Mohon tunggu...
REDEMPTUS UKAT
REDEMPTUS UKAT Mohon Tunggu... Lainnya - Relawan Literasi

Lakukanlah segala pekerjaanmu di dalam kasih (1kor. 16:14)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar Toleransi di Belu

7 Februari 2022   20:18 Diperbarui: 7 Februari 2022   20:23 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto bersama Pemuda Lintas Agama di Belu saat Idul Adha 2018. (ACT/Mhd. Alfahjri Sukri)

Selain Abdul Masli, Jumardi salah ustaz di Masjid Hidayatullah Atambua pun pernah berkata: "Di sini (Atambua) kita masyarakat majemuk, Muslim memang minoritas karena masyarakat asli beragama Kristen. 

Tapi kehidupan toleransi beragama sangat bagus, terutama enam sampai tujuh tahun belakangan ini. tidak ada gangguan bagi umat Islam dalam menjalankan ibadah. Bahkan kita juga bebas mengumandangkan azan dengan menggunakan pengeras suara".

Ia pun menjelaskan bahwa menjaga kerukunan beragama di sini sangat penting. Diskusi lintas agama sering dilakukan sebagai wadah bertukar pikiran dan menjaga kerukunan antar warga. 

Setiap ada kegiatan keagamaan, khususnya Islam, pemuda dan tokoh lintas agama diundang untuk berpartisipasi menjaga kelancaran kegiatan tersebut. Begitu pun sebaliknya, ketika umat kristiani menjalankan ibadah, maka umat Islam ikut menjaga keamanan.  

Contohnya lebaran saat ini dihadiri oleh kumpulan lintas agama dari Protestan, Katolik dan agama lainnya. Mereka bantu Pengepakan dan distribusi daging. Kegiatan -- kegiatan seperti ini menjadi momentum mempererat toleransi di sini.

Tak berbeda jauh dengan kedua tokoh muslim tadi,  Joko Tri Haryanto dalam Jurnal Analisa berjudul Pelayanan KUA Terhadap Persoalan Keagamaan di Kabupaten Belu Nusa Tenggara Timur menulis hal yang kurang lebih sama. Ia menulis: "Sekalipun umat Islam di Kabupaten Belu minoritas, tetapi dalam hal kerukunan umat beragama berjalan dengan baik. 

Tidak ada pertikaian antar umat beragama atau pun pertikaian karena bermotif agama berskala besar dalam dalam tahun -- tahun terakhir ini. bahkan banyak tokoh muslim yang respek terhadap sikap umat Katolik, termasuk tokoh -- tokohnya karena meskipun mereka kelompok mayoritas, tetapi mereka menghormati  dan bahkan melindungi umat non-katolik termasuk umat Islam."

Dengan adanya pengakuan -- pengakuan itu bukan berarti tidak ada persoalan sama sekali terkait SARA di Belu. Masih membekas dalam ingatan, pada tahun 2005 terjadi peristiwa pelecehan dan penodaan Hostia Kudus di Gereja Katedral Atambua. Akibat dari peristiwa itu tiga pos polisi, sebuah mobil milik warga dan belasan rumah yang berada di pusat kota dirusak massa. 

Lalu setahun kemudian pada tahun 2006 sempat terjadi kerusuhan yang agak besar karena dipicu oleh  kasus Tibo. Akibat dari kerusuhan itu kantor Kejaksaan dan kantor Dinas Sosial dibakar massa, masjid besar Mujahidin dilempari batu sehingga rusak dan kios  - kios kecil yang dimiliki umat islam di Atambua juga dirusak dan dijarah.

Setelah dua kejadian itu tidak ada lagi kerusuhan -- kerusahan yang berbau SARA. Situasi kemasyarakatan di Kabupaten Belu perlahan -- lahan pulih dan bergerak menjadi kabupaten yang toleran. 

Peran pemerintah, pemuka agama, dan tokoh -- tokoh adat pun mulai terlihat dalam upaya membangun perdamaian dan melanggengkan kerukunan di Belu. Selain itu sejak tahun 2015, pemuda lintas agama di Belu pun ikut terlibat dalam upaya menjaga kerukunan umat beragama dengan membentuk sebuah komunitas pemuda lintas agama yang mereka namakan Komunitas Peacemaker Perbatasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun