Dalam artikel pertama dari seri Manusia dan Bumi, kita sudah belajar banyak mengenai bagaimana sejarah manusia dibentuk dan dipengaruhi oleh geografi dan topografi lautan, dari sedini zaman Yunani kuno hingga era transportasi minyak. Dalam artikel kedua ini, penulis akan menceritakan aspek lain dari Bumi yang memiliki peran krusial dalam membentuk peradaban modern seperti yang kita lihat sekarang, yakni sirkulasi atmosfer dan arus laut.Â
 Sejarah manusia tidak bisa dilepaskan dari kedua faktor tersebut,  mulai dari perang-perang besar Zaman Pertengahan, penemuan-penemuan dunia baru, hingga jalur perdagangan maritim utama, atmosfer dan laut berperan besar dalam perjalanan peradaban manusia sejak zaman kuno hingga modern. Tanpa basa-basi lagi, mari kita kembali menyelami kisah-kisah yang penuh aksi dan petualangan ini.
Pola Pergerakan Angin dan Arus Laut
Sebelum melangkah lebih jauh, alangkah baiknya bagi kita untuk memahami beberapa konsep ilmiah berkenaan dengan sirkulasi atmosfer Bumi dan arus laut agar dapat memahami dan membayangkan peristiwa yang akan diceritakan.
 Bagian paling hangat di Bumi terletak di sekitar ekuator/khatulistiwa karena wilayah tersebut adalah yang paling banyak menerima sinar Matahari dibanding wilayah lainnya. Sama seperti yang telah kita pelajari di sekolah, udara yang terpanaskan akibat sinar Matahari akan naik ke ketinggian yang lebih tinggi di atmosfer. Alhasil, udara yang naik di sekitar wilayah ini akan bergerak menuju wilayah yang lebih dingin, yaitu bagian Bumi di atas dan di bawah ekuator. Kedua "lengan" udara ini kemudian bergerak sekitar 3000 km untuk kemudian mendingin dan bergerak turun menuju permukaan. Udara yang bergerak turun ini menciptakan wilayah dengan tekanan udara tinggi.Â
 Sebaliknya, wilayah tempat udara bergerak naik akan memiliki tekanan udara yang rendah. Akibatnya, udara dari wilayah bertekanan tinggi -- sekitar lintang 30 derajat utara dan selatan -- akan bergerak ke wilayah bertekanan rendah yang terletak di sekitar ekuator. Setelah sampai di ekuator, proses yang sama akan berulang: udara dipanaskan Matahari, naik, bergerak ke wilayah yang lebih dingin, turun ke permukaan, dan kembali bergerak ke ekuator. Pola pergerakan udara di atmosfer ini disebut dengan sel Hadley (Gambar 1).Â
 Satu hal penting yang perlu diperhatikan adalah bahwa Bumi berotasi ke arah timur dengan kecepatan yang lebih tinggi dari kecepatan pergerakan udara (angin) tersebut. Hal ini menyebabkan suatu efek yang disebut efek Coriolis: angin dari utara yang mengarah ke ekuator akan terlihat bergerak ke arah barat (northeasterly winds), begitu pula dengan angin dari selatan yang mengarah ke ekuator akan terlihat bergerak ke arah barat (southwesterly winds). Kedua angin ini umumnya disebut dengan trade winds.
 Terdapat dua lagi sirkulasi atmosfer yang mirip dengan sel Hadley, yaitu sel Ferrel (mid-latitude cell) dan sel kutub (polar cell). Sel kutub memiliki proses yang sama persis dengan sel Hadley kecuali bahwa sirkulasi ini terletak di lintang lebih tinggi: di atas 60 derajat. Sementara itu, sel Ferrel merupakan konsekuensi dari keberadaan sel Hadley dan sel kutub sehingga arah sirkulasinya berlawanan dengan kedua sel tersebut. Sekali lagi, efek Coriolis juga berlaku pada sel Ferrel dan kali ini, angin bergerak dari barat ke timur. Angin yang berada di sel Ferrel umumnya disebut westerly winds (sama seperti penamaan untuk trade winds, southwesterly winds adalah nama untuk angin yang berasal dari selatan dan northwesterly winds untuk angin yang berasal dari utara).
 Wilayah di perbatasan antara sel-sel ini oleh pelaut disebut dengan doldrums. Dalam istilah yang lebih ilmiah, wilayah ini disebut intertropical convergence zone (ITCZ) untuk perbatasan antara dua sel Hadley di ekuator dan horse latitudes untuk perbatasan antara sel Hadley dan Ferrel di lintang 30 derajat utara dan selatan. ITCZ tergolong berbahaya bagi pelaut zaman dulu karena wilayah ini memiliki tekanan udara rendah yang umumnya diasosiasikan dengan angin yang sangat tenang. Hal ini berbahaya karena kapal bisa terombang-ambing tak bisa bergerak di tengah lautan selama belasan atau bahkan puluhan hari (sebelum zaman Revolusi Industri, mayoritas kapal masih menggunakan layar sebagai alat penggeraknya sehingga keberadaan angin sangat krusial untuk perjalanan).
 Angin yang berhembus dekat dengan permukaan mengakibatkan munculnya arus laut. Pola pergerakan arus laut ini mengikuti arah hembusan angin di atasnya. Dengan fakta bahwa lautan dibatasi dengan daratan dan bahwa efek Coriolis juga berlaku, maka pola arus laut ini cenderung bersifat lokal, mengikuti bentuk daratan yang mengitarinya (lihat Gambar 2).
 Satu lagi pola pergerakan udara, yang walaupun bukan termasuk yang utama, tetap memiliki andil yang sangat besar dalam sejarah manusia. Angin muson/monsoon. Proses ini sama persis dengan yang menghasilkan angin sepoi-sepoi yang kita rasakan jika sedang berada di pantai. Pada siang hari, daratan terpanaskan lebih cepat dari lautan karena daratan cenderung menyerap panas, bukan memantulkannya seperti yang dilakukan oleh air. Oleh karenanya, udara di atas daratan bergerak naik dan meninggalkan daerah bertekanan rendah di bawahnya. Udara yang lebih dingin di atas laut kemudian "terhisap" ke daerah bertekanan rendah ini, menghasilkan angin sepoi-sepoi yang berhembus dari laut ke darat.Â
 Pada malam hari, proses yang terlibat adalah kebalikannya. Udara di atas daratan mendingin lebih cepat sehingga udara di atas laut akan bergerak naik, meninggalkan daerah bertekanan rendah di bawahnya yang kemudian menghisap udara dari daratan yang lebih dingin. Akibatnya, angin sepoi-sepoi berhembus dari darat ke laut. Angin muson hanyalah versi yang lebih besar dari angin sepoi-sepoi dan terjadi dalam skala waktu musiman, bukan harian: saat musim panas, dataran benua terpanaskan lebih cepat dari samudra di sekitarnya dan akan menyebabkan angin muson berhembus ke dataran tersebut. Sebaliknya untuk musim dingin.
 Angin muson umumnya diasosiasikan dengan Samudra Hindia dan dataran sepanjang Himalaya, India, hingga Asia Tenggara, karena angin ini dirasakan paling kuat di sekitar wilayah-wilayah tersebut dan merupakan konsekuensi langsung dari kondisi geografisnya, khususnya India dan Himalaya (Clift et al., 2000; Rajagopalan & Molner, 2013). Efek yang paling signifikan dari keberadaan angin muson di sekitar Samudra Hindia dan India dirasakan oleh ITCZ di wilayah tersebut.Â
 Selama musim panas, angin muson yang kuat berhembus dari Samudra Hindia ke India dan menyebabkan ITCZ terdorong sejauh 3000 km ke utara. Sebaliknya, saat musim dingin, angin muson berhembus dari India ke Samudra Hindia dan mendorong ITCZ sejauh 3000 km ke selatan. Akibatnya, masing-masing dari northeasterly dan southeasterly winds mencakup area yang lebih luas saat musim dingin dan musim panas. Jauh sebelum para penjelajah Portugis sampai di Samudra Hindia, para pelaut di sekitar wilayah tersebut sudah menyadari keberadaan angin ini dan kemudian memanfaatkannya untuk melakukan perjalanan laut, baik untuk berdagang ataupun menjelajah (Crowley, 2016). Dengan mengetahui kapan angin muson berhembus ke India atau Samudra Hindia, para pelaut dapat dengan mudah menyeberangi samudra tersebut.
bagian 2!Â
 Sesi sains resmi berakhir di sini. Sekarang, mari kita masuk ke dalam kisah para penjelajah yang tak kenal lelah dan rasa takut. Semua bermula dari sebuah negara di Semenanjung Iberia yang bisa dibaca lebih lanjut diBaca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H