Sebagai manusia Jawa, ikutilah jejak para leluhur, jadilah manusia yang tajam dalam "olah lahir" dan tajam dalam "olah batin". Jadilah seperti Werkudara yang merupakan Satria Pinandhita, seorang Satria yang sekaligus merangkap sebagai seorang Pandhita. Demikianlah wejangan yang pernah diberikan oleh seorang Guru.
Lanjutnya lagi, sebagai seorang Pandhita, maka harus milikilah beberapa sikap dan prinsip yang berupa; selalu haus akan pengetahuan dan kebajikan, berpantang untuk capek dalam menyelami lautan intelektualitas dan spiritualitas, berpantang untuk kendor semangat dalam "ngangsu kaweruh" dan mencicipi lapis demi lapis keilmuan, suka dan senantiasa mengakrabi laku-laku asketis seperti mengurangi tidur, puasa, dan olah samadhi.
Tetapi di satu sisi sebagai seorang Satria, juga harus milikilah beberapa hal ini; sikap mental yang tegas dan berani, serius dalam menggembleng aspek lahir seperti ilmu silat dan olah kanuragan, bersumpah untuk memiliki "sikap batin" Tatag (Berani) Teteg (Kokoh Pendirian) dan Tutug (Selesai) dalam membela sebuah prinsip kebenaran --- sekalipun jika dihadapkan pada sebuah pertarungan yang berujung maut.
Jujur saya terhenyak. Lebih-lebih pada wejangan sikap batin "Tatag Teteg Tutug" ini. Dan tentu saja soal Tatag Teteg Tutug ini saya kira sangat menarik untuk dikupas. Sebagai perbandingan saja, di kalangan samurai dan para pendekar di negeri Jepang sana juga ada yang dinamai spirit Bushido, spirit berani mati demi sebuah prinsip kebenaran, bahkan kala mereka para pendekar Jepang itu merasa telah gagal dalam memegang prinsip tadi, mereka tidak segan-segan untuk melakukan Harakiri --- bunuh diri dengan mengiris perutnya sendiri.
Kita di Jawa yang oleh para leluhur diwarisi ajaran untuk Tatag Teteg Tutug ini kok menurut saya sebenarnya juga kurang lebih sama dengan spirit Bushido yang diajarkan oleh para leluhur orang Jepang. Konsekuensi dari orang Jawa yang memegang ajaran Tatag Teteg Tutug ini saya kira seharusnya juga sama dengan konsekuensi orang Jepang yang memegang prinsip Bushido.Â
Maka seharusnya pemegang prinsip ajaran Tatag Teteg Tutug juga tidak main-main, karena toh semestinya prinsip itu tidak hanya berlaku dalam sebuah pertarungan silat belaka, tetapi juga harus berlaku dalam kehidupan sehari-hari si pemegang prinsip, orang yang sudah mempunyai sikap batin Tatag (Berani) dan Teteg (Kokoh Pendirian), manakala ia sudah mengatakan A, maka semestinya ia akan sepenuhnya melakukan tindakan A tersebut sampai Tutug (Selesai), pantang baginya untuk membatalkan/mundur jika sekiranya tidak ingin dikatai sebagai manusia "ora sembada", manusia yang tidak patut. Seperti halnya pendekar Jepang yang tidak patut, yang sudah melanggar prinsip Bushido, tapi ia justru pengecut, enggan dan takut dalam melakukan konsekuensi Harakiri.
Maka dalam analisa saya yang sederhana, kiranya ada sebuah tautan benang merah, jika orang-orang Jawa itu meski secara umum dalam kesehariannya "lembah manah", sopan, kalem, dan santun, tetapi jika sudah menyangkut prinsip-prinsip utama mereka yang diciderai maka mereka pun bisa "cancut taliwondo" ngamuk menghadapi --- meski apapun resikonya. "Tatag Teteg Tutug" ketiga kata itulah mungkin mantra yang akan selalu dipegangnya. Maka bagi saya tidak heran "Manusia Jawa Pemberontak" pada masa perang Jawa 1825-1830 dulu sangat terkenal heroisme keberaniannya dan sangat membuat kocar-kacir pasukan KNIL Kolonial Belanda.
Spirit Bushido dan Spirit Tatag Teteg Tutug yang mengkobarkan api keberanian dan menghapus rasa takut akan maut ini --- sekali lagi menurut analisa sederhana saya --- sejatinya juga merupakan manifesto dari prinsip spiritualitas yang sangat kuat. Spirit Bushido itu jika kita lacak adalah manifesto dari prinsip Zazen (Meditasi Zen Buddhisme) sedangkan Spirit Tatag Teteg Tutug itu jika kita lacak juga merupakan manifesto dari laku Samadhi Kebatinan Jawa.Â
Hampir semua aliran beladiri Jepang mulai dari samurai, karate, judo, aikido, jiu jitsu, hingga ninjutsu itu landasan dan dasar kebatinannya adalah Meditasi Zen, sedangkan perguruan-perguruan silat di Jawa yang otentik, landasan dan dasar kebatinannya adalah juga patrap laku Meditasi Jawa, seperti meditasi tapa kungkum di sungai, tapa menyepi seorang diri di hutan, gua, atau puncak-puncak gunung yang sunyi dan angker --- semua itu dalam pandangan dunia Jawa adalah sarana pendidikan dalam upaya menggladi dan mempertajam batin.
Laku tapa atau meditasi adalah laku melatih kondisi kesadaran penuh, keawasan tingkat tinggi, ketenangan tak tergoyah seperti arca, batin yang rileks dalam setiap situasi, serta pada puncaknya adalah semeleh --- kepasrahan pada aliran takdir kehidupan. Inilah sekiranya "pusaka batin" yang membuat para kesatria, para pendekar Jepang dan Jawa di masa lalu tidak gentar pada kematian. Juga sebagaimana kita jumpai korelasinya dalam tokoh pewayangan Werkudara, terutama dalam lakon Dewa Ruci. Sang Werkudara karena sudah "ngugemi dawuh" (memegang perintah) dari gurunya, sudah tidak kenal lagi pada takut dan maut, ia Tatag dan Teteg menjelajahi hutan yang begitu sunyi dan angker serta terjun ke tengah-tengah samudera hingga Tutug.