Dulu, ada satu hal yang saya waspadai saat di dalam mobil pada malam hari, yaitu bulan. Sejauh pemantauan saya, mobil kami bergerak kemanapun, dari gas dihidupkan sampai kembali lagi ke garasi, saya selalu bisa melihat bulan, atau lebih tepatnya bulan selalu bisa melihat saya. Anggapan ini lalu berkembang ke arah mengerikan, entah saat purnama atau sabit, bulan terus mengikuti saya. Saat duduk di pinggir jendela, tempat favorit kami empat bersaudara saat di mobil, kadang saya sengaja tidak lama-lama mendongak ke atas.
Sampai pada suatu titik, saya baru menyadari kronologisnya, bulan amat besar, dan saya teramat kecil, jarak kami amat jauh, jadi fair kalau bulan selalu terlihat dimanapun saya berada, titik. Bulan pun sebenarnya tidaklah menyeramkan, entah sudah berapa literatur puisi dan novel yang begitu mengagungkan bulan. Bahkan mereka memberi imbuhan sehingga namanya terdengar seksi: rembulan. Karena ukurannya yang besar, berdasarkan definisi masa kecil saya, (rem)bulan memiliki status yang unik, yaitu sebagai penonton.
Bicara soal penonton, baru-baru ini saya menemukan profesi yang cocok bagi Anda yang ingin menjadi penonton, yaitu sopir travel. Ukurannya terhitung lengkap, menjemput penumpang sehingga otomatis melihat keadaan rumah dan keluarga saat melepas kepergian, membawakan travel bag nya, menguping pembicaraan apabila si penumpang menelepon di dalam mobil, sampai melihat tujuan akhir perjalanan. Ini belum ditambah bonus berdialog dan berdebat apabila si penumpang ngeyel untuk minta diantar duluan. Lengkap sudah, si sopir akan sangat bisa membayangkan keseharian orang itu. Pengamatan yang sama dilakukan pada penumpang di jam lain, di hari lain. Betapa banyak referensi bukan? Kurang ‘penonton’ apa coba sopir travel?
Hal yang sama tidak bisa didapatkan seorang sopir bis, apalagi masinis kereta api. Karena mindset para penumpang di dua kendaraan itu adalah tidur atau mendengarkan musik di headset, seperti saya. Lagipula mereka hanya mengantar checkpoint to checkpoint. Justru penumpang kereta api lah yang bisa dikategorikan sebagai penonton, apalagi di rel above ground menuju ke Gambir. Kemacetan jalanan Jakarta, tingkah laku pedagan asongan di perempatan jalan, sampai gambar anak-anak bermain bola di lapangan semen sekolah.
Sampai disini, saya tidak tahu siapa yang berperan sebagai penonton. Terlebih lagi saat saya melihat gedung bertingkat di pinggir rel. Kami yang bisa melihat mereka menyeduh kopi, bermain black jack di komputer, dan memaki melawan tekanan pekerjaan? Atau mereka dari kursi kerjanya yang lebih leluasa melihat di antara kami ada yang tertidur dengan mulut menganga, sekedar menatap kosong keluar, dan mengetik terburu-buru di laptop?
Sepertinya, saya tidak akan lagi pusing memikirkan itu saat naik kereta, karena saya bisa berperan sebagai keduanya, dan memilih. Dan saya tidak perlu takut, karena orang-orang di gedung bertingkat itu bukanlah bulan yang berukuran raksasa. Mereka hanya melihat sekilas, lalu kembali bekerja, menjadi penonton lagi di rentetan gerbong berikutnya, lalu kembali lagi ke dunianya. Begitu seterusnya. Menemukan, lalu melupakan.
*Tulisan ini saya dedikasikan untuk tiga orang di atas yang sudah mengantar saya bolak-balik Bandung-Cirebon-Semarang. Entah saat saya memang perlu bolak-balik atau tidak.
Diambil dari blog pribadi saya di http://reanhidayat.wordpress.com/2012/10/29/penonton/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H