Mohon tunggu...
REDEMPTUS UKAT
REDEMPTUS UKAT Mohon Tunggu... Lainnya - Relawan Literasi

Lakukanlah segala pekerjaanmu di dalam kasih (1kor. 16:14)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Meredam Prejudice, Melanggengkan Kerukunan

21 Maret 2021   20:01 Diperbarui: 21 Maret 2021   20:22 664
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kerukunan antar Umat Beragama (www.nu.or.id)

Salah satu sikap yang sangat berbahaya dalam kehidupan beragama di negara Indonesia adalah sikap prejudice. Sikap ini telah lama merongrong kesatuan bangsa Indonesia tetapi kita tidak menyadarinya bahkan kita membiarkannya hidup dalam realitas kemajemukan bangsa kita. Intoleransi dan konflik-konflik yang selama ini merusak kerukunan antar umat beragama tidak bisa kita lepaskan begitu saja dari pengaruh adanya sikap ini.

Lalu apa itu prejudice? Secara harafiah prejudice berasal dari kata bahasa Latin praejudicium[1] yang berarti pendapat, putusan hakim yang sementara yang dapat ditinjau kembali, contoh yang menentukan, dugaan, prasangka yang jahat dan tidak obyektif. Atau secara sempit kita bisa definisikan prejudice sebagai pemikiran yang keliru tanpa cukup bukti. 

Menurut Rupert Brown seorang ahli Psikologi-Sosial prejudice adalah seperangkat kepercayaan yang salah atau irasional dan generalisasi yang serampangan atau ngawur serta disposisi tak beralasan yang menyebabkan orang berperilaku negatif terhadap orang dari kelompok lain[2]. 

Dalam kehidupan beragama prejudice telah berhasil melahirkan konflik -- konflik besar di Indonesia sebagai contoh Konflik Ambon dan Konflik Poso. Dua konflik ini menelan korban jiwa yang sangat banyak, kerugian materil yang tidak terhitung, trauma psikologis anak -- anak yang berkepanjangan dan menguatnya sentimen agama dalam kehidupan bersama.

Di kabupaten Belu prejudice juga berhasil melahirkan kerusuhan dan ketegangan antar umat beragama walaupun dalam skala yang kecil. Tercatat pada tahun 2005 terjadi peristiwa pelecehan dan penodaan Hostia Kudus di Gereja Katedral Atambua. 

Saat itu tiga pos polisi, sebuah mobil milik warga dan belasan rumah yang berada di pusat kota dirusak massa. Lalu pada tahun 2006 sempat terjadi kerusuhan yang agak besar karena dipicu oleh  kasus Tibo. Akibat dari kerusuhan itu kantor Kejaksaan dan kantor Dinas Sosial dibakar massa, masjid besar Mujahidin dilempari batu sehingga rusak dan kios  - kios kecil yang dimiliki umat islam di Atambua juga dirusak dan dijarah[3].

Masalah lain yang juga terjadi di Kabupaten Belu berkaitan dengan persoalan agama yakni adanya isu islamisasi. Isu  ini sering kali memperkeruh hubungan antar umat beragama. Banyaknya pendatang beragama lain, kawin -- mawin dengan umat agama lain dan pembangunan rumah ibadat di kampung -- kampung kerap dicurigai sebagai upaya mengislamkan orang asli Belu.

Mengapa saya katakan kejadian -- kejadian di atas sebagai hasil dari sikap prejudice? Hal ini karena apabila prejudice telah merasuk dalam pribadi individu tertentu atau kelompok tertentu mereka cenderung berpikir dan bertindak atas dasar keyakinannya sendiri bukan pada kebenaran. Dengan kata lain mereka sudah memiliki kebenarannya sendiri dan mereka akan melakukan apa saja terhadap orang atau kelompok lain berdasarkan kebenaran itu. 

Indikasi -- indikasi yang merujuk pada adanya sikap prejudice ini pada kasus -- kasus di atas antara lain: Pertama, adanya superioritas keagamaan yang diyakini oleh agama mayoritas sehingga cenderung menganggap agama minoritas sebagai agama yang kurang baik. Kedua, adanya saling curiga antar umat beragama terutama berkaitan dengan isu islamisasi atau kristenisasi. Ketiga, adanya gengsi dalam membela dan mempertahankan kehormatan agama seperti yang tampak dalam Kasus Tibo dan kasus pencemaran Hostia Kudus di Gereja Katedral Atambua. Keempat, adanya rasa terancam dengan kehadiran agama lain.

Untuk meredam prejudice ada beberapa solusi bisa diterapkan dalam kehidupan beragama di Kabupaten Belu sebagai berikut:

  1. Kita harus mendalami dan mengamalkan ajaran agama masing -- masing secara benar. Karena dalam konflik -- konflik agama yang pernah terjadi disinyalir dilakukan oleh pribadi -- pribadi tidak beriman yang memanfaatkan ayat -- ayat Kitab Suci untuk membenarkan tindakan mereka.
  2. Kita harus menghidupkan kembali Naratif Kebangsaan dalam kehidupan setiap hari bahwa kemerdekaan yang diraih bangsa Indonesia adalah hasil usaha bersama semua agama dengan peran yang berbeda dan unik.
  3. Kita harus melakukan dialog antar agama secara intens dan  membiasakan diri untuk hidup berbaur dengan agama lain dengan tujuan supaya setiap agama saling memahami satu sama lain sehingga tercipta hubungan yang harmonis. Kurangnya kontak dan komunikasi biasanya menciptakan kecurigaan dan permusuhan.
  4. Kita harus memandang bahwa setiap orang memiliki hak asasi yang sama sebagai manusia.

Referensi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun