Saat masih seorang anak, saya pernah bermimpi menjadi seorang presiden. Tak hanya saya ternyata banyak teman -- teman saya juga bermimpi seperti saya. Bagi kami saat itu menjadi presiden adalah hal yang luar biasa hebat dan membanggakan. Namun saat beranjak dewasa, mimpi itu perlahan -- lahan sirna karena saya menyadari bahwa untuk menjadi presiden di Indonesia bagi saya yang seorang Katholik dan berasal dari Pulau Timor, pulau yang hampir tidak dikenali oleh mayoritas penduduk Indonesia adalah hal yang mustahil.
Hari ini tentu banyak anak baik laki - laki maupun perempuan mempunyai mimpi seperti saya menjadi presiden. Bagi anak laki -- laki mimpi ini adalah sebuah keniscayaan selama ia memenuhi dua syarat utama yakni seorang pemeluk agama Islam dan berasal dari Pulau Jawa. Di luar syarat ini harus bekerja lebih keras agar mampu mengalahkan mayoritas pemilih di Indonesia yang beragama Islam dan berdomisili di pulau Jawa. Sedangkan bagi anak perempuan untuk mewujudkan mimpi ini tentu lebih sulit. Mengapa? Selain harus memenuhi dua syarat utama tadi, mereka juga harus mampu mengalahkan kuatnya pandangan bahwa "haram seorang perempuan menjadi pemimpin".
Dalam sejarah Indonesia, satu -- satunya perempuan yang mampu mengalahkan dominasi laki -- laki untuk menjadi Presiden Republik Indonesia adalah Megawati Soekarnoputri, putri mantan Presiden Republik Indonesia pertama, Ir. Soekarno. Perjalanan dari awal terjun ke dunia politik sampai menjadi seorang presiden, tentu bukanlah perjalanan yang mudah. Ia harus berjuang sangat keras sampai merengkuh posisi nomor satu itu. Nah bagaimana perjuangan Megawati sampai menjadi presiden?
***
Megawati Soekarnoputri mulai aktif terjun dalam dunia politik pada tahun 1986. Pada saat itu ia diajak oleh Soerjadi ke pentas politik dan ditempatkan sebagai Wakil Ketua Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Cabang Jakarta Pusat. Pada tahun berikutnya (1987), melalui PDI ia terpilih sebagai anggota DPR/MPR dan kemudian didapuk sebagai Ketua PDI Cabang Jakarta Pusat.
Setelah menjadi anggota dewan, nama Megawati perlahan  lahan mulai dikenal luas oleh banyak orang. Selain itu melalui lobi -- lobi politiknya Megawati akhirnya menjadi bintang di dunia politik. Dalam Kongres Luar Biasa PDI yang diselenggarakan pada tanggal 2 -- 6 Desember 1993, Megawati terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI. Terpilihnya Megawati ini membuat pemerintah saat itu kebakaran jenggot. Mereka menolak dan menganggap terpilihnya Megawati itu tidak sah. Karena itu pada tanggal 20 -- 29 Juni, atas dukungan pemerintah, Fatimah Ahmad dan kawan -- kawannya menyelenggarakan Konggres tandingan di Medan, kemudian mengangkat kembali Soerjadi sebagai Ketua Umum DPP PDI.
Pada saat itu muncullah dua kubu PDI yakni PDI kubu Megawati dan PDI Kubu Soerjadi. Perpecahan dalam tubuh PDI tersebut menimbulkan masalah yang cukup panjang. Kantor PDI yang berada di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat dan menjadi pusat komando menjadi rebutan mereka. Kubu Soerjadi yang saat itu didukung oleh pemerintah akhirnya merebut secara paksa  Kantor DPP PDI dari para pendukung Megawati dan mengambil alih kepemimpinan partai berlambang banteng itu.
Pengambilalihan PDI oleh Soerjadi  ternyata tidak menyurutkan langkah Megawati, ia malah semakin mantap melangkah karena empati dan dukungan masyarakat terus mengalir kepadanya. Karena itu setelah Soeharto dilengserkan oleh mahasiswa pada 21 mei 1998, Megawati segera mengubah nama PDI yang dipimpinannya menjadi PDI Perjuangan. Lambang partainya pun diubahnya sedikit dari banteng yang kurus menjadi agak gemuk dan moncongnya berwarna putih.
Pada tanggal 7 Juni 1999, Pemilu kembali digelar. Partai -- partai politik yang terlibat saat itu sebanyak 48 partai. Di pemilu kali ini PDI perjuangan berhasil meraih suara terbanyak dengan perolehan suara sebesar 35.689.073 suara atau 33,74 persen. Berdasarkan hasil perolehan suara itu, seharusnya Megawati diberikan kesempatan untuk menjadi presiden. Namun karena adanya konspirasi di tingkat elit nasional, kemenangan partainya ini tidak memuluskan langkahnya menjadi presiden.
Ada dua isu utama saat itu yang coba dimainkan untuk menjegal langkah Megawati yakni 1) "haram presiden perempuan" yang dipelopori PPP dan 2) PDI Perjuangan didominasi calon legislatif non muslim. Dengan dua isu ini kemudian dibentuklah 'poros tengah'. Dari poros tengah terpilihlah Abdurahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden Republik Indonesia dan Megawati menjadi wakil presiden.
Gus Dur ternyata hanya bertahan dua tahun menjalankan roda pemerintahan sebagai presiden. Pada tanggal 23 Juli 2001 MPR mencabut mandat yang diberikan kepadanya dan menetapkan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden Republik Indonesia. Dengan terpilihnya Megawati sebagai presiden, ia tidak hanya menepis isu bahwa "haram presiden perempuan" tetapi ia juga mencatatkan namanya dalam sejarah Indonesia sebagai Presiden Perempuan Pertama di Indonesia[1].