salah satu diantaranya.
Saya memperoleh gelar Sarjana pada Januari 2020. Walaupun sebelum pandemi bursa kerja memang sudah sangat ketat, sebagai seorang lulusan baru tentunya saya sangat bersemangat dan penuh akan optimisme. Dua bulan saya aktif mencari pekerjaan, pada maret 2020 kasus pertama Covid-19 ditemukan. Dampak ekonomi akibat pandemi dan pembatasan sosial adalah yang paling pahit dirasakan bagi saya dan jutaan orang lainnya. Kehilangan pekerjaan, pendapatan, kesempatan kerja, minimnya lowongan, banyak perusahaan dan usaha kecil bangkrut adalah beberapa diantaranya.
Tahun 2020 seharusnya menjadi landasan saya untuk take off, namun siapa yang tahu akan ada pandemi. Saya mungkin merasa sedikit self-pity terhadap kesulitan yang saya hadapi, namun jika sedikit mawas diri saya tergolong yang lumayan beruntung, mengingat banyak orang di luar sana yang menghadapi situasi yang lebih sulit. Setidaknya saya tidak terlilit utang, masih punya sedikit tabungan, masih bisa kerja sebagai taksi online yang sudah saya lakukan semenjak kuliah, dan terutama masih diberikan kesehatan oleh Tuhan.
Mencari pekerjaan seperti mencari jarum di tumpukkan jerami, mendapatkannya saja seperti memenangkan lotre atau undian. Saya sudah melakukan berbagai trik seperti memperbaiki CV, ikut pelatihan, kursus online, tidak pilih-pilih pekerjaan. Pada akhirnya saya selalu menatap layar smartphone, doomscrolling, refresh, Email dan aplikasi pencari pekerjaan berharap ada yang nyangkut.
Sampai detik ini saya masih menganggur, di ruangan saya meratapi masa depan yang suram dan apa yang harus saya lakukan selanjutnya. Akhir-akhir ini sebuah ide terlintas di pikiran saya untuk menulis blog di platform online dan mungkin itu bisa menjadi langkah pertama untuk mendapat pekerjaan, dimulai dengan tulisan ini dengan “4 pelajaran hidup yang saya pelajari saat pandemi”
Kegigihan
Hal ini mungkin sangat jelas, sudah sering kita temukan di artikel, buku self-help, dan motivasi oleh tokoh publik. Dalam istilah bahasa Inggris dikenal sebagai grit, perverance, atau resilience yaitu kemampuan kita untuk gigih dan tabah untuk mengahadapi masa sulit. Secara kepribadian saya tidak selalu memiliki sifat ini namun itulah alasan mengapa kita harus melatih kegigihan. Jika saya menghadapi hari yang buruk seperti, ditolak kerja, tidak kunjung mendapat panggilan interview, sepi penumpang/pelanggan saya tidak punya banyak pilihan melainkan menerimanya dan melakukannya lagi sampai saya berhasil. Menurut saya itulah wujud dari kegigihan.
Jaga Hubungan
Sangat penting untuk menjaga hubungan keluarga dan pertemanan. Alasan saya masih bertahan sampai saat ini karena adanya keluarga dan teman yang masih mendukung dan saling membantu. Terkadang di masa sulit ini kita butuh pertolongan dan rasa malu maupun ego harus dikesampingkan karena kita makhluk sosial yang butuh satu sama lain.
Mensyukuri Hal-Hal Kecil
Pandemi ini mengajari saya untuk menghargai hal-hal kecil namun sangat berharga seperti makan dan minum, sehat jiwa dan raga, tidur nyenyak, udara segar, sinar matahari, interaksi dengan teman, orang tua, dan tetangga Saya selalu berkata kepada diri saya; mungkin suatu hari nanti saya tidak akan menikmati hal-hal tersebut lagi, tidak semua orang dapat menikmatinya, setidaknya saya harus menghargai segala hal yang saya peroleh sekarang. Menyadari hal tersebut membuat kita lebih rendah diri.