Mohon tunggu...
Rebecca Pandu
Rebecca Pandu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Nasib Jurnalisme Indonesia di Masa Depan

23 Oktober 2023   23:12 Diperbarui: 24 Oktober 2023   23:12 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jurnalisme di Indonesia telah mengalami perkembangan yang pesat. Saat ini konten jurnalisme sudah mulai hadir dengan berbagai bentuk yang menarik, salah satunya adalah dengan munculnya konten audio visual. Konten audio visual hadir dalam format video, yang salah satunya adalah podcast. Dalam bahasa Indonesia, podcast disebut siniar. Podcast digadang-gadang menjadi salah satu media jurnalisme masa depan di Indonesia.

Istilah podcast pertama kali diperkenalkan oleh Ben Hammersley pada tahun 2004. Ini diawali ketika Ben menyebutkan kata “podcasting” saat sedang membahas mengenai audioblogs dan radio online dalam artikelnya di www.theguardian.com (Fadilah, dkk, 2017). Pada awalnya podcast hanya merujuk pada konten dengan format audio, namun kini berubah bentuk menjadi audio visual. 

Podcast memiliki karakteristiknya sendiri yang sekaligus menjadi keunggulannya (Imarshan, 2021). Yang pertama podcast dibawakan secara storytelling, yang dimana storytelling merupakan sebuah teknik menyampaikan pesan kepada pendengar secara bercerita mengenai peristiwa, dialog, maupun adegan. Yang kedua adalah podcast tidak memberikan batasan terhadap konten yang ingin didengarkan oleh pendengarnya. Pendengar podcast dapat secara leluasa memilih konten mana yang diinginkan dan dibutuhkan. 

Karakteristik yang ketiga, podcast dapat dinikmati tanpa harus terfokus pada hanya mendengarkan podcast saja. Ini dikarenakan pendengar podcast dapat melakukan pekerjaan lain sambil mendengarkan podcast. Selain itu, podcast juga dapat didengarkan kapanpun, tidak seperti radio yang terjadwal. Kemudian yang terakhir adalah podcast memberikan rasa intimasi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan media lainnya seperti radio maupun televisi. Ini dikarenakan pendengar podcast biasa menikmati konten podcast secara personal, sementara menikmati konten radio atau televisi biasanya secara bersama-sama.

Salah satu contoh jurnalis yang melakukan podcast adalah Najwa Shihab. Najwa diketahui memiliki saluran podcast yang bernama Narasi TV. Saat ditanyai oleh Wisnu Nugroho, pemimpin redaksi Kompas.com, Najwa Shihab mengaku jika target dari Narasi TV adalah anak muda. Ini karena Najwa ingin Narasi TV dapat dijadikan sebagai wadah untuk mengaktualisasikan diri bagi anak muda (Ramadhan dan Gautama, 2022).

Kemudian selain podcast, konten audio visual lainnya yang mulai muncul adalah dalam bentuk animasi. Animasi yang merupakan unsur visual kemudian disertai dengan back sound atau suara latar yang menjadi unsur audionya. Animasi sendiri merupakan gambar bergerak yang dihasilkan dari susunan rangkaian gambar yang berurutan dan mengikuti alur pergerakan dengan hitungan waktu yang terjadi (Silitonga dan Rosyida, 2015). Gerakan atau motion yang dihasilkan dari animasi memiliki daya pikat tersendiri. Ini dikarenakan motion atau gerakan akan menimbulkan sensasi yang kemudian merangsang stimulus visual manusia.

Salah satu media yang telah menerapkan animasi ini adalah VIK, atau Visual Interaktif Kompas yang diluncurkan oleh Kompas. Dalam konten jurnalismenya, kemudian menyisipkan ilustrasi yang dianimasikan serta audio yang mendukung. Ilustrasi yang disediakan VIK ini selalu berkaitan dengan topik bahasan, ini dikarenakan ilustrasi tersebut memang bertujuan agar pembaca semakin memahami isi bacaan tersebut.

VIK juga menggunakan gaya penulisan storytelling. Selain itu VIK juga menggunakan bahasa yang sederhana meskipun informasi yang disampaikan merupakan informasi yang cukup serius. Karenanya meskipun VIK aslinya masih merupakan konten jurnalisme, namun pembacanya tidak merasa seperti sedang membaca konten jurnalisme.

Salah satu judul konten VIK adalah “Punan Batu: Pengetahuan yang Menumbuhkan Harapan” yang berisi informasi mengenai sejarah suku Punan Batu. Bacaan ini dikemas seperti buku dongeng anak kecil, bergambar dengan teks yang singkat. Ini menjadikan bacaan mengenai sejarah yang biasanya dinilai sebagai topik yang cukup berat dan serius justru menjadi bacaan yang ramah untuk dibaca bahkan oleh anak-anak.

Dalam jurnalisme di Indonesia juga telah terjadi perubahan terkait siapa saja yang dapat melakukan kegiatan jurnalisme. Pada awalnya, kegiatan jurnalisme hanya dapat dilakukan oleh professional. Namun kini kegiatan jurnalisme juga turut dapat dilakukan oleh masyarakat awam atau masyarakat yang tidak mendapatkan pelatihan khusus jurnalisme. Jurnalisme yang dilakukan oleh masyarakat awam ini disebut dengan citizen journalism atau jurnalisme warga.

Citizen journalism dibagi menjadi tiga jenis. Yang pertama yaitu citizen journalism yang dimiliki oleh media besar. Contohnya yaitu seperti Kompasiana yang dimiliki oleh Kompas, Citizen6 yang dimiliki oleh Liputan6, dan Yoursay yang dimiliki oleh Suara.com. Jenis yang kedua yaitu citizen journalism murni, atau tidak dimiliki oleh media besar. Contohnya seperti Jalinmerapi.com dan Katolikana. Dan jenis yang terakhir yaitu portal forum. Contoh dari portal forum adalah Kaskus.

Kehadiran citizen journalism tentu dilengkapi dengan kekurangan dan kelebihannya. Ini kemudian menimbulkan kelompok pro dan kontra. Menurut Widodo (2020), kelompok pro melihat adanya kekuatan dari citizen journalism. Yang pertama yaitu karena citizen journalism bisa menarik pasar yang kurang diperhatikan oleh media mainstream. Yang kedua karena warga memperlakukan blog lebih sebagai panggilan moral daripada sebatas profesional. Dan yang terakhir karena citizen journalism bisa menyuarakan suara yang tidak diperhatikan media mainstream.

Sementara itu, kelompok kontra melihat kelemahan dari citizen journalism (Widodo, 2020). Beberapa diantaranya seperti masyarakat yang melakukan citizen journalism tidak mendapatkan pelatihan untuk melakukan pengumpulan berita. Ini kemudian berkaitan dengan ketidakmampuan citizen journalism dalam menghadirkan sumber daya yang dapat membuat berita yang dapat dipercaya. Tidak hanya dari segi pelatihan, namun masyarakat awam juga kurang dalam segi relasi dan koneksi. Lalu kelemahannya yang lain adalah citizen journalism yang banyak menghadirkan topik-topik sepele, seperti topik sebatas menu sarapan yang cocok ataupun mengenai zodiak.

Citizen journalism dalam penerapannya sebenarnya memiliki editor yang bertugas untuk memeriksa dan mengecek hasil tulisan masyarakat. Namun sayangnya perbandingan antara editor dan masyarakat yang turut serta menulis tidak seimbang, dimana jumlah editor tentu saja lebih sedikit. Ini membuat editor menjadi kewalahan dan banyak hasil tulisan masyarakat yang tidak diverifikasi oleh professional. Permasalahan citizen journalism ini tentu akan lebih dirasakan bagi citizen journalism murni, dimana tidak hanya editor, namun juga penulisnya biasanya lebih terbatas. Ini karena mereka menulis maupun menjadi editor secara sukarela atau volunteer, atau dalam arti lain tanpa dibayar. Karenanya citizen journalism benar-benar menjadi suatu panggilan tanpa dibayangi rasa professional.

Dengan adanya bentuk-bentuk jurnalisme yang baru, ini membawa potensi yang baik bagi masa depan jurnalisme di Indonesia. Jika dimanfaatkan dengan baik, maka kehadiran konten audio visual dan citizen journalism tentu akan memajukan jurnalisme di Indonesia. Namun potensi ini juga sekaligus menjadi tantangan tersendiri. Seperti misalnya pemikiran masyarakat yang cukup kritis namun terkadang tidak mendapatkan wadah untuk menyuarakannya. Maka ini menjadi tantangan bagi citizen journalism agar dapat menjadi wadah bagi masyarakat untuk menuangkan serta mengasah kekritisan pola berpikir mereka. Kemudian isu mengenai tingkat literasi masyarakat Indonesia yang cenderung rendah. Maka ini menjadi tantangan tersendiri bagi penyedia konten audio visual, dimana mereka harus berusaha untuk meningkatkan literasi masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan podcast yang membuat masyarakat terkesan seperti sedang menonton video. Selain itu juga dapat dilakukan dengan cara membuat bacaan interaktif yang memanfaatkan animasi serta gaya penulisan storytelling agar topik serius dapat dinikmati secara lebih ringan. 

Referensi:

Fadilah, E., dkk. (2017). Podcast sebagai alternatif distribusi konten audio. Jurnal Kajian Jurnalisme, 1(1), h.95.

Imarshan, I. (2021). Popularitas podcast sebagai pilihan sumber informasi bagi masyarakat sejak pandemi covid-19. Jurnal Ilmu Komunikasi Politik dan Komunikasi Bisnis, 5(2), h.218-219.

Ramadhan, F. dan Gautama, F. (2022, April 5). Najwa shihab dan mimpi narasi sebagai jaringan komunitas anak muda. Kompas.tv. Diakses dari https://www.kompas.tv/kolom/277063/najwa-shihab-dan-mimpi-narasi-sebagai-jaringan-komunitas-anak-muda?page=all

Silitonga, M. K., & Rosyida, S. (2015). Animasi Interaktif Sebagai Media Sosialisasi Indonesia Tsunami Early Warning System (Inatews). Jurnal Sistem Informasi Stmik Antar Bangsa, 4(2), 200–207.

Widodo, Y. (2020). Buku ajar: Jurnalisme Multimedia. Yogyakarta: Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun