Mohon tunggu...
Reananda Hidayat
Reananda Hidayat Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Writer

Pembaca | Fotografer | Penikmat teh | Manchester United | reanhidayat.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Ketika Sang Komentator Bersabda

24 September 2012   15:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:47 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Coach Rahmad Darmawan memberi kejutan di starting line up kali ini, playmaker Firman Utina tidak dimainkan, goalgetter Bambang Pamungkas duduk di bench pemain cadangan, kemungkinan timnas akan memainkan ball possession terlebih dahulu dengan menumpuk midfielder pekerja keras di lapangan tengah, dan mereka berdua baru akan dimasukkan di second half nanti, namun mengapa posisi goalkeeper Markus juga mengalami perubahan?”

Rentetan kalimat di atas acap kali terlontar dari mulut seorang komentator sepakbola. Memang rasanya orang yang selalu sungguh-sungguh ‘menjalankan’ profesinya, tidak lain dan tidak bukan, adalah seorang komentator, entah itu sepakbola, politik, atau yang lain. Sadar atau tidak, mereka kerap menggunakan istilah asing yang padanan bahasa Indonesianya sudah jelas-jelas ada. Lucunya lagi mimik wajah sang komentator tampak sumringah saat berhasil mengombinasikan kosakata asing ke dalam bahasa Indonesia. Seperti ada kebanggaan kalau mereka terlihat lebih cerdas. Apakah itu juga yang terpikir di benak seorang anak kecil saat sepakbola di pikirannya sesederhana ‘kesenangan berlari mengejar bola’?

Saat saya kecil dulu, saat sepakbola berarti bola plastik yang dikejar dengan kaki telanjang di jalanan aspal, hanya sedikit bahasa asing yang terucap di antara kami. Kalau tidak goal, ya handsball. Kata goal pengucapannya sama dengan gol, jadi anggaplah kami menggunakan yang versi bahasa Indonesia saja. Kata handsball sering kami singkat dengan hand saja, meskipun diucapkan dengan kata ‘henk’. Kami tidak mengenal kata offside karena toh yang bermain tidak sampai hitungan jari. Jadi bisa disimpulkan, sejak dulu kita sudah terbiasa tidak menggunakan istilah asing dalam sepakbola. Dan bagi saya, rasanya sepakbola tetap menyenangkan. Lantas, mengapa memaksakan untuk tidak ber-Indonesia?

Jangankan komentator yang notabene-nyahanyalah penikmat sepakbola, PSSI sebagai pembuat aturan pun tampaknya mendukung kejahatan ini. Buktinya mulai bersliweran nama-nama asing di kejuaraan sepakbola kita, seperti Copa Indonesia, Liga Primer Indonesia, dan Indonesian Super League. Menggantikan rasa Indonesia yang melekat pada Divisi Perserikatan dan Galatama.

Mungkin beberapa bahasa asing memang mudah terserap ke bahasa Indonesia karena tidak ditemukan padanan yang pas. Kata derby misalnya, tentu lebih ringkas dibandingkan ‘pertandingan antar tim dalam satu kota’, atau bigmatch yang terdengar lebih menggelegar bila disandingkan dengan ‘pertandingan akbar’, sama saja dengan kata hooligan yang lebih menakutkan daripada ‘suporter garis keras’.

Sisi baik dari meluasnya penggunaan istilah asing ini adalah fakta bahwa Indonesia sudah melebur dengan arus sepakbola dunia. Dengan keadaan gencarnya tayangan sepakbola liga utama Eropa, meledaknya rating saat pergelaran akbar sepakbola dunia, dan kedatangan tim-tim luar negeri ke tanah air beberapa tahun terakhir, menandakan Indonesia salah satu negara yang memiliki iklim kecintaan terhadap sepakbola terbesar di kolong jagat.

Tapi tetap saja, maraknya pemakaian istilah asing memperlihatkan kepercayaan diri bangsa yang mengkhawatirkan. Globalisasi tidak bisa dijadikan alasan untuk melontarkan berondongan bahasa asing ketika si pembawa acara melemparkan pertanyaan dalam bahasa Indonesia.

Solusinya? Kecilkan saja volume suara TV Anda ketika komentator sedang bersabda. Nikmati ekspresi wajahnya yang terlihat cerdas itu. Semoga dia tidak sadar kalau para pemirsa sedang menikmati pantomim darinya layaknya menonton film bisu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun