senja saat seorang Petani Tua sedang di duduk di bawah pohon mangga di depan gubuk reotnya Sang Waktu berlalu di hadapannya dan menyapa:
Suatu      "Apa yang sedang kau lakukan, Pak Tua?"
      "Wahai Sang Waktu, aku sementara memandang jingga di balik bebukitan itu. Ia merias senja dengan sangat mengagumkan. Aku tak jemu -- jemu memandangnya bahkan ingin rasanya kucuri saja senja ini. Dan kau, waktu apa yang kau lakukan?" Jawab petani tua itu.
      "Aku sedang berjalan -- jalan menikmati hidupku sembari mengamati tingkah manusia yang aneh menurutku". Ujarnya dengan sedikit tersenyum.
      Petani tua itu agak terkejut mendengar perkataan Waktu dan kemudian bertanya: "Aneh bagaimana? Jangan menyinggungku, aku juga seorang manusia."
      "Ha ha ha, aku tidak menyinggungmu Pak Tua. Kau berbeda dengan manusia kebanyakan. Hidupmu sederhana dan bahagia, karena kau mensyukuri setiap pemberian Sang Khalik padamu. Tapi manusia -- manusia lainnya tak seperti dirimu. Mereka ambisius dan oportunis. Bahkan ada yang rakus dan serakah". Ia tertawa sambil berusaha menjelaskan.
      "Mereka banyak maunya. Selalu meributkan apa saja dalam kehidupan mereka. Soal makan, soal minum, soal pakaian, soal rumah, soal anak, soal istri, soal suami dan terutama soal kekayaan, kekuasaan dan kehormatan". Sambungnya.
      Petani tua hanya tersenyum kecil lalu berkata padanya:
      "Wahai Sang Waktu itu bukanlah hal aneh. Itu hal biasa yang terjadi dalam kehidupan kami. Makan, minum dan lain -- lain itu adalah kebutuhan dasar dalam hidup kami. Sedangkan kekayaan, kekuasaan dan kehormatan adalah impian semua manusia. Jika kami tak mempersoalkan itu kami tidak punya harapan dan gampang binasa".
      "Ooo.. begitu ya. Tapi bukankah miris, jika manusia mengorbankan manusia lain untuk memperoleh kekayaan? Aku melihatnya. Di salah satu sudut kota ini, ada ratusan orang hidup menderita dalam kemiskinan karena tanah dan kekayaannya dirampas, namun di lain pihak ada sekelompok orang lain hidup bermewah -- mewahan dengan harta yang dia dapat dari keringat orang lain." Kata Sang Waktu dengan nada yang agak emosional.
       "Iya, aku tahu itu. Tapi sebagai orang kecil kami bisa apa, ketika ada manusia lain dengan kekuasaannya mengintimidasi dan merampas hak -- hak kami. Berteriak? Hanya angin dan batu -- batu yang menjawab dengan desisan." Kata Petani Tua.
      "Ya, itulah anehnya. Kalian telah terlanjur percaya bahwa kalian manusia lemah dan kecil serta tidak punya kekuatan untuk melawan. Sedangkan mereka percaya bahwa mereka memiliki kekuatan, kekuasaan, kekayaan dan kehormatan. Dengan kepercayaan itu, mereka lalu mengadakan invasi, menjajah dan melancarkan perbudakan di mana -- mana. Lalu kalian manusia -- manusia yang merasa kecil, lemah dan miskin akan terus -- menerus menjadi korban". Kata Sang waktu.
      "Betul sekali katamu, lihatlah aku ini menua di atas kemiskinan. Karena aku percaya dengan hidup miskin aku bisa bahagia. Aku mendapatkan makanan hari ini, lalu memikirkan besok aku kerja apa untuk makan lagi? Setiap hari aku bergumul dengan masalah -- masalah yang sama.Â
Ketika ada orang -- orang kaya atau pejabat  singgah di gubukku ini, aku merasa diriku amatlah kecil. Aku merasa rendah diri. Apa pun yang dikatakan oleh mereka aku selalu merasa benar dan melakukannya secara buta". Kata Petani Tua itu merasa dicerahkan.
      "Ha ha ha, begitulah manusia. Lebih dari itu manusia bahkan mengorbankan segalanya untuk apa yang disebut uang. Termasuk aku. Mereka dengan yakin menyamakan aku dengan uang. Mereka bilang Waktu adalah Uang. Padahal aku dan uang adalah dua entitas yang berbeda." Kata Sang Waktu sambil tertawa. Sebelum Pak Tua menjawab, ia melanjutkan.
      "Bagi manusia, uang adalah segalanya. Aku, dihargai hanya sebatas untuk memenangkan uang sebanyak mungkin. Selebihnya aku dibuang begitu saja untuk sesuatu yang tidak berguna. Yah, apalah aku ini sosok tak kasat mata yang tak berhenti bergerak. Tapi uang selalu menarik mata manusia karena nilainya menentukan jumlah kekayaan.Â
Mata manusia dan mata uang bagaikan dua kutub yang berlawanan yang selalu tarik menarik. Namun uang selalu lebih kuat. Mata manusia selalu terhipnotis saat melihat setumpuk uang di hadapannya.Â
Karena itu nyawa manusia dapat dihargai dengan uang. Harga diri jangan ditanya, jutaan manusia telah menggadaikan harga dirinya demi setumpuk uang. Iman mereka kadang hanyalah identitas palsu, ketika ada uang di depan mata, mereka rela meninggalkan imannya dan membentuk iman yang baru yang mungkin juga palsu".
      Petani Tua lalu memandang Sang Waktu dengan penuh pertanyaan.
      "Lalu apa yang akan kau lakukan pada manusia?"
      "Tak ada. Tapi sadarkah kau bahwa usia manusia semakin hari semakin pendek? Sejak awal manusia diciptakan usia mereka sampai sembilan ratus tahun. Tapi kini berapa banyak manusia yang hidup sampai usia sembilan puluh tahun? Mungkin bisa dihitung dengan dedaunan kering di hadapanmu itu,Â
Pak Tua. Mengapa? Karena aku tak ingin mereka menyia-nyiakan aku pada ambisi -- ambisi yang fana." Kata Sang Waktu, sambil bergeser ke ufuk Barat ke tempat matahari menemukan peraduannya.
      Petani tua itu pun masuk ke dalam gubuknya menyalakan pelita dan mulai merenungkan kehidupannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H