Mohon tunggu...
Rebiyyah Salasah
Rebiyyah Salasah Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Mahasiswa yang ke-maha-an nya dipertanyakan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Apakah Bunuh Diri Solusi untuk Hidup yang Tak Berarti?

16 Februari 2019   14:11 Diperbarui: 16 Februari 2019   17:46 555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Temanku mati bunuh diri dari lantai 5 sebuah mall," kata seorang teman lirih di Stasiun Juanda.

"Aku nangis waktu tahu kabar Jonghyun bunuh diri," ujar seorang teman pada setahun sepeninggalan Jonghyun.

"Eh, udah tahu belum kabar yang bunuh diri di Nangor?" Tanya seorang teman ke teman lainnya sealmamater. 

Alih-alih membicarakan bunuh diri dan kaitannya dengan kesehatan mental, tulisan ini akan membawa pada pembicaraan bunuh diri sebagai permasalahan filosofis, meskipun pada pembahasannya mungkin sama sekali tidak filosofis dan tokoh yang diangkat bukan seorang filsuf melainkan novelis.

"There is but one truly serious philosophical problem, and that is suicide," tulis Albert Camus sebagai pembuka sub bab Absurdity and Suicide dalam esai fenomenalnya, The Myth of Sisyphus. Camus adalah seorang novelis dengan kecenderungan filosofis yang kuat. Barangkali ini didapatnya karena ia belajar filsafat di Universitas Aljazair.

Pemikirannya sedikit banyak dipengaruhi dua tema utama filsafat awal abad kedua puluh, yakni eksistensialisme dan fenomenologi. Bahkan, tak jarang Camus dianggap sebagai filsuf eksistensialis, meskipun ia menolaknya.

Ada satu masalah filosofis yang benar-benar serius dan itu adalah bunuh diri. Ini tak lain karena bunuh diri berkaitan juga dengan persoalan hidup yang merupakan masalah filosofis paling penting karena konsekuensi drastis yang ditimbulkannya. Bayangkan saja, orang yang menilai hidup tidak layak dijalani besar kemungkinan akan melakukan bunuh diri, sedangkan orang yang merasa telah menemukan hidup cenderung mati atau membunuh untuk mempertahankan makna itu.

Pertanyaannya, apakah hidup yang tidak berarti adalah hidup yang tidak layak dijalani? Apakah bunuh diri sama dengan mengakui bahwa hidup tidak layak dijalani?

Tentang yang Absurd

Dalam esainya, Camus menaruh perhatian utama keseluruhan isi esai tersebut pada perkara "absurd". Bagi Camus, pengakuan bahwa hidup tidak berarti sama dengan perasaan absurd.

Kita tentu menjalani hidup dengan keyakinan bahwa hidup memiliki makna dan tujuan, serta perasaan bahwa kita melakukan sesuatu untuk alasan yang baik dan mendalam. Namun, kita menemukan hal yang membuat berpikir bahwa kita merupakan makhluk yang tidak bebas, hidup sangat tidak masuk akal, hidup tidak berguna, hidup tidak ada artinya, manusia didikte, dan sebagainya. Konflik mendasar antara apa yang kita inginkan dari alam semesta dengan apa yang kita temukan di alam semesta itulah perasaan absurd.

Perasaan absurd terkait dengan gagasan bahwa hidup tidak ada artinya, sedangkan bunuh diri berkaitan dengan gagasan hidup tidak layak untuk dijalani. Lantas, apakah gagasan hidup tidak ada artinya berarti bahwa hidup tidak layak untuk dijalani? Apakah bunuh diri merupakan solusi untuk absurditas itu?

Tindakan Mengelak Itu Bernama Harapan

Untuk menjawabnya, hanya ada dua kemungkinan jawaban: iya atau tidak, jika iya berarti bunuh diri, jika tidak berarti terus hidup. Sebagian besar dari kita terus hidup karena kita belum mencapai jawaban pasti atas pertanyaan itu. Lagipula ada banyak kontradiksi dan pertimbangan serta penilaian orang. Sedangkan mereka yang bunuh diri mungkin yakin bahwa hidup memiliki makna dan merasa hidup sudah tidak lagi memberi makna sehingga hidup tidak layak dijalani.

Lagipula, alasan untuk bunuh diri tidak lebih kuat dibandingkan naluri kita untuk bunuh diri. Hanya saja, ketika kita menyadari bahwa hidup tidak berarti, kita secara naluriah menghindari untuk menghadapi konsekuensi dari ketidakberartian hidup itu. Kita terbiasa mengelak, makanya muncul harapan sebagai manifestasi dari tindakan menghindari atau mengelak ini.

Dengan berharap, baik itu berharap kehidupan lain atau berharap menemukan makna kehidupan ini, kita tengah menghindari konsekuensi absurd atas hidup yang tak berarti. Camus sendiri justru berharap dapat menghadapi konsekuensi yang absurd. Alih-alih lari dari perasaan absurd, baik melalui bunuh diri atau pengharapan, ia justru ingin memikirkannya dan melihat apakah seseorang dapat hidup dengan perasaan ini.

Bagaimana Perasaan Absurd Itu?

Camus mengajak untuk memikirkan perasaan absurd dengan mempertanyakan apakah kita adalah makhlus bebas dengan jiwa dan nilai ataukah kita hanya keteraturan tanpa pikiran? Seringkali keduanya bukan pilihan biner, keduanya sama-sama-sama tidak terbantahkan.

Fakta paling jelas adalah bahwa keberadaan manusia memiliki nilai, lebih dari sekadar keinginan tapi berusaha mendapatkannya. Mengatakan bahwa sesuatu harus diinginkan berarti berasumsi bahwa dunia harus berjalan dengan cata tertentu. Tapi, penemuan sains pun menunjukkan bahwa manusia adalah keteraturan tanpa pikiran.

Camus mempertanyakan, adakah pilihan lain selain kedua pilihan itu? Ia kemudian mengajak mengenali perasaan absurd, pandangan dunia yang sangat objektif melihat beberapa hal dengan mudah. Dalam pandangan dunia ini, nilai tidak relevan dan tanpa nilai hidup tidak ada artinya.

Perasaan absurd mungkin tidak pernah dirasionalisasikan secara filosofis, tapi kita pasti pernah mengalaminya. Saat depresi dan tidak pasti, kita mungkin bertanya, "Apa gunanya melakukan sesuatu?" Pertanyaan ini pada dasarnya adalah pengakuan absurditas, pengakuan bahwa tidak ada gunanya melakukan apapun.

Pada tingkat pengalaman, kita mungkin pernah mengalami momen kebangkitan dari segala keletihan terhadap rutinitas. Namun kita punya dorongan untuk bertanya, mengapa harus melakukan itu? Atau mungkin kita pernah suatu waktu menyadari bahwa diri kita sebagaikayu yang hanyut di sungai waktu.

Kita mungkin pernah melihat benda-benda di dunia melepaskan makna dan tujuan yang kita berikan. Atau kita melihat orang lain berbicara dengan semangat tapi kita tidak bisa mendengar apapun dan gerakannya tampak seperti pantomim konyol tanpa makna. Atau, kita melihat mayat dan menyadari bahwa ini adalah tujuan kita yang tak terhindarkan, dingin, dan tak masuk akal.

Pada tingkat intelektual, perasaan absurd muncul ketikan pikiran digerakkan oleh keinginan kuat untuk memahami alam semesta, membuatnya menjadi kesatuan atau keseluruhan yang dapat dipahami. Pada tingkat sains, kita bisa melihat bagaimana teori menggambarkan dunia tetapi pada akhirnya tidak dapat menjelaskannya.

Absurditas menemukan dirinya dalam konfrontrasi antara keinginan kita akan kejelasan dan pemahaman kita tentang dunia yang tak masuk akal.

Menelaah yang Absurd, Menolak Rasionalisme

Metafora pengasingan merupakan tema yang seringkali muncul dalam karya-karya Camus, tidak terkecuali The Myth of Sisyphus. Pada esai ini, Camus membayangkan perasaan absurd sebagai tempat pengasingan yang tidak dapat dihuni, dimana tidak ada alasan untuk melakukan sesuatu.

