Mohon tunggu...
Ready Susanto
Ready Susanto Mohon Tunggu... Editor - Editor dan penulis.

Editor dan penulis. Tinggal di Bandung. Bukunya antara lain "Emotikon: Kamus Gaul Internet", "Omgz!: Kamus Slang Internet", dan "100 Tokoh Abad ke-20: Paling Berpengaruh".

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Jawaban Konkret Seorang Budayawan

23 Oktober 2013   12:53 Diperbarui: 27 Juni 2017   21:28 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ditulis selama sepuluh tahun, memuat sekitar 3.500 lema, tak pelak buku ini merupakan rujukan paling lengkap tentang Sunda dan kesundaan.

Mungkin sudah sangat sedikit anak-anak Sunda masa kini yang melakukan permainan dan nyanyian dengan lirik lagu Pacici-cici Putri pada sore hari yang cerah. Permainan dan nyanyian yang demikian populer pada tahun-tahun silam itu tak lagi mengisi waktu senggang mereka. Lirik lagunya yang ceria: Pacici-cici putri/serélék kembang celempung/ali-ali pamadatan/goréng adat tigurubas/kalau mau kembang apa,mungkin dalam sekian tahun ke depan hanya tinggal dikenang orang melalui cerita orang-orang tua. Dan, hilangnya kebudayaan asli daerah jelas tak cuma monopoli etnis Sunda. Di negara Bhinneka Tunggal Ika yang mengakui pluralitas budaya, justru kebudayaan daerah yang mencerminkan keanekaragaman itu terancam kepunahan.Ajip Rosidi, salah seorang aktivis kebudayaan daerah, menjawab tantangan itu dengan langkah konkret. la bersama sebuah tim melakukan sebuah usaha yang tak tanggung-tanggung: menyusun buku rujukan untuk mengenal kebudayaan salah satu etnis paling berpengaruh di Indonesia: Sunda.Usaha yang memakan waktu hampir sepuluh tahun itu berbuah dengan terbitnya sebuah buku berjudul Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya, yang diluncurkan pada awal September lalu. Ensiklopedia setebal lebih dari 700 halaman itu memuat sekitar 3.500 lema, mulai dari entri Aam Amilia (pengarang dan wartawati) hingga Zainal Asikin Kusumah Atmadja (pensiunan hakim agung).Usaha Ajip Rosidi dkk. itu tampaknya menegaskan kembali pandangan Ajip bahwa kebudayaan daerah tak seharusnya dipertentangkan dengan kebudayaan nasional. Sejak 1950-an, ia telah melakukan langkah-langkah konkret untuk mengembangkan kebudayaan daerah, misalnya menulis cerita-cerita lama dari daerah Sunda dan Jawa ke dalam bahasa Indonesia. La juga mendirikan dan memimpin Proyek Penelitian Pantun dan Folklor Sunda pada 1970.Lantas, pada 1989 Ajip merogoh kantongnya sendiri untuk memberikan Hadiah Sastra Rancagé kepada sastrawan yang menghasilkan karya terbaik dalam bahasa Sunda yang hingga kini telah berlangsung selama 12 tahun. Dan, boleh dibilang aktivitas itu tercatat sebagai hadiah sastra "paling awet" di Indonesia.Maka, penerbitan Ensiklopedi Sunda ini haruslah dilihat sebagai usaha konsisten Ajip. Tak sembarang orang yang mau bertekun-tekun untuk sesuatu usaha yang barangkali mirip kata pepatah: "membangkit batang terendam". Tak mengherankan pula bila orang seperti Prof. Dr. Muhammad Haji Salleh, sastrawan Malaysia, mengatakan, "Orang Sunda beruntung karena mempunyai kelompok sarjana dan aktivis kebudayaan yang dinamis," ketika dimintai komentarnya mengenai buku ini.Tentu saja dalam proses penulisan ensiklopedia ini bukan tanpa kendala. Yang terbesar adalah kesulitan dalam mencari data. Dokumen-dokumen yang bersangkutan dengan suatu hal tertentu sulit dicari karena "orang Sunda tidak atau belum mempunyai tradisi memelihara dan membina dokumentasi". Walau begitu, hingga saat ini ensiklopedia yang dalam penyusunan dan penerbitannya mendapat dukungan dari Toyota Foundation ini tetaplah merupakan buku rujukan paling lengkap tentang alam, manusia, dan budaya suatu etnis di Indonesia. Nama orang, adat-istiadat, pantun, alat-alat, makanan, dan pelbagai manifestasi kebudayaan Sunda terdokumentasikan dengan cukup baik.Untuk siapa sesungguhnya ensiklopedia ini ditulis, selain untuk orang-orang yang ingin mengenal kebudayaan Sunda? "Yang perlu mengenal kebudayaan-kebudayaan daerah itu dengan baik bukan hanya orang-orang yang berasal dari luar daerah itu, tapi juga warga daerah yang bersangkutan, sehubungan dengan terjadinya arus globalisasi yang merasuk ke segala pelosok dan terjadinya banyak pemutusan akar-akar tradisi karena tidak ada lembaga yang secara nyata dan berencana memelihara dan mewariskannya," ujar Ajip, yang sejak 1981 menjadi guru besar tamu pada Universitas Bahasa Asing Osaka, Jepang, itu.Tulisan ini dimuat dalam rubrik “Rehal”, Majalah Forum Keadilan, No. 30, 29 Oktober 2000.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun