Mohon tunggu...
Ready Susanto
Ready Susanto Mohon Tunggu... Editor - Editor dan penulis.

Editor dan penulis. Tinggal di Bandung. Bukunya antara lain "Emotikon: Kamus Gaul Internet", "Omgz!: Kamus Slang Internet", dan "100 Tokoh Abad ke-20: Paling Berpengaruh".

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Bacaan Favorit 1980-an: Lamunan-Lamunan Lepas yang Menemukan Bentuk

20 Oktober 2015   11:04 Diperbarui: 1 Juli 2017   18:54 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari enam novel yang ditulis Titi Nginung, yaitu Opera Jakarta, Opera Jakarta-Hongkong, Opera Bulutangkis 1995, 22-1-19, Opera Pencakar Langit, dan Elizabeth Ngatini Alias Tiger ada satu hal yang bisa ditarik bahwa titik awal dari semua penulisannya adalah lamunan. Sebuah obsesi tentang tokoh-tokoh super yang manusiawi. Pahlawan-pahlawan yang bukan bersembunyi di balik topeng dan berkekuatan hebat yang didapat lewat proses fiksi ilmiah seperti Superman atau tokoh-tokoh komik versi Barat.

Ia juga bukan tokoh-tokoh “berotot kawat bertulang besi” versi wayang atau versi komik Indonesia, yang asal-muasalnya lebih mirip dongeng siluman. Tapi tokoh-tokoh ini adalah manusia berdarah-berdaging yang hidup di sekitar kita juga. Tokoh-tokoh yang mungkin juga lahir dari lamunan kita, tapi tak sempat terumuskan secara jelas. Dan ketika tokoh semacam itu terlahirkan lewat Yoko, tokoh utama Opera Jakarta (OJ)yang dimuat pertama kali sebagai cerita bersambung di Kompas dan kemudian dibukukan pada 1984, orang tersentak. Kisah semacam itu mirip dengan kisah yang mereka alami atau yang rasanya pernah mereka alami? Dan yang terakhir bukan tak mungkin hanya sebuah lamunan lepas.

Luar Biasa
 Ketika novel-novel kita sibuk bicara tentang kehidupan dalam lingkup yang sangat pribadi dan begitu biasa, Titi malah membicarakan kehidupan tokoh-tokoh yang diidolai masyarakat, seperti tokoh-tokoh hero olahraga. Ini memberikan peluang-peluang untuk melamun secara lebih frontal dan lepas, yang berujung pada lahirnya hal-hal yang agak luar biasa dalam novel-novel Titi.

Berbicara tentang keluarbiasaan, dalam arti sesuatu yang di luar kebiasaan, dapatlah diajukan sebagai dasar, apa yang dikemukakan Titi kepada penulis. Titi merumuskan novel-novel operanya sebagai “semacam keliaran yang ada, yang selama ini tak menemukan bentuk. Jadi semacam lamunan lepas, yang copot dari rutinitas, kontrol, dan sebagainya, dan sebagainya.” Jadi semacam pembebasan diri dari rutinitas, kontrol, kebiasaan-kebiasaan yang diformulasikan dalam bentuk lamunan. Kesemuanya beranjak dari sikap mencari hal-hal serba-baru dan orisinal. Secara lebih plastis ini dikatakan oleh Bajang Kirek, tokoh dalam Opera Bulutangkis 1995, sebagai suatu kejujuran ditambah kenakalan, keberanian, dan kekreatifan (OB 1995, h. 421).
 Penjabaran hal-hal di atas dalam teknis penulisan, misalnya, dapat ditemukan pada penggunaan kalimat-kalimat pertanyaan di akhir setiap episode. Hal yang sangat biasa dilakukan dalam sandiwara-sandiwara radio ini, dengan tepat juga diangkat ke dalam bentuk tertulis oleh Titi,terutama ketika novel-novel opera ini masih berbentuk cerita bersambung yang dimuat di penerbitan suratkabar atau majalah. Teknik yang dengan sendirinya pada setiap episode selalu menyisakan pertanyaan-pertanyaan dan ketegangan bagi pembacanya.

Suatu kenakalan lain lagi dapat ditemukan dalam Opera Pencakar Langit (1987). Di tengah berlangsungnya cerita, tiba-tiba saja Titi menyeruak dengan “pidato”-nya yang seakan-akan ingin mengajak pembaca ikut berpartisipasi. “Pembaca juga bebas. Mau melanjutkan atau menghentikan. Atau ganti membaca yang lain, main-main dulu, atau tidak usah melanjutkan (OPL, h. 115).”

Tokoh
 Apa yang disebut keliaran dan kenakalan itu terasa pekat mengisi karakter tokoh-tokoh dalam novel-novel ini. Tokoh-tokoh yang muncul adalah manusia-manusia dengan latar belakang hampir tak jelas, tetapi dengan tiba-tiba muncul di panggung dan membuat kejutan-kejutan. Bajang Kirek (OB 1995) muncul di panggung bulutangkis, memporakporandakan peta kekuatan dunia, mengobrak-abrik “Delapan Dewa Bulutangkis” yang selama ini bercokol di jajaran teras bulutangkis dunia. Dengan gayanya yang khas dan tak terduga ia muncul ke muka, mengembangkan bulutangkis kreatif, antara lain dengan memakai dua raket panjang dan pendek serta bermain dengan mata tertutup (!).

Yoko (OJ dan OJH) muncul di panggung tinju, tenar tapi penuh ketakpedulian, membuat kejutan dengan menolak menerima hadiah dari Presiden Filipina, masuk arena tinju dadu. Semua itu bukan karena apa-apa, hanya karena naluri belaka. Lalu ada Daniel (22-1-19) sang jago bola, Tiger si jago voli, atau Resar (OPL) pembuat stiker dan sablon yang urakan.

Tokoh-tokoh ini dengan gaya khasnya masing-masing merunut tuntas segala lamunan pembaca. Bukan tanpa alasan kalau Titi lalu memilih lahan olahraga sebagai tempat berlangsungnya cerita—walaupun pada OPL ia juga mulai “menggarap” dunia bisnis. Dunia olahraga memang memberikan peluang-peluang untuk lahirnya tokoh-tokoh mega-bintang, menurut istilah Titi.

Tokoh yang muncul selalu mengobrak-abrik kelaziman, menonjok perhatian, menghentak kemapanan. Tetapi selalu ada penyelesaian untuk itu, selalu ada kelaziman baru dan kemapanan baru. Cinta yang murni menang di OJ walaupun tokoh utamanya Yoko, mesti kalah dan rela Rum menikah dengan Demas, Bajang Kirek di OB 1995 akhirnya lebih memilih keseimbangan itu sendiri. “Saya menjaga keseimbangan,” katanya (OB 1995, h. 421). Kejujuran menang di OPL dengan pengakuan Bu Mentri bahwa Resar adalah anak angkatnya. Nasib Resar tak jelas, terus hidup atau meninggal karena luka yang dideritanya. Hanya saja di akhir cerita Titi menegaskan bahwa cerita memang harus selesai sampai di situ (OPL, h. 128). Tak ada lagi persoalan besar yang mesti diselesaikan, selain beberapa serpihan persoalan yang terasa mengganjal.

Kekuatan
 Kekuatan novel-novel Titi, selain suspens yang terjaga, adalah gaya bahasa yang memikat. Kalimat-kalimat pendek yang ia gunakan penuh tenaga dan tidak terkesan artifisial. Meluncur begitu saja tanpa terpengaruh konteks ruang dan waktu. Dengan luwesnya ia melompat dari tempat ke tempat, dari waktu ke waktu. Dunia yang dilahirkannya bukan dunia kenyataan, tetapi dekat dengan pembacanya.
 Lebih dari itu, Titi ingin mengajak kita untuk jujur, sekalipun dalam lamunan. Sebab bahkan, bukan tidak mungkin dalam lamunan pun kita tidak bisa berlaku jujur.

Sumber: “Lamunan-Lamunan Lepas yang Menemukan Bentuk”, Ready Susanto, Harian Kompas Minggu, 1988.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun