Nah banyak hal-hal yang sangat kontras dan bahkan berseteru sengit antara nilai-nilai yang dipegang oleh Islam Tradisional dengan nilai-nilai yang dipegang oleh Islam Modernis, meskipun mereka dalam peta aliran spiritual dan politik Jawa tetap masuk dalam satu golongan yang disebut Santri.
Begitupula jika kita menenggok kultur besar dari kelompok Kejawen, setidaknya di sana juga ada pertentangan nilai-nilai yang kemudian mengerucut menjadi dua arus besar yang saya identifikasi sebagai Kejawen Tradisional dan Kejawen Modernis.
Kejawen Tradisional merujuk kepada sebuah aliran Kejawen Ortodoks yang mengusung sepenuhnya nilai-nilai tradisional yang bersumber dari wejangan-wejangan, lontar-lontar, serat-serat, dan pakem-pakem nilai dari para leluhur Jawa dari generasi ke generasi, dan mencoba secara puritan untuk menghidupkan kembali semua pakem-pakem tradisi dari masa lalu itu. Sedangkan Kejawen Modernis adalah sebuah aliran Kejawen yang meski tetap menguri-nguri wejangan-wejangan, lontar-lontar, serat-serat, dan pakem-pakem nilai dari para leluhur Jawa, tetapi di satu sisi juga mensintesiskannya dengan nilai-nilai modern dari Barat seperti nasionalisme, demokrasi, pluralisme, liberalisme, sosialisme, hak-hak sipil, rasionalitas, kesetaraan gender, anti feodalisme, anti patriarkisme, anti poligami, dan anti rasisme. Maka aliran Kejawen Modernis ini juga melakukan peninjauan secara kritis terhadap konsep-konsep lama dalam budaya Jawa, serta melakukan penafsiran yang baru dalam praktik-praktik spiritual dan berkebudayaannya.
Seperti dua varian Santri yang kerap berseteru menyoal urusan "feodalisme" dan "kesetaraan gender". Begitupun juga dengan dua varian dalam kalangan Kejawen. Kelompok Kejawen Tradisionalis seringkali merasa jenggah dengan pihak Kejawen Modernis yang menganggap remeh soal "trah" (darah kebangsawanan) dan gelar-gelar keningratan dari keraton. Pihak Kejawen Tradisional menganggap 2 hal itu adalah simbol keagungan budaya Jawa di masa silam, sementara pihak Kejawen Modernis menganggap semua itu hanyalah bentuk feodalisme yang seharusnya ditinggalkan di era zaman yang sudah semakin egaliter, bahkan juga menganggap legitimasi gelar-gelar keraton dan darah ningrat itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan spiritualitasnya orang Jawa. Karena toh banyak guru-guru spiritual yang dulunya mendapat "pencerahan purna" malah setelah menjauh dari keraton dan segenap embel-embel feodalismenya, contoh saja Mahavira Vardhamana, Siddhartha Gautama, Ki Ageng Suryomentaram, atau bahkan Jiddu Krishnamurti yang meninggalkan kerajaan (dalam tanda kutip) yang berupa organisasi spiritual internasional bernama Teosofi.
Kelompok Kejawen Modernis juga sangat menentang keras praktik poligami yang sebagaimana masyhur dilakoni oleh raja-raja Jawa atau kisah-kisah dalam lakon pewayangan. Dalam hal ini kalangan Kejawen Modernis bersepakat dengan pandangan progresif dari kaum Kiri yang anti poligami karena merupakan bentuk hegemoni patriarkisme. Serta nurani kelompok Kejawen Modernis mampu untuk mendengarkan "tangisan batin" perempuan Jawa cemerlang bernama Kartini dari akhir abad 19 yang sekalipun sangat keras menyuarakan anti poligami, namun pada akhirnya juga tetap dikalahkan oleh hegemoni patriarkisme dan menjadi istri kesekian dari seorang bupati yang berpoligami.
Bagi Kejawen Tradisional, poligami mungkin merupakan privilege mutlak seorang laki-laki atau bahkan simbol kegagahan sebagaimana Sang Lelananging Jagat (Arjuna) yang beristri banyak dalam lakon pewayangan. Tapi bagi Kejawen Modernis, poligami hanyalah sebentuk egoisme patriarki, yang alih-alih merupakan tindakan jantan, yang ada poligami hanyalah sebentuk kegagalan seorang laki-laki dalam memberi "pengayoman perasaan" kepada seorang perempuan. Belum lagi banyak anak yang terlahir dari keluarga poligami itu sangat rentan sekali mengalami kekacauan mental dan psikologis sebagaimana anak-anak dari keluarga broken home.
Jadi setajam itulah perbedaan nilai-nilai yang  dipegang oleh kelompok Kejawen Tradisional dengan nilai-nilai yang dipegang oleh kelompok Kejawen Modernis. Dalam sejarah pergerakan nasional perseteruan prinsip dari dua kelompok ini misalnya dapat kita lihat dari perseteruan sengit di dalam tubuh organisasi Boedi Oetomo antara kubu Cipto Mangunkusumo (yang merupakan representasi Kejawen Modernis) yang mengusung spirit anti feodalisme, modernisasi Jawa, dan nasionalisme Indonesia dengan kubu Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat (yang merupakan representasi Kejawen Tradisional) yang kukuh mempertahankan tatanan feodal Jawa, nasionalisme bangsa Jawa, dan menolak pemikiran-pemikiran filsafat dari Barat.
Cipto dan Radjiman meski sama-sama seorang dokter, namun sangat bertolak belakang sekali dalam pemikiran dan sikap-sikapnya. Cipto, sekalipun lahir dari keluarga bangsawan, tetapi kemudian menyempal dan memberontak dari pakem feodal ke-priyayi-annya. Sebagaimana Ki Hajar Dewantara, kawan seperjuangannya yang merupakan pangeran dari keraton Pakualaman yang lantas bunuh diri atas privilege kasta sosial, begitu juga dengan Cipto Mangunkusumo, yang lantas menyebut dirinya sebagai jelata: "aku adalah anak dari rakyat, anak si kromo," begitu ia kerap berucap.
Sebaliknya dengan Radjiman, walau kemudian ia dianugerahi gelar Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) dari Kasunanan Surakarta karena jasa-jasanya dalam bidang pelayanan kedokteran, namun sesungguhnya ia malah berasal dari keluarga biasa dan bukan priyayi.
Radjiman Wedyodiningrat sebagai abdi dalem keraton tentu seringkali merasa dibuat jenggah dengan pemikiran-pemikiran dan tindakan-tindakan dari Cipto Mangunkusumo yang sangat lantang ingin menghapuskan feodalisme di tanah Jawa. Bahkan Cipto juga dengan terang-terangan memulai kampanye anti raja. Yang mana kampanye anti raja itu dikobarkan melalui tulisan-tulisan di surat kabar Penggoegah dan forum Volksraad (dewan rakyat). Sasaran kritik Cipto adalah para penguasa feodal di 4 keraton Jawa yang pemeliharaan tradisinya sangat terasa membebani rakyat, terutama dengan sistem pajak dan kerja wajib untuk keraton. Maka karena itu Cipto mengusulkan agar Kasunanan Surakarta dan Mangkunegara dipensiunkan saja dengan diberi gaji bulanan 2000 gulden.
Nah, terlepas dari semua perbedaan-perbedaan prinsip yang sedemikian tajam ini, bagaimanapun antara kelompok Kejawen Tradisional dan kelompok Kejawen Modernis itu adalah sama-sama "orang Jawa yang berjati diri Jawa". Sehingga sangatlah indah sekali jika kita saat ini bisa bersatu dan rukun dalam satu nafas perjuangan. Maka tidak usahlah merasa paling Jawa sendiri dengan menegasikan kelompok yang berbeda pemikiran atau sudut pandang sebagai Jawa Palsu atau Jawa Abal-Abal. Malulah kalau dilihat kubu Santri yang sekarang antara kelompok NU (Islam Tradisional) dan Muhammadiyah (Islam Modernis) sudah sedemikian harmonis dan bergandengan tangan. Karena toh mereka akhirnya menyadari jika mereka segolongan dan sekeyakinan. Sekalipun perbedaan nilai-nilai yang mereka pegang itu sangat tajam, tapi toh mereka tetap sekeyakinan dan seajaran serta sama-sama memegang prinsip-prinsip dasar seperti: bahwa yang disebut sebagai tanah suci itu adalah tanah Arab Saudi dan bukan tanah Jawa/Nusantara dan bahwa manusia yang paling pantas dijunjung tinggi dan diteladani itu adalah Muhammad dan bukan para leluhur Jawa/Nusantara.
Saya berharap demkian juga yang terjadi di antara saudara-saudara Kejawen Tradisional dengan saudara-saudara dari Kejawen Modernis, kita memang memiliki perbedaan-perbedaan prinsip yang tidak mungkin untuk  dipersamakan, tetapi toh yang jelas kita tetap sama-sama "orang Jawa yang berjati diri Jawa" dan punya prinsip-prinsip dasar yang sama. Jadi mari kita tetap bersahabat dan bersaudara sekalipun memiliki perbedaan-perbedaan prinsip yang tajam dalam beberapa hal. Awas-awasilah siapa yang sejatinya "kawan" dan siapa yang sejatinya "lawan" itu.