Mohon tunggu...
Redha Mardhatillah
Redha Mardhatillah Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Steps to change

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengajarkan Anak Membaca: Mama, Aku Suka Membaca Diriku Sendiri

22 September 2023   17:30 Diperbarui: 22 September 2023   17:31 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Aku nggak mau baca itu, Miss!" Ucap salah seorang murid saya ketika saya memintanya membaca selembar kertas berisi cerita, sembari menyilangkan tangan di dada, ia memalingkan tubuhnya layaknya sedang merajuk. Wajahnya cemberut dengan pipi yang merona alami. Lucu sekali, bukan? Iya, lucu memang, asalkan itu tidak terjadi setiap hari. Coba bayangkan hal itu terjadi setiap Anda harus mengejar target supaya dia bisa membaca. Saya jamin Anda juga akan ikut kesal.

Menjadi guru pendamping anak-anak istimewa atau menjadi seorang shadow teacher bukanlah hal yang mudah. Ada kalanya Anda harus membawa stok kesabaran dari rumah sedari pagi hari. Masalah-masalah yang terjadi di rumah, mending ditinggal di rumah aja, karena di sekolah Anda akan menghadapi masalah lain.

Tidak hanya menguras emosi, menjadi shadow teacher juga menuntut Anda untuk menguras energi dan butuh stamina yang kuat. Karena ada kalanya Anda harus berhadapan dengan anak dengan masalah perilaku seperti nggak mau diam, nggak mau masuk kelas, nggak mau belajar, bahkan tantrum. Capek banget, tapi sayang sama anaknya.

Bicara tentang belajar membaca untuk anak yang masih kurang fokus, tentu merupakan hal yang membutuhkan usaha lebih. Karena untuk membaca, membutuhkan konsentrasi dan kontak mata yang lebih lama untuk menatap tulisan. Belum lagi anak yang tidak mau diam atau hiperaktif. Tentunya fokus menjadi PR utama untuk menunjang pendidikan formal mereka.

Beberapa kali saya sudah mencoba untuk memberikan bacaan pada anak yang saya tangani. Mulai dari cerita yang ada di buku sekolah, buku cerita, bahkan majalah anak. Nyatanya tidak membuat anak itu tertarik dan mau membaca. Yang ia mau hanya melihat gambar-gambar yang ada di buku, menunjuk-nunjuknya, dan bertanya "Miss, apa tu?". Kemudian akhirnya dia jawab sendiri dengan nada bertanya, "ular? Iya? Iyaa ulaarr.." wkwkwk

Gemas namun juga geram. Sering sekali saya cemas, "ini anaknya bisa nggak ya pas ujian nanti?" Meskipun ia ujian tetap dibantu nantinya karena kondisinya yang slow learner, tapi melihat ia ketinggalan jauh dari teman-teman sekelasnya juga membuat kita tidak enak hati.

Tapi, suatu hari saya mencoba untuk membuat serangkaian kalimat di buku tulisnya. Saya menuliskan cerita tentang anak itu, menggunakan namanya, mama dan papanya, kakaknya dan orang-orang yang ada di sekitar anak tersebut. Hal itu membuat anak itu tertarik untuk membaca. Meski hanya tulisan di kertas menggunakan pensil, anak itu mau membaca apa yang saya tulis. Padahal, sebelumnya ia tidak mau membaca jika buku itu tidak ada gambarnya. Itu pun kalau dia mood untuk membaca.

Setelah kejadian itu saya mencoba untuk membuat cerita tentang kesukaannya. Karena anak itu suka dinosaurus, saya menceritakan dinosaurus sembari melibatkan anak itu di dalam cerita, seperti;

 "Jojo sangat suka dinosaurus. Mama sering membelikan Jojo mainan dinosaurus. Dinosaurus yang Jojo suka adalah Tyrannosaurus," 

Si anak akan excited tatkala ia menemukan namanya di dalam cerita. Ia juga bisa menghubungkan cerita dengan kejadian asli yang ia alami.

Selain tertarik dengan namanya, anak juga tertarik ketika kita memberikan afirmasi atau pujian positif di dalam cerita. Misalnya:

 "Abi adalah anak yang rajin. Dia sangat suka membantu ibunya. Abi juga anak yang bertanggung jawab. Dia selalu membereskan mainannya setelah bermain"

Meski kenyataannya si anak adalah kebalikan dari cerita yang kita buat, namun cerita itu akan mendorong anak untuk melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan. Dengan menggunakan nama mereka sebagai pelaku dalam cerita, akan menanamkan pesan-pesan dalam diri mereka dengan kalimat-kalimat positif yang kita tulis.

Mulai dari sana saya sadar bahwa ada kalanya pembelajaran membaca dan menulis seharusnya difokuskan pada diri anak-anak. Bukan selalu perihal "ini Budi, ini Badu, ini Boni". Barangkali sudah saatnya kita bergerak sedikit dari pola "Ini Budi" menjadi pola "Putri si anak hebat" atau "Karina si Anak rajin". 

Barangkali anak-anak yang terlihat tidak pandai membaca ternyata mereka memang belum memperoleh hal yang menarik untuk mereka baca. Anak yang baru masuk SD itu wajar tidak bisa membaca, karena tugas untuk membaca seharusnya memang dimulai dari tingkat SD, bukan TK. 

Pelan-pelan saja, Bunda. Barang kali, bukan karena anak anda lemah dalam pembelajaran membaca, hanya saja ia belum merasa tertarik dengan bacaan yang Bunda berikan.

Semangat belajar untuk kita semua!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun