Mohon tunggu...
REDEMPTUS UKAT
REDEMPTUS UKAT Mohon Tunggu... Lainnya - Relawan Literasi

Lakukanlah segala pekerjaanmu di dalam kasih (1kor. 16:14)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketika Perempuan Harus Memilih (Part 1)

15 Juni 2022   20:50 Diperbarui: 15 Juni 2022   20:55 1052
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang perempuan sedih (Foto iStock)

Gua Maria Toro tampak sepi. Tak ada siapa -- siapa di sana kecuali Rena dan  Jimi. Beberapa bulan terakhir mereka telah menjadi sepasang kekasih yang saling menyayangi. Meskipun Jimi hanyalah seorang tukang ojek tetapi Rena telah memilih dia menjadi kekasih dan pasangan jiwanya. Kesederhanaan dan kedewasaan Jimi membuat Rena jatuh cinta. Bahkan karena saking cinta, Rena rela memberikan tubuhnya untuk sang kekasih.

Di sana di bawah pohon - pohon angsana yang rimbun mereka berdua duduk berhadapan. Mata mereka berkaca -- kaca sembari saling menatap satu sama lain dengan penuh perhatian.

"Sayang, kau benar -- benar sayang saya kah?"

Pertanyaan Rena memecah sunyi saat itu dan membuat Jimi agak terkejut.

"Kenapa kau tanya saya begitu, Sayang. Kau tahu to kalo saya terlalu sayang kau". Kata Jimi sambil menggenggam erat tangan Rena.

"iya saya tahu kau sayang saya tapi sekarang saya hamil. Saya tidak mau kau punya rasa sayang itu hanya sebatas kata -- kata. Kau harus buktikan kau punya rasa sayang itu. Kau harus bertanggung jawab dengan saya punya keadaan sekarang." Kata Rena lagi.

Jimi makin terkejut. Tetapi dia mencoba tetap tenang.

"Saya pasti tanggung jawab sayang. Tapi saya kuatir kau punya orang tua son terima saya. Saya ini hanya ojek. Hanya tamatan SMA dan son pernah merasakan bangku kuliah seperti kau. Mereka pasti akan menolak saya mentah -- mentah". Kata Jimi.

"Jimi saya hanya butuh kau bertanggung jawab. Soal orang tua saya terima kau ato tidak kau sonde usah pikir. Saya akan berusaha yakinkan saya punya orang tua untuk terima kau apa adanya. Kalau mereka menolak saya janji saya siap pergi dari rumah untuk tinggal dengan kau dalam susah atau senang. Yang penting kau bisa buktikan di saya kau benar -- benar sayang saya." Kata Rena menanggapi Jimi yang masih ragu -- ragu.

"Okey baik sayang. Saya siap bertemu kau punya orang tua. Apa pun yang terjadi, saya siap bertanggung jawab. Besok saya pi rumah."Kata Jimi meyakinkan sang pacar.

Rena merasa sangat bahagia. Cinta yang dia dambakan akhirnya semakin memiliki arah dan masa depan. Mereka kemudian bangun dari tempat itu lalu berjalan menuju ke depan patung Bunda Maria. Mereka menyalakan lilin dan larut dalam doa -- doa.

***

Keesokan harinya, pada saat jam pulang kuliah Jimi sudah menunggu Rena di depan kampus. Rena tampak senang melihat sang pacar. Mereka lalu meluncur ke rumah Rena.

Mereka tiba di rumah kira -- kira jam 1 siang. Halaman rumah tampak sepi seperti tidak ada siapa -- siapa. Tapi motor milik ayah Rena terparkir di sana.

"Bapak ada di rumah sayang. Kau son takut to?" Rena mulai merasa gelisah.

"Sonde sayang. Bapak bukan macan to?" kata Jimi sambil tersenyum.

"Iya bukan macan sih, tapi dia bisa lebih galak dari macan kalo tahu saya ada apa -- apa. Apalagi kalo dia tahu saya hamil." Rena tetap menyampaikan kekuatirannya.

Jimi diam saja dan mulai merasa gusar. Rena lalu bergegas masuk ke dalam rumah. Jimi duduk di kursi di teras rumah sambil mengutak-atik handphone-nya. Lima menit kemudian Rena kembali bersama ayah dan ibunya. Jimi segera berdiri dan menyalami kedua orang tua Rena.

"Selamat siang om dan tanta". Kata Jimi

" Siang anak. Ayo masuk duduk di dalam saja". ibunya Rena mempersilakan Jimi masuk ke dalam rumah. Tapi sang ayah diam saja.

Dengan agak malu -- malu dan sedikit takut Jimi masuk ke dalam rumah. Ia duduk dengan sopan di sofa yang empuk itu. Sesekali ia berusaha melihat ayah dan ibunya Rena untuk mengetahui apakah ada gurat -- gurat amarah di sana.

"Anak, teman kuliahnya Rena?" Ibu Rena memulai percakapan mereka siang itu.

"Tidak mama. Saya bukan teman kuliah Rena. Saya tidak kuliah". Kata Jimi

"Terus anak sapanya Rena?" Ibu Rena masih bertanya lagi.

"Sudah hampir enam bulan ini, kami dua Rena pacaran, Tanta." Kata Jimi sambil tertunduk.

"O begitu, anak sekarang kerja di mana?" Ibu Rena masih penasaran.

"Aduh bagaimana e tanta. Saya hanya ojek sa. Pokoknya cari seribu dua ribu tuk makan minum tiap hari tanta." Wajah Jimi mulai memerah. Tangannya pun tampak gemetar.

Tampak wajah kedua orang tua Rena agak berubah kecut. Lalu ayah Rena mulai mengambil alih percakapan mereka.

"Saya cuma mau tanya, kira -- kira anak mau ketemu kami hari ini ada tujuan apa?"

Sambil meremas -- remas tangannya. Jimi melihat sang kekasih yang duduk di sebelah kanan  bapak mamanya. Setelah merasa yakin dia mulai menjawab pertanyaan calon mertuanya itu:

"Begini Om dan Tanta. Hari ini saya datang mau sampaikan bahwa saya deng rena punya hubungan sudah serius. Dan saat ini rena sedang hamil. Karena itu saya mau bertanggung jawab."

Ayah dan ibu Rena sangat terkejut. Sang ayah langsung melihat ke Rena yang duduk di sampingnya lalu melayang tamparan keras ke wajah sang anak.

"Ampun bapak, ampun bapak". Rena menangis.

Lalu sang ayah berdiri dan hendak berjalan  mendekati Jimi, Rena buru -- buru menangkap kaki sang ayah.

"Bapak jangan, bapak. Biar pukul saya saja bapak." Teriak Rena sambil memeluk kaki ayahnya kuat -- kuat.

"Binatang kau, keluar kau sekarang dari saya punya rumah. Panggil kau punya orang tua datang menghadap saya. Kau su kasih hamil saya punya anak perempuan, terus datang menghadap saya pake kau punya tidak tahu adat besar itu. Kau belum tahu saya ini sapa?" kata ayahnya Rena dengan penuh amarah.

Jimi langsung keluar dari Rumah Rena. Cepat -- cepat menyalakan motornya lalu hilang di kejauhan.

***

Malam itu rumah yang awalnya bahagia berubah menjadi kelam. Rena menangis mengurung diri di kamar. Ayah dan ibu saling mempersalahkan di meja makan. Sedangkan adik -- adik menghilang, jauh dari amukan orang tua.

Di dalam kamar, rena terus menatap handphone-nya sambil sesekali menyeka air mata di pipi. Ia menunggu WA dari sang kekasih yang sedari tadi siang hanya centang satu. Rena juga sudah menelpon berkali -- kali tetapi selalu di luar jangkauan.

Beruntung, di dalam kamarnya itu ada sebuah patung Bunda Maria. Jika ada masalah di depan patung inilah dia menyampaikan keluh kesahnya. Ia mengambil sebatang lilin, menyalakannya lalu larut  di dalam doa -- doa.

***

Setelah seminggu menghilang tanpa kabar, tiba -- tiba chat WA Jimi terlihat centang dua berwarna biru disusul tulisan mengetik. Jantung Rena  terasa bergejolak. Antara marah dan rindu berpadu dalam satu rasa. Ia menunggu sejenak kira -- kira apa pesan dari Jimi.

"Malam sayang, maaf saya baru kasih kabar. Setelah kejadian di rumah minggu lalu, saya langsung pulang ke kampung. Di sana son ada jaringan. Saya pi kastau bapak deng mama dong tentang kita dua pu masalah. Syukurlah mereka merestui kita dan siap menghadap sayang pu orang tua." Tulis Jimi.

Rena tidak sabar untuk membalas chat sang pacar.

"Sayang, kau bikin saya cemas saja. saya di sini pikiran son karuan. saya mulai pikir macam -- macam. Saya takut kau jalan kastinggal saya. Saya menangis hampir tiap malam. Apalagi bapa deng mama marah -- marah saya hampir tiap saat. Bahkan mereka su tidak mau kasih kuliah saya lagi. Mereka bilang lebih baik urus adik -- adik dong daripada kasih kuliah saya, hasilnya nol besar." Balas Rena.

Jimi mulai mengetik lagi.

"saya tidak mungkin jalan kastinggal kau sayang. Saya ju terlalu sayang kau. Btw, tadi saya datang dari kampung deng saya pu bapa dan mama. Kami nginap di om natan pu rumah. Mungkin besok kami pi rumah untuk bertemu sayang pu orang tua."

Rena sangat terkejut. Ia tidak menyangka pacarnya senekat itu.

"Betul kah sayang, kau pu orang tua di sini?" Tanya Rena.

"Betul sayang. Kami tiba tadi sore. O ya, nanti tolong kastau bapak dong besok sore jam 4 dong kami pi rumah." Jawab Jimi.

"Okey sayang, sebentar saya kastau mereka supaya besok dong tunggu. Semoga besok ada jawaban untuk kita pu masa depan sayang."

Setelah membalas demikian. Rena bergegas bertemu ayah dan ibunya tentang kabar kedatangan Jimi dan orang tuanya.

***

Kira -- kira jam 4 sore, Rena dengan balutan tais bermotif Bunak berdiri di depan rumah di dampingi ayah dan ibunya serta paman dan bibinya. Sedangkan Jimi dengan tais bermotif Dawan berdiri di pinggir jalan bersama orang tuanya mulai berarak masuk menuju ke depan rumah Rena. Mereka disambut dengan baik. Lalu dituntun oleh seorang tetua adat duduk di tempat yang sudah ditentukan.

Kali itu, karena situasi serba mendadak, Jimi dan keluarga tidak membawa apa -- apa. Hanya niat baik untuk mengenal Rena dan menerima Rena sebagai bagian dari keluarga. Setelah duduk beberapa menit. Om Natan mulai berbicara.

"Selamat sore bapak mama, om tanta dan semua keluarga besar dari anak Rena. Begini, minggu lalu kami punya anak laki -- laki datang ke rumah di kampung sana, kasi tau kami bilang dia punya pacar sudah hamil dan dia mau bertanggung jawab. Dia ju kasih tahu kalau dia su datang menghadap duluan tapi dia kena usir karena mungkin secara adat itu salah. Karena itu sebagai orang tua kami tentu mendukung niat baik kami punya anak ini. Jadi, hari ini kami datang untuk bertemu semua keluarga di sini sekalian mau ketuk pintu untuk kami punya anak laki - laki."

"Saya sangat berterima kasih hari ini, bapak dan mama dong datang. Mungkin bapa mama sudah dengar cerita dari Jimi kalau minggu lalu saya ada usir dia. itu karena saya benar -- benar marah. Karena dia datang menghadap saya sendiri baru dia kastau bilang saya punya anak sudah hamil. Padahal sejak pacaran saya tidak pernah lihat dia punya batang hidung. saya kuatir dia hanya mau main -- main deng saya punya anak perempuan. Saya punya anak ini kuliah. Dia hanya ojek. Saya jadi bertanya -- tanya kira -- kira kalau saya terima dia jadi saya punya anak mantu, Jimi bisa kasih makan saya punya anak ko sonde? Jadi saya suruh dia panggil orang tua dong datang supaya kita omong ju agak enak. Tadi bapak bilang datang ini mau ketuk pintu, tapi saya mau buka ini pintu atau tidak, mungkin kita perlu omong dulu" Kata ayah Rena.

"Kami ada di sini dengan niat baik untuk dukung anak berdua. Mereka sudah saling suka tidak baik kalau kita tidak dukung. Soal Jimi ojek memang betul, tapi dia ini sangat rajin. Dia tidak mungkin buat Rena susah. Selain itu di kampung kami punya tanah cukup luas untuk mereka kelola. Mereka bisa buat kebun, ato buat sawah". Sambung om Natan.

"Dalam kami punya adat, laki -- laki harus kawin masuk. Jadi kami punya anak perempuan tidak bisa pi tinggal di kampung sana. Jimi yang harus tinggal di sini masuk dalam keluarga kami. Bahkan mereka punya anak -- anak harus masuk suku kami". Kata ayah Rena dengan nada suara yang mulai meninggi.

"Kami punya adat juga perempuan harus kawin masuk. Kami juga tidak mau kami punya anak harus ikut perempuan. Dia kepala keluarga kelak. Jadi dia yang harus urus mereka punya keluarga. Mereka punya anak -- anak juga harus pake kami punya fam." Om Natan mulai terpancing emosi.

"Bisa saja begitu untuk kami orang bunak. Tapi kalian harus faen kami punya anak perempuan. Faen itu orang bilang beli putus. Masalahnya bapak dong sanggup tidak. Karena kami punya anak perempuan ini kuliah, ada sekolah. Bapak dong punya anak pi rayu -- rayu pake dia punya ojek besar itu sampe saya punya anak hamil. Kalau bapa dong sanggup, kita bisa omong lebih lanjut." Kata ayah Rena

"Begini bapak, kami datang ini dengan maksud baik. Kami tidak mau kami punya anak jalan diam -- diam dan sonde tanggung jawab. Tapi kami mau anak Rena kawin masuk. Untuk belis kita bisa omong sama -- sama. Hanya klo beli putus, kami tidak bisa karena dalam kami punya adat tidak ada istilah itu. Kalo bapak dong bersikeras kami terpaksa harus pulang." Kata Om Natan sambil ancang -- ancang berdiri.

"Silakan pulang. Pintu ini terbuka lebar. Kami bisa urus kami punya perempuan sendiri. lagian dia masih kuliah. Dia pu masa depan masih panjang." Ayah Rena pun berdiri dan mempersilakan Jimi dan keluarganya pulang. Matanya memerah dan melotot.

Rena merasa sangat terpukul. Dia pun berlari masuk ke kamarnya, menutup pintu rapat -- rapat dan melemparkan dirinya di atas ranjang. Air mata tak mampu dia bendung.

***

Malam itu, Rena merasa hidupnya hancur. Orang tua yang dicintainya lebih mengutamakan ego dan tradisi adat daripada kebahagiaannya. Bagaimana mungkin dia bisa hidup dengan kondisi seperti ini tanpa kehadiran Jimi di sampingnya.

Lama dia berbaring di ranjang itu sambil menangis. Matanya memerah. Kelopak matanya membengkak. Rambutnya tergerai tak beraturan. Ia benar -- benar stres.

Rena kemudian ingat pada patung bunda Maria di kamarnya itu. Ia bangun dari tempat tidur. Dia duduk di depan patung Bunda Maria dan hanyut di dalam doa -- doa.

Setelah berdoa, Rena ingat kalau dia pernah berjanji pada Jimi,

"Kalau mereka menolak saya janji saya siap pergi dari rumah untuk tinggal dengan kau dalam susah atau senang."

Rena segera mengambil handphonenya dan menelepon Jimi. Sepertinya Jimi pun menunggu panggilan darinya.

"Halo sayang, ada di mana?" kata Rena sambil berbisik

"Saya ada duduk di Taman GOR sini. Saya stress deng kita punya hubungan ini sayang. Di sini saya coba untuk menenangkan diri. Bagaimana sayang?" Tanya Jimi

"Saya su pernah janji kalau mereka menolak apapun yang terjadi saya keluar dari rumah ini dan tinggal deng kau. Kalau kau benar -- benar sayang saya. Kau tunggu saya di pertigaan jalan masuk ke rumah ini e. sedikit lagi saya susul kau ke sana. kalau lu sonde datang, itu artinya kita sonde akan pernah bertemu lagi." Kata Rena mengultimatum sang pacar.

Jimi antara takut dan senang berpadu menjadi satu rasa. Iya hanya menjawab iya sayang. Lalu bergegas menghidupkan motornya lagi dan berjalan ke tempat yang dijanjikan.

Rena juga mengambil koper hitamnya di bawah ranjang. Ia menaruh pakaian -- pakaiannya secara acak, surat -- surat penting dan segala yang dia perlukan di dalam koper itu. Ia membuka jendela kamarnya, menyelinap dengan diam -- diam dan menghilang di tengah gelapnya malam.

***

Rena berjalan dengan terburu -- buru. Ia takut kalau ketahuan orang tua dan adik -- adiknya. Saat itu ia memakai pakaian serba hitam; jaket hitam dengan penutup kepala, celana levis hitam, dan sendal jepit serta menenteng koper yang besar dan berat.

Di pertigaan yang dijanjikan, Jimi sudah menunggu di atas motor sambil merokok. Melihat sang pacar yang berjalan tertatih -- tatih, Jimi menyalakan motornya dan mendekati sang pacar. Mereka lalu pergi meninggalkan orang tua, sanak keluarga dan masalah -- masalah menuju kehidupan yang baru.

Atambua, 15 Juni 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun