Perdagangan manusia di Nusa Tenggara Timur (NTT) sangat mengkhawatirkan. Hal ini karena NTT menduduki urutan pertama di Indonesia dalam hal kasus perdagangan manusia atau human trafficking. Dalam lima tahun terakhir saja, terhitung dari tahun 2018 sampai tahun 2022 telah terjadi 2.302 kasus. Menurut Bapak Siwa selaku Kepala UPT BP2MI Bagian Nusa Tenggara Timur, pada tahun 2018 terdapat 340 kasus, pada tahun 2019 terdapat 411 kasus, pada tahun 2020 terdapat 474 kasus, pada tahun 2021 terdapat 678 kasus dan yang terakhir pada tahun 2022 terdapat 399 kasus perdagangan manusia yang terjadi di Nusa Tenggara Timur.
Selain itu melansir laman voaindonesia.com, dalam rentang waktu yang sama pemerintah Indonesia juga menerima 538 warga NTT yang pulang dalam peti jenasah. Mereka adalah para pekerja migran Indonesia yang terindikasi sebagai korban perdagangan manusia karena mayoritas PMI itu tidak memiliki surat -- surat yang resmi. Data Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) NTT mencatat pada tahun 2022 terdapat 106 PMI yang meninggal dunia, pada 2021, ada 121 PMI pulang sebagai jenazah, sementara pada 2020 ada 87 orang, 2019 ada 119 orang dan 2018 ada 105 orang.
Korban Perdagangan manusia
Pada umumnya korban perdagangan manusia ini adalah  anak -- anak dan perempuan-perempuan muda produktif. Mereka kemudian diperdagangkan dengan modus perekrutan pekerja migran Indonesia, pekerja domestik, pekerja cafe, pengantin di luar negeri, penjualan organ tubuh, pertukaran seni budaya, anak adopsi atau orang tua asuh, pelatihan kerja melalui Bursa Kerja Khusus (BKK) SMK, perekrutan artis, penyanyi, model atau dunia hiburan serta modus lainnya. Selama tahun 2018 misalnya, Bareskrim Polri menerima 95 Laporan Polisi terkait perdagangan manusia di Indonesia dengan jumlah korban sebanyak 297 orang yang terdiri atas perempuan dewasa 190 orang (64%), anak perempuan 18 orang (6%), laki-laki dewasa 79 orang (27%), dan anak laki-laki 10 orang (3%). Sebagian besar korban diperdagangkan untuk tujuan eksploitasi seksual (pelacuran dan pedofilia) dan eksploitasi tenaga kerja baik di dalam dan di luar negeri (bekerja di tempat-tempat kasar dengan upah rendah, seperti pekerja rumah tangga, pekerja di perkebunan, buruh dan lain -- lain.
Dilansir dari laman kompas.com, para pelaku biasanya mengincar anak -- anak perempuan dari keluarga miskin. Salah satu korban adalah Metilia Usboko. Anak perempuan ini menghilang dari rumahnya sejak menjadi murid SD kelas VI di SD Fatukoko. Saat itu seorang pria yang datang bersamanya ke rumah menyerahkan uang sirih pinang sebesar 1,5 juta rupiah kepada orang tuanya. Pria itu meminta supaya orang tuanya mengijinkan Metilia bekerja di Malaysia. Meski menerima uang namun orang tuanya menolak dengan alasan anaknya masih terlalu kecil. Namun sehari kemudian Metilia dikabarkan menghilang dari rumah dan belum kembali sampai hari ini.
Pelaku perdagangan manusia
Para pelaku perdagangan manusia di Provinsi NTT melakukannya secara terstruktur, artinya ada banyak orang yang terlibat di dalamnya, baik dilakukan secara perorangan maupun kelompok atau perusahaan. Mereka adalah sindikat mafia yang melaksanakan aksinya secara berlapis dan terputus seperti wajah kejahatan narkoba. Dengan kata lain ketika ada satu pelaku tertangkap maka terputus pula jaringannya sehingga hanya pelaku -- pelaku kelas teri yang akhirnya mendekam di bui. Sedangkan pelaku -- pelaku kelas kakap tidak tersentuh hukum dan terus melaksanakan aksinya dengan merekrut orang -- orang baru.
Dalam laporan bertajuk "Global Report on Trafficking in Persons 2020" yang dirilis katadata.co.id menunjukkan, setidaknya ada empat jenis pelaku kriminal yang terlibat dalam perdagangan manusia. Kelompok kriminal terorganisir yang berasal dari bisnis perusahaan menduduki posisi teratas dan paling dominan. Persentase korban perdagangan manusia dari kelompok bisnis ini mencapai 57%. Berikutnya, kelompok kriminal terorganisir yang berasal dari pemerintah menduduki peirngkat kedua. Tercatat, persentase korban perdagangan manusia dari kelompok jenis pelaku kriminal ini sebanyak 18%. Sebanyak 14% korban perdagangan manusia berasal dari asosiasi oportunistik pedagang. Sementara, sebanyak 11% korban perdagangan manusia berasal dari pedagang individu.
Penyebab Perdagangan Manusia
Kasus perdagangan manusia di NTT pada umumnya disebabkan oleh tiga faktor utama yakni kemiskinan, kurangnya lapangan kerja dan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat. Hal ini juga diungkapkan oleh Gubernur NTT Viktor Laiskodat. Beliau mengatakan bahwa perdagangan manusia disebabkan oleh banyak faktor. Salah satunya adalah masalah kemiskinan.
Dalam beberapa kasus di NTT  ditemukan bahwa korban perdagangan manusia paling banyak berasal dari kampung -- kampung miskin yang ada di pedalaman. Salah satu kabupaten yang menjadi tempat strategis pelaku melancarkan aksinya adalah kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Sebab di daerah ini termasuk daerah yang memiliki banyak keluarga miskin. Berdasarkan catatan pemerintah daerah TTS sebagaimana yang dilansir di laman antaranews.com angka kemiskinan di TTS mencapai 26,26 persen per Februari 2022 atau sebanyak 120.450 orang.
Modus yang digunakan pelaku untuk menggaet korbannya adalah uang sirih pinang. Pemberian uang sirih pinang dalam budaya Provinsi NTT merupakan salah satu bentuk penghargaan tamu kepada tuan rumah. Para pelaku mendekati keluarga korban dan memberikan uang sirih pinang dengan rata-rata dua juta hingga tiga juta rupiah, sehingga orang tua korban merasa terbebani dan terpaksa membiarkan anaknya untuk menjadi korban perdagangan manusia.
Solusi
Selama ini pemerintah sebetulnya telah mengghukum ratusan pelaku dan menyelamatkan ribuan warga Indonesia yang menjadi korban di luar negeri. Namun upaya ini ternyata tidak membuat pelaku kapok, malah kasus perdagangan manusia setiap tahun selalu meningkat. Masalahnya adalah jumlah aparat keamanan di bidang pengawasan masih kurang memadai serta dukungan dan keterlibatan masyarakat sebagai pengawas juga masih kurang. Karena itu pemerintah harus meningkatkan jumlah aparat keamanan di bidang pengawasan dan mengembangkan pendekatan sistem dukungan komunitas dengan merangkul berbagai kelompok masyarakat untuk lebih peka dan ikut mengontrol mafia perdagangan manusia yang masih berkeliaran di kampung -- kampung di NTT.
Selain itu untuk dapat menanggulangi masalah perdagangan manusia ada beberapa hal yang bisa kita lakukan: Pertama, memberi pengetahuan kepada masyarakat melalui penyuluhan dan sosialisasi mengingat rendahnya tingkat pendidikan. Kedua, memberitahu orang lain apabila kita telah mengetahui masalah ini dan bagaimana solusinya. Ketiga, setelah mengetahui dan mencoba memberitahu orang lain kita juga dituntut untuk berperan aktif untuk menanggulangi masalah ini.
Sumber: voaindonesia.com, victorynews.com, kompas.com, katadata.co.id, antaranews.com, Â kemenpppa.go.id, jurnal.ugm.ac.id, publikasiilmiah.unwahas.ac.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H