Ahmad Tohari adalah salah satu penulis karya sastra seperti novel, cerpen, maupun puisi yang tidak perlu diragukan lagi kemahirannya dalam membuat karya sastra. Dalam karyanya memiliki ciri khas dengan mengusung tema tentang kehidupan masyarakat di perdesaan, mengisahkan permasalahan sederhana tetapi penuh dengan ironi. Tentunya dengan ciri khas dan gaya penulisan Ahmad Tohari dalam karya sastranya selalu meninggalkan kesan bagi para pembacanya.
Senyum Karyamin adalah cerpen dengan terbitan pertama pada tahun 1989. Cerpen Senyum Karyamin dengan tebal 94 halaman yang berisi 13 judul cerpen ini menyajikan kehidupan perdesaan yang masih lugu, bersifat homogen, kental, dan sederhana. Dalam salah satu cerpennya yang berjudul "Senyum Karyamin" tersebut digambarkan karakter setiap tokoh dan karakteristiknya yang memiliki pekerjaan umum sebagai pengepul batu, nasi pecel, penagih hutang, hingga penagih pajak atau sumbangan.
Seperti yang diketahui, cerpen adalah cerita pendek yang bisa diselesaikan dalam sekali duduk. Namun, dibalik cerita pendek sederhana yang disajikan oleh Ahmad Tohari ada hal lain yang ingin disampaikan melalui cerpen Senyum Karyamin tersendiri.
Dalam cerpen Senyum Karyamin sendiri menceritakan kehidupan sehari-hari seorang tokoh utama yang bernama Karyamin berprofesi sebagai pengepul batu yang dideskripsikan dalam narasi cerpen. Penulis menjelaskan suasana, keadaan, latar, dan waktu dengan begitu detail atau rinci. Sehingga pembaca seolah-olah dapat membayangkan atau berimajinasi dan merasakannya sesuai yang dijelaskan atau dituliskan oleh penulis.
"Karyamin melangkah pelan dan sangat hati-hati. Beban yang menekan pundaknya adalah pikulan yang digantungi dua keranjang batu kali."
Seperti dalam kutipan di atas, dijelaskan bahwa Karyamin sedang memikul beban dua pikulan batu dipundaknya dengan hati-hati. Dalam cerpen tersebut diceritakan juga bahwa Karyamin pagi ini sudah tergelincir, tubuhnya rubuh, pikulan batu berserakan, menggelinding ke bawah sebanyak dua kali. Tak lama Karyamin kehilangan keseimbangannya lagi karena seekor burung yang melesat tepat di depan matanya. Karyamin terjatuh, untungnya ia berhasil mencengkram rerumputan, yang menyebabkan ia terduduk dan dapat menahan agar tak tergelincir lagi.
Karyamin memutuskan untuk pulang ke rumahnya seperti ucapan teman-temannya. Padahal ia pun tahu bahwa di rumahnya tidak apa-apa atau sesuatu yang bisa ia jadikan alasan untuk pulang. Namun, saat diperjalanan pulang Karyamin melihat si burung paruh udang. Digambarkan juga bahwa punggungnya berwarna biru, dadanya putih bersih, dan paruhnya merah saga. Karyamin diceritakan ia mengomel sedikit iri terhadap burung tersebut, ia asalnya kesal sampai-sampai ingin membabat burung tersebut dengan pikulannya. Namun, niatnya itu ia urungkan karena ia pun membayangkan atau berpikir bahwa burung tersebut juga bisa saja sebagai orangtua yang sedang mencari makanan untuk keluarganya di rumah, sama seperti yang Karyamin lakukan yaitu ia pun berjuang untuk keluarganya.
Karyamin dan teman-temannya senang mencari hiburan dengan menertawakan diri mereka sendiri. Terlihat dalam narasi yang tertulis dalam kutipan cerpen tersebut.
"Bagi mereka, tawa atau senyum sama-sama sah sebagai perlindungan terakhir."
