Mohon tunggu...
liltjng
liltjng Mohon Tunggu... -

saya suka nulis waktu kecil.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tukang Bully

18 April 2017   22:55 Diperbarui: 18 April 2017   22:57 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

They say that Donald Trump is a bully-er. Dia secara terang-terangan nyerang lawannya, siapapun dijatohin abis-abisan, diteror, diteken, sampe dia menang dalam argumennya.

Well, masalah bully mem-bully ini bukan barang baru benernya. Konon, Coca Cola pernah bikin campaign soal ini. Dia angkat isu ngeledekin pake nama. Orang suka dijulukin dengan nama yang mereka ga suka, hanya berdasarkan bentuk fisik tertentu mereka. Si gino lah (gigi nongol), si keriting lah (rambutnya ikal), si babon lah (badannya besar), dan lain-lain. Banyak deh pokoknya.

Waktu gw SMA aja gw dijulukin “si telmi” sama senior karena menurut mereka muka gw kayak orang bloon. Jadi kita masing-masing disuruh ke depan ngambil buku ospek yang isinya kolom untuk tanda tangan para senior. Dan di buku itu ada foto culun kita (pastinya) dan namanya. Nah namanya ini dikasih instan pas kita maju ke depan, semau si senior itu aja. Kalo dia rasa itu anak putih banget, dikasih julukan “albino”. Gitu.. Sadis ya.

Tapi ya kita mah waktu itu anggepnya lucu aja sih, belon ngerti kalo itu ngefek ke self esteem seseorang. Bahwa dia mungkin tertawa tapi di rumah dia ngurung diri di kamar karena sedih. Yah kita kan ga tau ya efeknya apa sama orang.

Nah, parahnya lagi, isu bully mem-bully ini terbawa terus sampe kita kerja. Jangan pikir itu cuma masalah SMA ato abege ajah. Masih suka lanjut kok. Ya itu tadi, karena kita nganggepnya bercanda dan lucu, selama yang dibully bukan kita sendiri. Ye ga?

Parahnya adalah, kadang kita mikir kalo yang di-bully itu wajar nerima perlakuan itu. Ya emang dia nya aja sih yang bully-able. Makannya banyak banget, atau tingkahnya suka aneh menyendiri terus, nyeleneh, bajunya ga pernah matching, kalo nyanyi suaranya fales (ini sih gw), ya pantes aja lah dia diledekin. Nah loh, pemikiran ajaib dari mana lagi tuh coba. Sejak kapan kita diajarin harus point out others? Sejak kapan kita jadi judgemental and labelling person? Gak semua hal harus dinilai dan dilabelin loh. Ini bener, ini salah. Ini normal, ini engga. Ini keren, ini jelek. Since when you’re nominated as the next Simon Cowell?

See, masalahnya adalah cuma ada satu tipe bully di dunia ini, yaitu si pem-bully itu sendiri. Ga ada tuh yang namanya orang tipe bully-able. There’s no such thing. Pem-bully itu ada karena ada orang yang suka bikin orang lain jelek, payah, dipermalukan, biar mereka keliatan kerennya, atau “alfa-male” (leader of the group) nya. Biasanya yang suka ngeledekin sih cowo ya. Biar dia keliatan lucu, hebat, easy-going, dipandang keren sama temen-temennya. Jadi, untuk keuntungan dia, jadi ngorbanin kedamaian orang lain. Ga asik ya orang yang kayak gitu?

Soalnya ya kalo orang biasa ya, ga akan expose kejelekan orang lain, tapi bisa melihat dan nerima orang-orang di sekelilingnya sebagai sebuah keunikan dari masing-masing orang. Lagian intinya, kalau emang dia udah hebat, lucu, dan pintar, kenapa juga butuh pengakuan dari orang lain dengan cara ngeledekin orang?

Berarti pem-bully itu orang yang masih kekurangan, karena kalau dia sudah cukup, dia ga akan minta semua pengakuan itu dari orang-orang. Ye gak?

So let’s stop in us. Kita yang udah nyadar dan tau kebenarannya jangan diterusin lagi. Biarin itu stop di generasi kita dan hopefully anak cucu kita bakal kesulitan menjelaskan pas ditanya soal arti kata bully.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun