Secara de jure Indonesia ini nyata-nyata punya Pancasila, punya falsafah Bhinneka Tunggal Ika. Tetapi apakah itu eksis secara de facto, nyata dalam realitas?
Saya kok pesimis. Banyak penganut agama impor di negeri ini yang nyata-nyata melecehkan Pancasila, melecehkan Bhinneka Tunggal Ika, melecehkan Ancient Wisdom dari negeri ini. Tetapi mereka malah disokong negara, dimanjakan dengan berbagai fasilitas oleh negara. Bahkan dibuat sakral, dibuat "suci dari kritik" oleh perundang-undangan negara.
Padahal tindak tanduk para penghayat kepercayaan impor yang kita saksikan selama ini, bukankah sangat kontra dengan ideologi negara, sangat kontra dengan sila kemanusiaan yang adil dan beradab, sangat kontra dengan sila persatuan Indonesia, dan sangat kontra dengan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?
Mereka para penganut agama impor tertentu itu merasa lebih suci, lebih hebat, dan lebih layak menguasai Indonesia ini dibandingkan saudara-saudara sebangsanya yang menganut agama lain. Sampai-sampai mereka membuat parpol pun begitu sektarian, dengan mengusung kefanatikan akan simbol-simbol kepercayaan impornya itu.Â
Seakan bagi mereka mengkotak-mengkotakkan anak bangsa ini adalah sebuah kewajiban. Dan seakan-seakan Nasionalisme Indonesia yang tidak mengkotak-kotakkan dan tidak memecah belah anak bangsa ini, begitu najis bagi mereka.
Tidak sampai disitu saja Jiwa Sengkuni mereka. Bahkan mereka juga seringkali berkampanye hitam, berpolitik licik. Dengan berusaha mengaburkan peran dan sejarah anak bangsa di luar kelompok kepercayaan impornya itu. Misalnya menista pahlawan bangsa seperti Kapitan Patimura.Â
Dengan mengklaim atau meng-hoax bahwa agama sebenarnya dari Kapitan Patimura itu adalah agama impor mayoritas seperti mereka. Dan bukan agama impor minoritas seperti umumnya yang dianut di daerah asal Kapitan Patimura.
Dengan propaganda licik seperti itu seakan mereka mau sesumbar, bahwa hanya kelompoknya sendiri yang punya peran bagi bangsa ini, kelompok di luar kepercayaan impornya itu dulu hanyalah ongkang-ongkang kaki dan lalu menikmati kemerdekaan dari kolonialisme.Â
Untuk itu mereka merasa paling berhak menjarah dan menguasai negeri ini sekehendak dan sesuai dengan aturan-aturan kepercayaan impornya itu. Termasuk mereka merasa benar dalam menindas penganut agama-agama lain dan spiritualitas lokal di negara ini.
Selanjutnya, kenapa sampai di sini saya selalu menulis dan menyoal "agama impor"?
Karena itulah memang faktanya. Enam agama yang diakui di negara ini faktanya adalah berasal dari negara lain semua. Agama/Spiritualitas asli dari negeri ini malah hanya dijadikan anak tiri oleh negara, dengan hanya disebut sebagai aliran kepercayaan belaka
. Padahal bukankah semua agama itu adalah aliran kepercayaan? Apakah ada agama yang merupakan aliran ketidakpercayaan?
Kenapa lantas ada pembedaan yang begitu menyolok? Kenapa negara ini takluk pada hegemoni keyakinan impor dan begitu mindernya sampai tidak berani mengayomi spiritualitas asli dari negeri ini?
Bukankah bangsa dan negara yang berwibawa itu adalah bangsa dan negara yang berjati diri, bukan bangsa dan negara yang hanya mengekori dan menyembah negara dan bangsa lain?
Lantas apakah kemudian saya hanyalah chauvinis fasis yang anti agama impor?
Satu hal yang pasti. Nasionalisme Indonesia bukanlah nasionalis fasis atau chauvinis.
Jika Nasionalisme Indonesia adalah Nasionalisme Fasis seperti Nazisme Jerman, maka sudah pasti ada genosida besar-besaran terhadap keturunan asing seperti keturunan Arab yang numpang hidup di negeri ini, sama persis seperti Hitler dulu membuat genosida besar-besaran terhadap keturunan Yahudi yang numpang hidup di Jerman. Kenyataannya kan Nasionalisme Indonesia tidak seperti itu. Nasionalisme Indonesia ini adalah Nasionalisme Berkemanusiaan --- demikianlah kata Bung Karno.
Kemudian saya sendiri toh juga berasal dari keluarga penganut agama impor, saya sejak kecil juga dididik dalam lingkungan pendidikan yang berbasis agama impor, bahkan saya juga aktif di ormas agama impor. Saya pun juga tidak bergabung dalam paguyuban spiritualitas lokal manapun.
Tetapi saya sendiri memang ingin belajar berlaku adil sejak dalam pikiran. Saya sudah begitu muak dengan kesombongan saudara-saudara saya penganut agama impor yang semena-mena menista, merendahkan, dan memusuhi saudara sebangsa penganut agama-agama impor lain atau bahkan spiritualitas asli dari negeri ini.
Jika kita saling memusuhi
Kemana semua janji untuk bersatu
Jika selalu merasa berbeda
Bukankah kita semua saudara
Walau berbeda kita Indonesia
Demikianlah petikan lagu indah berjudul Bhinneka Tunggal Ika yang diciptakan dan dinyanyikan oleh Fortunata Yvonia Fidelma, salah satu putri kebanggaan bangsa ini.
Menilik dari situ, pantaskah kefanatikan kita pada produk agama impor memecah belah rasa persatuan kebangsaan kita? Bukankah sebelum kedatangan agama-agama impor bangsa kita pun sudah punya riwayat peradaban yang besar? Sudah saling hidup damai atas perbedaan pandangan terhadap spiritualitas? Setidaknya filsafat Tantularisme pada abad ke-14 sudah menunjukkan akan hal itu.
----------
Ngawi, 08.04.2022
Alvian Fachrurrozi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H