Dalam menjelaskan perasaan absurd yang merupakan konfrontasi antara keinginan untuk kejelasan dan pemahaman tentanh yang tak masuk akal, Camus menghadirkan pemikiran-pemikiran tokoh yang menurutnya menghadapi irasionalitas namun terjebak pada apa yang disebutnya "leap". Entah itu berupa lompatan iman, atau melarikan diri.

Camus menolak rasionalisme, sayangnya dia tidak meyakinkan bahwa ada yang cacat dengan rasionalisme itu sendiri seolah semua orang sepakat bahwa rasionalisme itu cacat. Ia cuma memberikan pandangan dunia rasionalis yang tampaknya tak bisa dipertahankan. Camus, menurut James Wood, tidak berusaha menghadirkan sistem filosofis sebanyak dia mendiagnosis cara tertentu memandang dunia. "Camus lebih dari seorang dokter, kurang dari seorang filsuf," tulis James Wood.

Sisifus sebagai Pahlawan Absurditas

Hanya ada dua cara melepaskan diri dari perasaan absurd, pertama adalah bunuh diri dan kedua adalah berharap. Bunuh diri berarti menyimpulkan bahwa hidup tidak layak untuk dijalani, sementara berharap berarti menyangkal hidip tidak ada artinya denhan iman yang buta atau lompatan iman. Lantas, apa alternatif ketiga? Camus menyarankan: hidup dengan absurd. Menghadapi absurditas memungkinkan kita hidup sepenuhnya.

Camus mengggunakan legenda Yunani Sisifus untuk metafora perjuangan gigih individu menjalani hidup absurd. Camus mengidentifikasi Sisifus sebagai pahlawan absurditas, baik karena perilakunya di bumi ataupun hukumannya di dunia bawah, hukumannya adalah menangggung keabadian perjuangan tanpa harapan.

Mitos Sisifus menceritakan Sisifus yang dihukum Zeus selamanya dengan cara menggulingkan batu ke atas gunung hanya untuk menggelindingkannya kembali ke bawah ketika mencapai puncak.

Camus tidak memberi tahu bagaimana Sisifus menanggung hukumannya, Camus lebih terpesona pada kondisi pikiran Sisifus saat batu berguling menjauh darinya ketika sampai di puncak gunung.

"I leave Sisyphus at the foot of the mountain! One always finds one's burden again. But Sisyphus teaches the higher fidelity that negates the gods and raises rocks. He too concludes that all is well. This universe henceforth without a master seems to him neither sterile nor futile. Each atom of that stone, each mineral flake of that night-filled mountain, in itself forms a world. The struggle itself toward the heights is enough to fill a man's heart," tulis Camus

Hidup adalah perjuangan sia-sia tanpa harapan. Nasib mengerikan muncul ketika kita terus berharap, ketika ada sesuatu yang lebih disukai, atau ketika ada sesuatu yang lebih patut digapai. Namun, jika kita kita menerima bahwa tidak ada alternatif untuk disukai atau digapai, kita dapat menerima nasib dalam ketakutan, kita dapat menerima nasib tanpa keberatan, kita sepenuhnya menghargai kehidupan.

"One must imagine Sisyphus happy," Lanjut Camus.

Kebahagiaan dan absurditas berkaitan erat, keduanya terhubung dengan penemuan bahwa dunia kita dan nasib kita adalah milik kita sendiri, bahwa tidak ada harapan, bahwa hidup kita adalah murni apa yang kita dapatkan darinya. Kita bisa benar-benar bahagia ketika kita menerima hidup kita dan nasib kita sebagai sepenuhnya milik kita sendiri.

Jika kebahagiaan sejati mungkin, maka Sisifus harus berbahagia. Meskipun kemudian timbul pertanyaan, apakah membayangkan Sisifus bahagia atau membayangkan kebahagiaan sejati tidak seperti lompatan iman? Apakah bukan penyangkalan?

Terlepas dari itu, untuk mengakhiri tulisan ini, saya akan mengutip kalimat yang ditulis Wada , "Semoga aku bukan Sisifus yang kamu bayangkan bahagia." (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun