hidup di dunia mimpi. Saat itu mimpi menguasaiku dan aku sepenuhnya ia kendalikan. Mungkin terdengar aneh. Tapi ini adalah kisah nyata kehidupanku. Sebuah peristiwa yang membongkar benteng isolasi sosial masa remaja dan sekaligus awal kelahiran baruku.
      Aku pernah      Pada awal Juli 2008 kisah ini bermula. Setelah check up di Puskesmas Kota Atambua tiba -- tiba aku merasa ada yang aneh dengan tubuhku. Aku tidak bisa melihat jauh. Semuanya tampak kabur. Orang -- orang yang berada di hadapanku kelihatan seperti bayangan. Lidahku pun kelu. Aku susah berbicara dengan lancar. Aku mendadak bungkuk seperti seorang tua renta. Berjalan sempoyongan seperti orang mabuk dengan setengah sadar. Cuma samar -- samar aku dengar ibuku berkata: "Ayo kita pulang, malariamu sudah negatif".
      Lalu, saat senja aku merasa seluruh tubuhku kedinginan. selimut yang kupakai untuk membungkus diri pun tidak mampu menolong. Pada malam hari dingin itu menusuk -- nusuk membuat aku seperti mati rasa. Awalnya di ujung jari kaki, perlahan -- lahan merambat ke arah lutut, paha, perut dan dada. Aku panik. Aku merasa bahwa itulah hari kematianku. Ketika dingin mulai mendekat ke arah leher aku merasa tercekik dan berteriak keras: "Mamaaaaaaaa, aku mati". Nafasku berhembus keluar dari tubuh. Semua cahaya menghilang .Hanya gelap.
      Entah berapa lama aku tenggelam di dalam kegelapan, aku tidak ingat. Tapi saat aku sadar, aku merasa aku bukanlah aku. Aku hanyalah suara hati yang tidak berdaya sebab ragaku telah dikendalikan oleh sosok yang lain. Sosok itu kemudian berkata: "Redem, Aku Yesus, aku sangat menyayangimu. Hari ini aku berkunjung ke rumahmu".
      Setelah berkata demikian ia memalingkan wajahku ke arah bapak ibuku yang sedang menangis sambil berkata: " Kau jangan khawatir. Yohanes ayahmu, dahulu adalah murid yang sangat aku kasihi dan Maria ibumu adalah Ibuku juga. Lihat Kakakmu itu dia memiliki sifat Simon Petrus dan sekaligus Kepala Pasukan yang menyeretku ke Golgota. Dan malam ini aku mengundangmu untuk sedikit merasakan salib yang kupikul saat menyusuri jalan ke Golgota dan kakakmu akan menuntun kita ke sana." Aku hanya diam, mendengar dan merasakan Dia dalam tubuhku.
     Â
      Dia lalu berbicara kepada mereka: "Maria, Yohanes, hari ini aku datang di rumahmu setelah 2000 tahun lalu aku terangkat ke surga". Ibu dan ayah justru menangis makin hebat karena mereka merasa bahwa aku telah hilang kesadaran. Aku juga melihat para tetangga mulai berbondong -- bondong masuk ke dalam rumah menyaksikan aku yang telah sekarat. Banyak di antara mereka menangisi aku. Lalu mereka menyuruh kakakku segera menyiapkan sepeda motor untuk mengantarkan aku ke rumah sakit.
      Samar -- samar aku mendengar deru sepeda motor. Keluargaku kemudian membopong aku menuju ke sepeda motor. Aku didudukkan di tengah kursi sepeda motor dan diapit oleh pamanku dari belakang. Kami mulai melaju ke rumah sakit. Dalam perjalanan Dia berkata padaku: "Maukah kau merasakan perjalanan Salibku?". Dengan sigap aku jawab: "Iya Tuhan, aku mau". Tiba -- tiba aku merasa kakiku terseret di aspal jalanan. Sakit sekali. Tapi aku pasrah, karena aku merasa mungkin rasanya seperti ini ketika Yesus jatuh dan diseret oleh para Algojo menuju ke tempat penyaliban. Beberapa saat setelah itu aku merasa terangkat, kakiku tak lagi menyentuh aspal. Dia berbisik "Redem, cukup itu yang kau rasakan. aku akan menggantikan dengan kebahagiaan padamu, anakku. Namun, sebelumnya aku akan mengajarkan engkau hal ini. Bergaullah dengan teman -- temanmu. Dengarlah musik, menarilah. Jangan malu." "Iya Tuhan". Jawabku.
      Tibalah kami di rumah Sakit. Aku dibopong ke ruangan UGD. Para perawat tergesa -- gesa mempersiapkan segala peralatan yang dibutuhkan, tapi tampak mereka seperti bayangan putih yang melayang -- layang. Ada dua orang perawat menyentuh tanganku, menyuntik dan memasang infus. Dia berbisik lagi: "Redem, sekarang, pejamkan matamu." Aku memejam mataku. Saat kubuka mataku lagi, aku merasa Dia telah pergi. Tinggal aku sendiri.
***
      Setelah kejadian itu aku belum sepenuhnya sadar. Aku justru makin hancur. Aku merasa tubuhku dikendalikan oleh kemarahan, iri hati dan tipu daya. Di sisi lain dokter mengatakan bahwa aku sudah sembuh dan boleh pulang ke rumah. Ayah dan ibuku sebenarnya cemas karena mereka menemukan aku makin parah, tapi mereka pasrah pada diagnosa dokter tersebut. Paramedis justru menduga aku sudah "gila", sehingga mereka memberi tanggungjawab sepenuhnya pada orangtua. Dengan setengah sadar. Kami kembali ke rumah.