Kedua, mobilitas penduduk yang semakin tinggi tidak disertai dengan kesadaran melaporkan peristiwa pindah, datang, perubahan alamat dan tempat tinggal, seperti yang diwajibkan di UU.
Ketiga, tidak ada standar. DP4 dari administrasi kependudukan yang belum sepenuhnnya mencakup seluruh penduduk untuk dimutakhirkan. Sistema pemutakhiran data potensial pemilih (DP4) menjadi daftar pemilih sementara (DPS) di lapangan kelihatannya beragam dan tidak ada standarisasi pada inisiatif para ketua RT.
Jika dicermati dari data hasil pemilu ke pemilu, maka ada kecenderungan bahwa angka golput dari periode pemilu ke pemilu berikutnya memiliki kecenderungan peningkatan persentasenya. Namun, alasan yang mendasari masyarakat untuk melakukan tindakan golput mengalami pergeseran.
Kedepannya, dengan kesadaran masyarakat tentang hak-hak politik yang semakin tinggi dan sikap kritis yang semakin menguat, gerakan golput dapat diminimalisir hanya dengan cara: pertama, penyelenggaraan pemilu (KPU) harus senantiasa profesional dalam menjalankan kinerja dan fungsinya, khususnya dalam menyiapkan proses dan tahapan pemilu. Kedua, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga politik, baik itu partai politik, parlemen, maupun lembaga eksekutif dan yudikatif harus dibangun kembali dengan menampilkan performancedan kinerja yang baik sehingga masyarakat kembali memiliki harapan bahwa suara mereka di bilik suara tidak akan sia-sia.
Mencermati Pileg 2009: Gradasi Peran Partai dan Gejala Pragmatisme
Kehadiran pragmatisme politik yang semakin menguat, dan telah memberikan warna tersendiri dalam kehidupan politik bangsa, muncul hampir beriringan dengan fenomena menarik lain, yakni pergeseran peran partai politik. Pragmatisme, sebagaimana yang dikatakan oleh Andrew Heywood, pada dasarnya adalah sebuah perilaku politik yang disesuaikan dengan kondisi dan tujuan praktis ketimbang tujuan-tujuan yang bersifat ideologis.
Manakala atmosfer kepentingan berubah, posisi dan perlakuan baru pun dapat dengan mudah mengikutinya. Menurut Heywood, dengan mengambil contoh pendekatan politik kalangan “konservatif-pragmatis” semacam Edmund Burke, yang terpenting dalam pragmatisme adalah bukan mematokkan diri pada seperangkat prinsip yang pro-rakyat atau pro-negara, namun pada di antara keduanya yang dianggap dapat bekerja dan membawa manfaaat. Secara ringkas, pragmatisme merupakan sebuah pendekatan yang mengutamakan sebuah aksi ataupun hasil yang dapat dirasakan dampaknya segera.
Dalam makna positif, pragmatisme merupakan jawaban praktis dari sebuah kebutuhan masyarakat yang mendesak. Pragmatisme juga cenderung membawa kebijakan pemerintah lebih membumi dan kontekstual. Menurut Heywood, dalam kehidupan politik praktis bahkan pragmatisme kerap dibutuhkan manakala sebuah kepentingan yang lebih besar ingin diwujudkan. Sebaliknya, dalam makna negatif, pragmatisme lekat dengan hal-hal yang bersifat oportunisme, ultilitarisme, materialistik, dan penumpulan nalar sekaligus nurani dalam mendapatkan sesuatu.
Kampanye pileg kali ini telah menghadirkan fenomena “kontes individu” ketimbang kontes partai. Hal ini tercermin dari semakin besarnya peran caleg sebagai aktor dan kekuatan individu dalam mewarnai pelaksanaan kampanye. Perubahan aturan main, dalam hal ini amandemen pasal 214 UU No. 10 tahun 2008, telah membawa implikasi, yang satu diantaranya adalah menghadirkan fenomena pertarungan antar caleg, baik antar-partai maupun di antara anggota partai yang sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H