Dari berbagai literatur perilaku memilih, khususnya teori-teori perilaku memilih yang dibangun berdasarkan realitas politik negara-negara Barat, perilaku non-votingumumnya digunakan untuk merujuk pada fenomena ketidakhadiran seseorang dalam pemilu karena tidak adanya motivasi.
Di Indonesia perilaku non-votingpada umumnya dimanifestasikan dalam berbagai bentuk. Pertama, orang yang tidak menghadiri tempat pemungutan suara. Kedua, orang yang menghadiri tempat pemungutan suara tetapi merusak surat suara. Ketiga, orang yang menggunakan hak pilihnya dengan jalan menusuk bagian putih dari surat suara. Dalam konteks semacam ini perilaku non-votingadalah refleksi protes atas ketidakpuasan terhadap sistem politik yang sedang berjalaan. Keempat, orang yang tidak hadir di tempat pemungutan suara dikarenakan mereka memang tidak terdaftar sehingga tidak memiliki hak suara. Fenomena terakhir ini banyak terjadi pada Pemilu 2009 yang disebabkan buruknya kinerja penyelenggara Pemilu. Dalam konteks ini, perilaku non-votinglebih disebabkan alasan adminstratif. Biasanya, kelompok ini disebut golput pasif.
Dalam Pemilu di Indonesia, gerakan Golput mulaib populer era 70-an yang dipelopori oleh Arif Budiman. Golongan ini timbul akibat ketidakpuasan terhadap pelaksanaan pemilu tahun 1971. Pemilu 1971 yang menurut kalangan aktivis kampus pada saat itu, merupakan ajang penipuan sistematis terhadap rakyat.
Penjelasan teoritis terhadap perilaku Golput pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan penjelasan voting behavior.Dengan mengutip Ashenfelter dan Kelly, Burhanm, dan Powell, Moon menguraikan bahwa secara umum terdapat dua pendekatan untuk menjelaskan kehadiran pemilih dalam satu pemilu. Pendekatan pertama menekankan pada karakteristik sosial dan psikologi pemilih dan karakteristik institusional sistem pemilu. Sementara itu, pendekatan kedua menekankan harapn pemilih tentang keuntungan dan kerugian atas keputusan mereka untuk hadir atau tidak hadir memilih.
Secara umum, menurut kedua pendekatan tersebut setidaknya ada empat faktor memengaruhi seseorang berperilaku tidak memilih, yaitu faktor psikologis, sistem politik, kepercayaan politik, dan latar belakang sosial ekonomi. Dalam pemilu apa yang diperjuangkan kandidat atau partai politik tidak selalu sejalan dengan kepentingan umum yang luas. Dalam konteks semacam ini, para pemilih yang mempunyai kepribadian tidak toleran atau acuh tak acuh cenderung menarik diri dari percarturan politik langsung karena tidak berhubungan dengan kepentingannya.
Secara teoritis perasaan apatis sebenarnya merupakan jelmaan atau pengembangan lebih jauh dari kepribadian otoriter, yang secara sederhana ditandai dengan tiadanya minat terhadap persoalan-persoalan politik. Hal ini biasa disebabkan oleh rendahnya sosialisasi atau rangsangan (stimulus) politik, atau adanya perasaan bahwa aktivitas politik tidak menyebabkan puas atau hasil secara langsung. Anomi menunjukan pada perasaan tidak berguna. Mereka melihat aktivitas politik sebagai sesuatu yang sia-sia, karena mereka merasa tidak mungkin mampu memengaruhi peristiwa atau kebijakan politik.
Pada masa Orde Baru, tumbuhnya kelompok golput lebih bersifat gerakan protes terhadap sistem dan kebijakan politik dari rezim yang ada. Setidaknya terdapat tiga kebijakan politik pemerintahan Orba yang dinilai oleh hampir seluruh pendukung golput pada masa itu sebagai penghambat demokrasi politik. Pertama, adanya kebijakan massa mengambang, yaitu dengan membatasi kepengurusan partai politik di tingkat kabupaten/kota madya. Secara konsep kebijakan massa mengambang cukup baik, yakni memberikan kebebasan pada warga untuk berafiliasi dengan partai politiknya. Namun, implementasi kebijakan massa mengambang di Indonesia tidak sesuai dengan yang diharapkan di banyak negara demokrasi. Sebab, pelaksanaan massa mengambang justru membatasi ruang gerak masyarakat dalam berafiliasi dengan partai politik. Akibatnya, kreativitas dan dinamika politik masyarakat menjadi mandek.
Masyarakat tidak mempunyai kemampuan baik secara moral maupun aktual, untuk memengaruhi elit politik. Sebaliknya, otonomi organisasi massa terhadap partai politik pendukungnya justru tidak tampak. Betapa pun secara normatif ada pemisahan secara organisatoris antara organisasi masyarakat dengan partai politik, namun secara fungsional terdapat hubungan yang sangat erat antara kedua organisasi, khususnya hubungan antara Golkar dengan ormasnya. Oleh karena itu, penetapan kebijakan massa mengambang tidak ada pembenaran secara teoritis.
Sementara itu pada era reformasi, Pemilu 1999 dan 2004 lonjakan angka golput justru naik pada era pemerintahan Megawati. Jika pada Pemilu 1999 angka golput cenderung stagnan sebagaimana pemilu akhir masa Orba (1997) yang hanya berkisar 10%, maka pada Pemilu 2004 angka golput mencapai angka 23,24% atau naik 300 persen. Beberapa analisis mengemukakan bahwa melonjaknya angka golput pada pemilu 2004, lebih dikarenakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah Megawati secara bangunan sistem politik yang ada pada saat itu.
Kekecewaan pemilih terhadap kinerja politik dan tidak profesionalnya cara-cara pengelolaan pemerintah oleh partai yang berkuasa, menyebabkan banyak pemilih pada Pemilu 2004 melarikan diri untuk tidak memilih.
Lanjut kepada Pemilu 2009, penyebab tingginya angka golput tahun 2009 akibat adanya carut-marut dalam penyusunan DPT. Menurut Sri Moertiningsih Adhiotomo, setidaknya ada beberapa faktor yang mengakibatkan carut-marutnya penyusunan DPT (Daftar Pemilih Tetap): Pertama, UU No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, yakni pindah, datang, perubahan alamat dan tempat tinggal, serta perubahan status kependudukan dari tempat tinggal sementara menjadi tempat tinggal tetap dengan jangka waktu satu tahun. Ini membawa akibat kartu tanda penduduk, dan lain-lain. Ini sistem de jure.