Dalam kutipan tersebut menggambarkan bahwa senyum dan tawa yang mereka lakukan adalah sebagai bentuk atau ungkapan bahwa hanya itu yang dapat dilakukan untuk menghibur diri mereka sendiri.
Diceritakan pula bahwa karyamin merasakan kunang-kunang yang semakin mengganggunya, ditambah perutnya yang kelaparan seperti mengeluarkan teriakan minta di isi makanan, bukan hanya hawa kosong. Ada Saidah seorang penjual nasi pecel. Saidah melihat Karyamin yang pucat dengan bibirnya yang biru, badannya yang basah dan kotor, juga mendengar perutnya yang keroncongan merasa kasihan. Saidah menawarkan dagangannya dan bersedia dihutangi oleh Karyamin dan teman-temannya. Karyamin menolak tawaran tersebut dengan halus sambil tersenyum, ia memilih untuk meminta minum saja.
"Tidak. Beri aku minum saja. Daganganmu sudah ciut seperti itu. Aku tak ingin menambah hutang."
"Tidak, kalau kamu tak tahan melihat aku lapar aku pun tak tega melihat daganganmu habis karena utang-utangku dan kawan-kawan."
Penulis membawakan alur cerita dengan begitu apik dan rinci. Pembaca seolah-olah merasa terbawa suasana dan dapat membayangkan bagaimana rasanya menjadi Karyamin yang melarat, kelaparan, tertipu dengan uang bayarannya yang dibawa kabur oleh seorang tengkulak, dan naasnya yang hanya bisa ia lakukan hanyalah tersenyum. Sebagai pembaca melihat dan membayangkan kasus kelaparan seperti Karyamin dan teman-temannya, memberi banyak pelajaran untuk kita semua. Sehubungan dengan itu, banyak sekali di luaran sana yang kurang beruntung, yang dapat membuat kita belajar untuk secukupnya dan tidak membuang-buang makanan. Sesungguhnya kasus kelaparan di Indonesia atau sekitar lingkungan pun masih banyak yang kurang terekspos dan atau terbantu oleh pemerintah sekitar.
Sebelum Karyamin sampai di rumahnya, ia melihat dari jauh terlihat dua buah sepeda yang ia yakini adalah penagih bank harian. Karyamin sontak berpikir, apa perlunya ia pulang terlihat dalam narasi yang tertulis.
"Padahal Karyamin tahu, istrinya tidak mampu membayar kewajibannya hari ini, hari esok, hari lusa, dan entah hingga kapan ..."
"Dia merasa pasti tidak bisa menolong keadaan, atau setidaknya menolong istrinya yang sedang menghadapi dua penagih bank harian."
Dengan pemikirannya yang begitu, Karyamin pun memutuskan untuk pelan-pelan membalikan badan yang berarti pergi menjauhi atau meninggalkan istrinya bersama dengan kedua penagih bank harian di depan rumahnya. Namun, setelah Karyamin membalikan badan ia samar-samar melihat seseorang yang dideskripsikan memakai baju batik bermotif dengan lengannya yang panjang, tak lupa juga kopiahnya yang berwarna kemerahan namun sudah botak. Kata botak untuk kopiah sendiri ini adalah, penggambaran untuk kopiahnya yang sudah terlalu sering atau lama dipakai yang menjadikan kopiah tersebut menjadi botak. Orang yang dimaksud tersebut adalah Pak Pamong. Ternyata, kehadiran pak Pamong sendiri ada maksud dan tujuan tertentu, yaitu ia ingin menagih setoran uang pada Karyamin karena hanya tinggal ia seorang yang belum memberi dana bantuan untuk orang-orang kelaparan di Afrika. Pak Pamong merasa bahwa Karyamin selalu menghindarinya dan menyulitkannya, terlihat dalam dialognya kepada Karyamin.
"Kucari kau di rumah, tak ada. Di pangkalan batu, tak ada. Kamu mau menghindar ya?"
"Aku tak mau lebih lama kau persulit."
Jika diperhatikan dari apa yang Pak Pamong sebut sebagai dana menolong orang-orang yang kelaparan di Afrika, terdengar sama saja kasusnya seperti yang dialami oleh Karyamin. Selain kelaparan, Karyamin dan keluarganya pun naasnya terlilit hutang, belum lagi tertipu oleh tengkulak yang membawa kabur hasil pikulan batu yang dikumpulkan Karyamin dan teman-temannya untuk dijualnya dan mendapatkan upah untuk menghidupi keluarganya sehari-hari. Pesan yang penulis maksud juga bisa bermakna menyentil atau menyindir suatu pemerintahan hingga seseorang yang terlalu menggembor-gemborkan bahwa harus membantu sesama yang jauh dari jangkauan kita, namun yang tepat di dekat atau depan mata hingga lingkungan sekitar malah terlupakan.
Kembali pada alur cerita, dijelaskan bahwa Karyamin lagi-lagi hanya tersenyum. Senyumnya untuk mewakili kesadaran, keadaan, dan situasi yang harus ia lalui. Namun, karena senyuman karyamin tersebut Pak Pamong malah marah. Ia merasa senyuman Karyamin itu senyuman menghina atau mengejeknya. Maka, pak Pamong pun marah lantas menagih kembali pada Karyamin dana bantuan untuk Afrika. Mendengarnya Karyamin pun tidak lagi tersenyum, ia tertawa terbahak-bahak keras sekali.
Di akhir cerita pendek tersebut terdapat penggambaran dengan majas hiperbola, yaitu bagaimana dramatisnya Karyamin terjatuh.
"Demikiran keras sehingga mengundang seribu lebah masuk ke telinganya, seribu kunang-kunang masuk ke matanya. Lambungnya yang kempong berguncang-guncang dan merapuhkan keseimbangan seluruh tubuhnya."
Jika ditelaah lagi maksud dari lebah, kunang-kunang dan lambungnya yaitu penggambaran Karyamin yang sudah tidak kondisional, ditambah rasa lapar yang sudah tak terbendung lagi. Dengan begitu, Karyamin pun terjatuh ke lembah, melihat itu Pak Pamong sontak berusaha menahannya. Namun, usaha Pak Pamong tidak cukup untuk menahan agar Karyamin tergenggam atau selamat, Pak Pamong gagal.
Dalam cerita pendek ini banyak sekali pengulangan kata "senyum" dan "cara menertawakan diri mereka sendiri" oleh penulis. Pesan yang dimaksud dari kata atau kalimat tersebut adalah tawa atau senyum yang mereka lakukan sebagai bentuk atau ungkapan bahwa hanya itu yang dapat dilakukan di tengah sulitnya atau kesengsaraan kehidupan yang harus mereka alami. Kesengsaraan yang dialami oleh orang-orang kurang beruntung, pekerja kecil, dan sebagainya untuk mencari makan saja sulit. Sementara banyak sekali pemerintah atau pejabat-pejabat yang seharusnya dapat membantu atau memberi solusi hingga memfasilitasi masalah atau kasus tersebut tetapi sayangnya, kenyataan memang pahit. Banyak yang malah membuat kesengsaraan semakin meningkat.
Ahmad Tohari dalam cerpen-cerpennya sukses membuat siapapun ikut hanyut terbawa dalam cerita-cerita yang ia tulis. Alur dan deskripsi yang dibawa hingga dialog yang dibangun antar tokoh terkemas rapi. Banyak sekali makna kiasan yang tercantum, nasihat, juga kalimat yang menjadikan kita sebagai pembaca lebih menyadari hal-hal yang terjadi di sekitar kita. Bagaimanapun juga kita semua adalah makhluk hidup, makhluk sosial, makhluk yang diciptakan Tuhan untuk saling bergantungan. Berbagai harapan dan tujuan dapat tercapai dengan saling melengkapi satu sama lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H