Mohon tunggu...
ready aqsaperada
ready aqsaperada Mohon Tunggu... Guru - seorang yg suka akan ilmu

"Kegagalan bukan kah akhir dari segala nya, Tapi kemalasan adalah akhir dari segala nya"

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI INDONESIA

10 Januari 2021   20:35 Diperbarui: 11 Januari 2021   20:16 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk. Perbedaan adat istiadat, suku, agama, dan budaya bangsa Indonesia telah ada sejak bangsa ini terbentuk lewat sebuah perjalanan sejarah yang panjang. Kemajemukan bangsa Indonesia merupakan unsur yang potensial dalam membentuk kekuatan bangsa saat ini maupun pada masa yang akan datang. 

Namun di sisi lain, jika kemajemukan ini tidak dibina secara terus-menerus, maka yang terjadi bukan kemajuan bangsa, melainkan kehancuran. Dalam tatanan sosial pergolakan pergolakan di berbagai daerah seperti tawuran antar kelompok, penyerangan terhadap kelompok lain, hingga perusakan fasilitas ibadah, pada umumnya dipicu oleh hal-hal seperti perebutan wilayah dan pekerjaan, adanya kesenjangan sosial, atau perbedaan pandangan dan keyakinan dalam beribadah. 

Berbagai macam konflik tersebut lahir sebagai akibat dari lunturnya nilai-nilai toleransi untuk tetap saling menghargai perbedaan. Pada aspek pendidikan, perbedaan anak dalam hal tampilan fisik, komunikasi, kemampuan, sikap, perilaku menjadikan mereka sangat rentan diskriminasi. Mereka (anak berkebutuhan khusus) diperlakukan tidak adil oleh system pendidikan. Misalnya pendidikan bagi anak yang berkebutuhan khusus (ABK) harus bersekolah di sekolah khusus (Sekolah Luar Biasa/SLB).

Pada umumnya, lokasi SLB berada di Ibu Kota Provinsi ataupun di Ibu Kota Kabupaten. Padahal anak-anak berkelainan tersebar hampir di seluruh daerah (Kecamatan/Desa), tidak hanya di Ibu Kota. Akibatnya, sebagian ABK, terutama yang kemampuan ekonomi orang tuanya lemah, terpaksa tidak disekolahkan karena lokasi SLB jauh dari rumah; sementara kalau akan disekolahkan di SD terdekat, SD tersebut tidak bersedia menerima karena merasa tidak mampu melayaninya. 

Sebagian yang lain, mungkin selama ini dapat diterima di SD terdekat, namun karena ketiadaan pelayanan khusus bagi mereka, akibatnya mereka beresiko tinggal kelas dan akhirnya putus sekolah (Jhonsen, B.H., & Skjorten M.D.,2003). Permasalahan di atas akan berakibat pada kegagalan program wajib belajar. 

Bagaimana anak berkebutuhan khusus yang berada di pelosok pedesaan?, apakah mereka harus menempuh perjalanan ke kota untuk mendapatkan pendidikan? apakah mereka harus tidak bersekolah karena dibatasi oleh system pendidikan?. Sementara mereka (ABK) sebagai anak bangsa juga mempunyai hak sama dalam hal pendidikan sebagaimana diatur dalam UUD 1945.

Membangun kesadaran pluralisme akan efektif manakala melalui jalur pendidikan. Pendidikan merupakan instrumen yang diyakini memiliki peranan paling penting untuk proses internalisasi dan penyampaian nilai-nilai pluralisme. Lewat jalur pendidikan, diharapkan kesadaran terhadap pluralisme dapat tumbuh subur di masyarakat luas. Maka dari itu, saat ini di Indonesia tengah membangun system pendidikan yang mengarah pada multi kultural, yaitu system pendidikan inklusif yang secara resmi lahir sejak tanggal 11 Agustus 2004 di Kota Bandung Provinsi Jawa Barat.

Pendidikan inklusif adalah hak asasi, dan inimerupakan pendidikan yang baik untuk meningkatkan toleransi sosial. Secara sederhana ada
beberapa hal yang bisa kita pertimbangkan, antara lain: (a) Semua anak memiliki hak untuk belajarsecara bersama-sama, (b) Keberadaan anak-anak jangan didiskriminasikan, dipisahkan, dikucilkan karena kekurang mampuan atau mengalami kesulitan dalam pembelajaran, (c) Tidak ada satupunketentuan untuk mengucilkan anak dalam pendidikan. 

Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita- cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhineka Tunggal Ika (Toto Bintoro, 2004). 

Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebinekaan manusia, baik kebinekaan vertical maupun horizontal, yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di bumi. Kebinekaan vertical ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri, dsb. Sedangkan kebinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik, dsb. 

Bertolak dari filosofi Bhineka Tunggal Ika, kelainan (kecacatan) dan keberbakatan hanyalah satu bentuk kebhinekaan seperti halnya perbedaan suku, ras, bahasa budaya, atau agama. Di dalam diri individu berkelainan pastilah dapat ditemukan keunggulan-keunggulan tertentu, sebaliknya di dalam diri individu berbakat pasti terdapat juga kecacatan tertentu, karena tidak hanya makhluk di bumi ini yang diciptakan sempurna. Kecacatan dan keunggulan tidak memisahkan peserta didik satu dengan lainnya, seperti halnya perbedaan suku, bahasa, budaya, atau agama. 

Hal ini harus diwujudkan dalam sistem pendidikan. Sistem pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar siswa yang beragam, sehingga mendorong sikap silih asah, silih asih, dan silih asuh dengan semangat toleransi seperti halnya yang dijumpai atau dicita-citkan dalam kehidupan sehari-hari. Secara yuridis pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) diatur pada: Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia (RI) 1945 terdapat pasal ± pasal mengenai hak asasi manusia yang salah satunya adalah hak dalam mendapatkan pendidikan bagi setiap orang yaitu pada pasal 28C ayat (1), Undang ± Undang (UU) RI No.4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat, UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PERMENDIKNAS nomor 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusif bagi anak berkebutuhan khusus dan anak cerdas istimewa dan bakat istimewa. Selanjutnya pelaksanaan pendidikan inklusif diatur dalam PERDA masing-masing daerah di Indonesia.

Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebinekaan manusia, baik kebinekaan vertical maupun horizontal, yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di bumi. Kebinekaan vertical ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri, dsb. Sedangkan kebinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik, dsb

Semenjak  dikeluarkannya  Undang-undang  pendidikan  nomor  12  tahun  1954 pendidikan  bagi  anak-anak Indonesia  yang  memiliki  kelainan  fisik  dan  mental  sudah  terjamin secara  hukum.  Jaminan  itu  diberikan  dalam  bentuk  sekolah  bagi  anak-anak  penyandang disabilitas yang diakomodir oleh berbagai macam sekolah luar biasa. SLB-A untuk Tuna netra,  SLB-B  bagi  tuna  rungu-wicara,  SLB-C  untuk  tuna  grahita,  SLB-D  untuk  tuna daksa,  SLB-E  untuk  tuna  laras,  SLB-G  untuk  tuna  ganda.  Jaminan  pendidikan  itu semakin  menguat  khususnya  semenjak  keluarnya    program  pemerintah  tahun  1984 tentang    program  wajib  belajar  enam  tahun.  

Imbas  dari  program  tersebut  menghendaki seluruh anak usia sekolah dasar  wajib bersekolah dan menamatkan pendidikan minimal enam  tahun.  Berbagai  program  pendukungpun  disusun,  mulai  dari  pendirian  sekolah baru,  paket  A,  sekolah  kecil  hingga  sekolah  terbuka.  Perubahan  juga  dirasakan  oleh sekolah-sekolah   luar   biasa   yang   ada,   dengan   daya   tampung   yang   terbatas   maka pemerintah melebur  SLB yang ada menjadi SDLB (Sekolah Dasar Luar Biasa), SMPLB (Sekolah Menengah Luar Biasa) dan SMALB (Sekolah Menengah Atas Luar Biasa). Pada tanggal 3 Desember 1992 dicanangkan sebagai hari Disabilitas Internasional oleh Badan Perserikatan Bangsa - Bangsa. Kementrian  Pendidikan  dan  Kebudayaan  lewat  Direktur  Jenderal  Pendidikan Dasar dan Menengah (Dirjen Dikdasmen) merilis data bahwa dari 514 kabupaten/kota di seluruh  tanah  air,  masih  terdapat  62  kabupaten/kota  yang  belum  memiliki  SLB.  Lebih lanjut  disampaikan  bahwa  dari  1,6  juta  anak  berkebutuhan  khusus  di  Indonesia,  baru  18 persen  yang  sudah  mendapatkan  layanan  pendidikan  inklusi.  

Sekitar  115  ribu  anak berkebutuhan  khusus  bersekolah  di  SLB,  sedangkan  ABK  yang  bersekolah  di  sekolah reguler pelaksana Sekolah Inklusi berjumlah sekitar 299 ribu (blog Kemdikbud, 2017). Untuk   menjalankan   amanah   undang-undang   pemerintah   melakukan   berbagai upaya  agar  penyelenggaraan  Pendidikan  Inklusif  terus  digalakkan  di  berbagai  daerah  di Indonesia   termasuk   dengan   memberikan   Piagam   Penghargaan   bagi   Provinsi   dan Kabupaten/kota  yang  mendeklarasikan  diri  menjadi  penyelenggara  Pendidikan  Inklusif. 

Diantara  Provinsi  yang  telah  mendeklarasikan    diri  menjadi  penyelenggara  Pendidikan Inklusif   diantaranya;   Pada   tahun   2012   dimulai   oleh   Provinsi   Kalimantan   Selatan, kemudian pada tahun 2013 dilanjutkan oleh Provinsi Aceh, Sumatra Selatan, Jawa Barat, Sulawesi  Selatan,  dan  DKI  Jakarta.  Pada  tahun  2014  Provinsis  Sulawesi  Tenggara mendeklarasikan  diri  dengan  disusul  oleh  Provinsi  Sumatra  Barat,  Provinsi  Bali  dan Provinsi  Lampung.  Kemudian  pada  tahun  2015  hanya  Provinsi  Sumatera  Utara  yang tercatat  mendeklarasikan  diri.  Baru  pada  tahun  2016  Nusa  Tenggara  Timur  dan  Jawa Timur menjadi Provinsi yang mendeklarasikan penyelenggara pendidikan Inklusif (diolah dari berbagai sumber). 

Kita    bersyukur    dengan    provinsi-provinsi    yang    telah    turut    serta    dalam mensukseskan    program    nasional    ini    untuk    memberikan  akses bagi    anak-anak berkebutuhan khusus dapat bersekolah di sekolah reguler dan bergaul dengan anak-anak penyelenggara pendidikan inklusif sedangkan  seperti  yang  kita  ketahui  bahwa  kebutuhan  anak  berkebutuhan  khusus  sudah sangat  mendesak,  dengan  adanya Legal  Standing  dari  masing-masing  daerah,  maka sekolah-sekolah  yang  ada  di  tingkat  kabupaten/kota  akan  mendapatkan  akses,  fasilitas, dan melaksanakan kegiatan-kegiatan untuk mensukseskan Pendidikan Inklusif itu sendiri.  

Berdasarkan payung hukum, semua orang berhak untuk mendapatkan pendidikan, termasuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Namun, pemerintah membutuhkan rencana detail untuk membuat pendidikan inklusif di Indonesia.Selain itu, pemerintah harus memastikan semua murid dengan kebutuhan tertentu bisa mengakses fasilitas belajar. Tak kalah penting, pemerintah harus memastikan adanya layanan pemeriksaan psikologis dan fisik secara individual untuk pelajar.

Pertama, menciptakan dan menjaga komunitas kelas, yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan. Guru mempunyai tanggung jawab menciptakan suasana kelas yang menampung semua anak secara penuh dengan menekankan suasana sosial kelas yang menghargai perbedaan yang menyangkut kemampuan, kondisi fisik, sosial ekonomi, agama, dan sebagainya. Dengan demikian pengelolaan kelas dalam pembelajaran kelas yang memang heterogen dan penuh dengan perbedaan-perbedaan individual memerlukan perubahan kurikulum secara mendasar. Guru di kelas inklusif secara konsisten akan bergeser dari pembelajaran yang kaku, berdasarkan buku teks, atau materi biasa ke pembelajaran yang banyak melibatkan belajar kooperatif, tematik, dan berfikir kritis, pemecahan masalah, dan asesmen secara autentik.

Kedua menuntut penerapan kurikulum yang multilevel dan multimodalitas. Kelas yang inklusif berarti pembelajaran tidak lagi berpusat pada kurikulum melainkan berpusat pada anak, dengan konsekuensi berarti adanya fleksibilitas kurikulum dan penerapan layanan program individual atau
pendekatan proses kelompok dalam implementasi kurikulum yang multilevel dan multimodalitas tersebut. 

Ketiga, menyiapkan dan mendorong guru untuk mengajar secara interaktif. Perubahan dalam kurikulum berkaitan erat dengan perubahan metode pembelajaran. Model kelas tradisional. di mana seorang guru secara sendirian berjuang untuk dapat memenuhi kebutuhan semua anak di kelas harus diganti dengan model pembelajaran dimana muridmurid bekerja sama, saling mengajar, dan secara, aktif berpartisipasi dalam pendidikannya sendiri dan pendidikan teman-temannya. Kaitan antara, pembelajaran kooperatif dan kelas inklusif sekarang jelas, semua anak berada di satu kelas bukan untuk berkompetisi, tetapi untuk bekerja sama dan saling belajar dari yang lain (UNESCO, 2002)

Pada dasarnya tugas guru yang paling utama adalah mengajar dan mendidik. Sebagai pengajar ia merupakan medium atau perantara aktif antara siswa
dan ilmu pengetahuan, sedang sebagai pendidik ia merupakan medium aktif antara siswa danhaluan/filsafat negara dan kehidupan masyarakat dengan segala seginya, dan dalam mengembangkan pribadi siswa serta mendekatkan mereka dengan pengaruh-pengaruh dari luar yang baik dan menjauhkan mereka dari pengaruh-pengaruh yang buruk (Hidayat , 2009). Dengan demikian seorang guru wajib memiliki segala sesuatu yang erat hubungannya dengan bidang tugasnya, yaitu pengatahuan, sifat-sifat kepribadian, serta kesehatan jasmani dan rohani. Ada tiga kemampuan yang harus dimiliki oleh guru yang ungul dan tangguhdi sekolah inklusif, yaitu: Pertama, Kemampuan Umum (general ability) antara lain adalah memiliki ciri wargaNegara yang religious dan berkepribadian, memiliki sikap dan kemampuan mengaktualisasikan diri sebagai warga Negara, memiliki sikap dankemampuan mengakui dan menghargai keberagaman peserta didik.

Kedua, Kemampuan dasar (basic ability) meliputi memahami dan mampu mengidentifikasi anak berkebutuhan khusus, memahami konsep dan mampu merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus, mampu memberikan layanan bimbingan dan konseling anak berkebutuhan khusus mampu mengembangkan kurikulum sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan anak berkebutuhan khusus

Ketiga, Kemampuan khusus (specific ability) kemampuan ini meliputi mampu melakukan modifikasi perilaku, menguasai konsep dan
keterampilan pembelajaran bagi anak yang mengalami gangguan/kelainan penglihatan, menguasai konsep dan keterampilan pembelajaran
bagi anak yang mengalami gangguan/kelainan pendengaran/komunikasi, menguasai konsep dan keterampilan pembelajaran bagi anak yang mengalami gangguan/kelainan intelektual dan lamban belajar menguasai konsep dan keterampilan pembelajaran bagi anak yang mengalami gangguan/kelainan anggota tubuh dan gerakan, menguasai konsep dan keterampilan pembelajaran bagi anak yang mengalami gangguan/kelainan perilaku dan sosial dan menguasai konsep dan

Akhir kata saya ucapkan Asalammualikum Wr.Wb “Mahasiswa tak perlu dipandang sebagai juru selamat atau ratu adil yang kedatangannya perlu dinantikan. Mahasiswa juga tidak perlu dipandang eksklusif sehingga harus selalu berjuang sendirian. Mari berkolaborasi untuk Indonesia yang lebih baik” ( Ready Aqsa Perada, Mahasiswa, Bintaro, Minggu 10, Januari 2021)."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun