Suatu ketika pernah ada orang yang menawakan tes psikologi sederhana, cukup menyebutkan kesan atau apapun yang ada dipikiran kita tentang sesuatu yang ditanyakan, maka itu merujuk pada sesuatu yang lain. Pusing ya? Misal, saya ditanya soal kucing. Apa yang ada dipikiran saya tentang kucing itu ternyata merujuk pada apa yang saya pikirkan tentang pasangan/pacar. Â
Entah sebenarnya ini akurat atau tidak, yang jelas yang menarik perhatian saya ketika kata yang disebutkan adalah Kopi. Dan saya menjawabnya "pahit", ternyata katanya pandangan saya tentang kopi sebenarnya juga sama seperti pandangan saya soal cinta. Jadi, bagi saya cinta itu seperti kopi, pahit. Â
Saat itu saya berada di posisi dimana muak sekali soal cinta, soal menjalin sebuah hubungan, bahkan soal orang lain. Saya berada di posisi dimana cinta bukan lagi soal hati dan perasaan tapi soal logika dan pikiran. Bahkan, cinta bisa dikalkulasikan atau bisa dihitung untung ruginya. Cinta bukan soal lagi dari mata turun ke hati, tapi dari pikiran ke hati. Jika ada seseorang yang berdasarkan kalkulasimu, itung-itunganmu, Pikiranmu, sesuai dengan kriteriamu, maka cinta bisa dibuat. Cinta bisa ditumbuhkan sendiri. Â
Saya sampai di titik itu. Di titik dimana selain muak, saya antipati. Antipati dengan yang namanya cinta. Â
Bayangkan, saya sudah muak melihat pasangan-pasangan  yang mengumbar kemesraan dimana, muak pada mereka yang berpegangan tangan di taman, muak pada mereka yang merasa hanya milik berdua pada di sekitar banyak orang, muak pada mereka yang tiba-tiba jadi bodoh, jadi lemah, jadi sakit, bahkan jadi gila! Â
Kemuakan itu memuncak dan pada akhirnya berbalik pada diri sendiri. Saya muak untuk memulai suatu hubungan, seantipatinya itu soal cinta. Sebenarnya tak hanya soal muak, saya juga merasa diri saya bukan orang yang bisa diajak menjalin suatu hubungan untuk saat itu. Saya egois, tidak bisa berkomitmen, mengejar kebahagiaan sendiri, apa yang bisa diharapkan dari orang serperi itu? Bahkan saya tidak bisa berbagi dengan orang lain, berbagi keutuhan. Bahkan saya tidak bisa membukakan pintu bagi orang untuk masuk.Â
Saya percaya Tuhan berbicara lewat banyak suara, banyak hal. Lewat orang yang kamu temui di bis, lewat ibu-ibu penjual makanan, atau bahkan lewat orang yang kamu kenal. Ketika kemuakan saya memuncak, saya berbicara banyak hal dengan teman saya, sampai suatu titik dalam perbincangan itu kami membahas soal sepasang sejola, yang layaknya galih dan ratna, menjalin cinta.Â
Dari perbincangan itu, saya tetap antipati, melihat tidak ada sesuatu yang spesial. Keduanya hanya orang yang sedang bodoh bersama. Tapi, teman saya justru menawarkan sudut pandang lain. Dia bercerita bagaimana dia melihat keduanya bukan orang yang mengumbar kemesraan kepada orang-orang, keduanya adalah orang yang sedang jatuh, bodoh, berbagi kasih, menebar cinta. Bagaimana setiap tindakan sederhana yang kedua orang ini lakukan adalah wujud cinta. Sesederhana menyodorkan minum pada orang sehabis olahraga, sesederhana mengambilkan makaman, sesederhana membawakan tas, sesederhana tatapan yang sungguh dan penuh perhatian.Â
Sederhana tapi wujud cinta. Hal yang selama ini terlewatkan oleh saya, hal yang selama ini luput dari pandangan. Pada akhirnya menyadarkan bahwa jatuh cinta meskipun menjadi bodoh bersama, itulah sensasinya. Itulah cinta. Memang terkadang pahit, tapi bukan pada pahitnya lah seharusnya kita terfokus. Justru pada menikmati kepahitan itu, sampai pada akhirnya justru melegakan. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H