Begitu melewati pintu ganti baju, kenangan jaman SMA itu kembali seada-adanya. Ruang ganti baju tetap tak berpintu. Tirai dari plastic melambai ke sana ke mari. Kamar kecilnya? Ada, di tempat yang dulu juga. Pintunya sudah bisa ditutup, tapi gelap. Lalu tempat bilasnya? Persis-sis-sis seperti yang dulu. Tak ada perubahan sama sekali. Kedua belas pancuran masih berada di posisi yang sama, beberapa malah sudah patah engkolnya jadi tak bisa digunakan. Sudah ada gantungan baju, tapi letaknya begitu dekat dengan pancuran. Jadi kalau mandi terlalu seru, basahlah handuk kita.
Oh, hampir lupa: kunci locker yang harganya Rp. 15 ribu itu! Bisa membuka satu loker dari rak dari bahan besi yang langsing, ringkih. Kalau disenggol, goyanglah rak berisi 4 loker itu. Ada 4 rak seperti itu. Kunci seadanya, tapi sejauh ini aman-aman saja.
Tetapi lepas dari semua itu, kolam renang Cikini cukup memenuhi syarat untuk menghapus kerinduan saya pada berenang. Kolam tidak terlalu penuh. Sebagian besar berenang untuk urusan kejuaraan. Most of them are athletes! Ada juga yang bukan: serombongan anak-anak SMA –cowok dan cewek- memanfaatkan kolam sebagai arena PDKT. Yang cowok mencoba menyeberang lebar kolam, mengepakkan tangan, menciptakan percikan air bertubi-tubi. Apa daya, sebelum sampai di tengah, mereka sudah kehabisan napas, sehingga harus buru-buru kembali ke tempat semula. Sementara yang perempuan tertawa-tawa, menjerit-jerit, menempel, merayap-rayap di pinggir kolam. Ah, itu pemandangan yang sudah saya kenal sejak jaman SMA dulu. Rombongan seperti ini sudah ada ketika itu. Ternyata tak ada perubahan meski telah lewat lebih dari 35 tahun.
Jadi dengan semua pemandangan itu, dan segala nostalgia yang kembali bersamanya, saya habiskan satu jam di Kolam Renang Cikini di Minggu siang ini.
Akankah saya kembali lagi? Pasti. Saya perlu kolam berenang untuk membuat punggung kembali lurus. Dan bonus kenangannya, yang saya sambut dengan senang hati.Â