Mohon tunggu...
Re Ayudya
Re Ayudya Mohon Tunggu... Lainnya - Psikoedukator_Konselor

Enthusiast to Psychology and Education

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Hari Kesehatan Mental Dunia: Pahami Sumber Stres Kaum Remaja

10 Oktober 2022   17:18 Diperbarui: 11 Oktober 2022   23:07 851
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanggal 10 Oktober setiap tahunnya diperingati sebagai hari kesehatan mental sedunia. Namun, beberapa waktu lalu kita sempat kembali dikejutkan dengan berita seorang mahasiswa yang bunuh diri dengan cara terjun dari sebuah hotel di Yogyakarta. Tentu, berita seperti itu bukan pertama kalinya kita dengar. Kasus bunuh diri di Indonesia sendiri masih cukup tinggi. Bahkan menurut WHO (2019), sekitar 800.000 orang meninggal akibat bunuh diri per tahunnya di dunia, dan tidak sedikit terjadi pada usia muda.

Percobaan bunuh diri dianggap berkaitan dengan gangguan psikologis dan kebanyakan merupakan pengekspresian depresi berat (Duran & Barlow, 2006; Darmayanti, et al., 2022). Menurut Durand & Barlow (2006) yang menjadi faktor penyebab bunuh diri adalah kejadian yang stressful berat. Adanya kerentanan atau gangguan psikologis sebelumnya, ciri sifat impulsif, dan disertai kurangnya dukungan sosial, dapat membuat seseorang merasa tidak mampu lagi menghadapi kejadian yang stressful.

Tentu saja, gangguan psikologis tidak terjadi secara tiba-tiba. Menurut para ahli, gangguan psikologis terjadi secara bertahap yang disebabkan oleh faktor biologis, psikologis dan lingkungan sosial. Stres harian yang terlalu berlebihan dan tidak dikelola dengan baik, dapat memungkinkan munculnya gangguan psikologis pada seseorang. Oleh karena itu, penting sekali untuk memahami dan mengelola stres harian yang dialami.

Remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju ke masa dewasa awal. Di masa ini, para remaja rentan mengalami stres akibat berbagai perubahan emosi, kognisi, sosial dan tekanan hidup yang dialami. Menurut WHO usia remaja dikategorikan sebagai remaja awal (usia 11-14 tahun), remaja tengah (usia 15-17 tahun) dan remaja akhir (usia 18-21 tahun).

Masa remaja adalah masa "sturm und drang" masa yang penuh ketegangan emosi yang ada kalanya meledak-ledak, menggebu-gebu dan dapat menyulitkan si remaja maupun orangtua/orang dewasa di sekitarnya. Namun pergolakan emosi itu juga sebenarnya bermanfaat dalam upaya mereka menemukan identitas diri.

Berikut beberapa hal yang dapat menjadi sumber stres pada remaja:

Faktor biologis

  • Perkembangan otak. Otak remaja bekerja dengan cara yang berbeda dari otak anak kecil dan otak orang dewasa (Morgan, 2014). Sistem emosi remaja sudah berkembang dengan baik, tetapi sebagian dari otak remaja yang disebut prefrontal cortex (berperan mengendalikan emosi dan membuat keputusan yang baik) belum sepenuhnya berkembang hingga pertengahan akhir usia 20-an, sehingga remaja cenderung kesulitan untuk mengendalikan emosinya. Remaja membutuhkan waktu yang sedikit lebih lama dalam menentukan apakah sesuatu itu berisiko atau tidak. Semua ini membantu menjelaskan mengapa sebagian remaja membuat keputusan yang tidak baik dalam hal risiko.
  • Pubertas
  • Hormonal : perkembangan tubuh, kondisi gigi, jerawat, bau mulut, bau badan dan sebagainya. Emosi juga dipengaruhi hormon, yang selama masa remaja mengalami naik-turun, baik pada remaja putra maupun remaja putri.
  • Penampilan fisik: perubahan bentuk tubuh, masalah berat badan, kebencian dengan tubuh sendiri, kondisi rambut, bentuk wajah, warna kulit, tinggi badan, pakaian dan sebagainya.
  • Tidur : insomnia (sulit/kurang tidur), atau malah tidur berlebihan.

Relasi sosial

  • Konflik dengan teman. Bagi remaja, hubungan teman sebaya merupakan bagian yang paling besar dalam kehidupannya. Namun, pengaruh teman sebaya bisa positif ataupun negatif. Ditolak atau diabaikan teman sebaya akan mengakibatkan remaja merasa kesepian dan timbul rasa permusuhan. Penolakan dan pengabaian ini berhubungan dengan kesehatan mental remaja dan masalah kriminal. Tekanan untuk membuat teman-teman terkesan. Sudah menjadi hal umum bahwa remaja sangat memperhatikan pendapat teman-teman mereka dan merasa sulit untuk mengabaikan pendapat tersebut. Mengalami bullying sebagai korban, penonton atau pelaku bullying.
  • Konflik romantisme seperti putus cinta, bertengkar dengan pacar atau belum juga punya pacar (jomblo) hingga merasa kesepian.
  • Konflik Keluarga : bertengkar dengan orang tua/pengasuh, ketidakhadiran orangtua, pertengkaran orangtua, perceraian orangtua, orangtua yang sakit, pelecehan oleh anggota keluarga, atau konflik dengan kakak/adik (rival siblings).
  • Lingkungan sosial : budaya, nilai-nilai sosial dan tuntutan sosial.
  • Media sosial dan gagdet. Misalnya kecanduan/ketergantungan media sosial atau online game, penggunaan media sosial dan gagdet tanpa batas dan tidak sehat, terlibat pertengkaran di media sosial, reaktif terhadap komentar orang di media sosial, terpengaruh nilai-nilai negatif yang berkembang di media sosial, tekanan untuk menyesuaikan diri dengan gambaran kesempurnaan dan kesuksesan selebritas, serta adanya tuntutan budaya "kesempurnaan" di media sosial, seperti harus good looking, smart, cute, sexy, popular dan sebagainya.

Pendidikan

  • Pendidikan yang berkaitan dengan ujian sekolah, takut gagal memenuhi tuntutan orang tua, kesulitan belajar dan tidak tahu gaya belajar yang dimiliki, insecure dengan teman yang berprestasi, tugas sekolah yang banyak dan sulit, tekanan lain dari orang tua, guru/dosen dan lingkungan sekolah/kampus, mengalami gangguan belajar seperti disleksia, dispraksia, diskalkulia dan gangguan lainnya.

Ketidakpastian masa depan

  • Mengalami kebingungan menentukan cita-cita, takut menjadi dewasa, tidak punya makna hidup dan bingung menentukan tujuan hidup, bingung dengan identitas diri, atau bingung memilih jurusan dan profesi.

Kehilangan/dukacita

  • Orang tua, anggota keluarga, teman atau sahabat meninggal, hewan peliharaan mati atau terkena bencana alam/musibah, teman/sahabat pindah sekolah/rumah atau orang tua bercerai.

Gangguan mental

  • Mengalami gangguan mental seperti depresi, cemas, gangguan psikosomatis, insecure, mengalami peristiwa traumatis, mengalami kekerasan, pelecehan dan pengabaian, menderita gangguan panik, paranoid, OCD, self harm, bipolar, borderline, atau gangguan psikologis lainnya. Kesehatan fisik yang lemah atau memiliki penyakit bawaan, kesulitan  dalam memecahkan masalah, serta memiliki pikiran-pikiran pesimis tentang masa depan, diri dan dunia.

Faktor eksternal

  • Masalah eksternal seperti kenakalan remaja, penyalahgunaan narkoba, penggunaan alkohol/obat-obat terlarang, bolos sekolah, atau pacaran terlalu dini dan melewati batas (seks bebas).

Masa remaja dipengaruhi oleh perkembangan fisik (hormon, otak, biologis, kognisi), tuntutan sosial, relasi sosial, dan perasaan. Semua itu adalah sebuah fase perkembangan manusia yang harus dijalani, sehingga tidak perlu menyalahkan diri sendiri. Emosi yang kuat dan selalu berubah merupakan hal yang biasa selama masa remaja. Perubahan suasana hati remaja sangat bisa dramatis dan rasanya di luar kendali mereka. Ingat bahwa semua ini adalah sebuah fase. Oleh karena itu, penting untuk para remaja memahami cara mengelola stres harian, sebagai berikut:

  • Bicaralah dengan seseorang. Jangan atasi masalahmu sendirian, bicaralah dengan orang dewasa yang dapat dipercaya. Misalnya guru, mentor atau aktivitis pemerhati remaja, orang tua, saudara atau konselor sekolah. Bicaralah dengan orang yang tepat, berhati-hati ketika sharing persoalan di media sosial. Bisa juga konsultasi dengan konselor, psikolog, dokter atau terapis kesehatan mental terdekat.
  • Ekspresikan emosi secara tepat dan sehat. Misalnya dengan berteriak di balik bantal atau memukul bantal, menyobek-nyobek kertas, mencoret-coret buku, berteriak di pantai, olahraga, mencari tempat yang tenang lalu mengatur nafas, menulis di buku diary atau jurnal harian (journaling), mengekspresikan melalui seni (musik, puisi, drama, lukisan, animasi), bercerita dengan seseorang yang dapat dipercaya, dan melakukan positif self talk (berdialog dengan diri sendiri secara positif)
  • Kelola pikiran dan perasaan. Pikiran dan perasaan perlu dikenali dan dikelola bukan ditahan. Hindari bacaan dan tontonan yang tidak menyejahterakan pikiran dan perasaan kita. Lakukan tracking emosi, dengan mengidentifikasi bagaimana perasaanmu dan apa yang menyebabkan perasaan itu muncul. Kenali hal apa saja yang membuatmu merasa tidak aman dan tidak nyaman. Lalu cari solusi dan kelola area insecurity yang dialami.
  • Belajar teknik komunikasi asertif. Berani berkata "tidak" dengan cara yang sopan. Membuat batasan diri, baik secara fisik maupun secara emosional
  • Mengenali potensi diri. Berhenti membandingkan diri sendiri dengan orang lain serta gali potensi diri dan fokus mengembangkannya.
  • Mengembangkan kemampuan self love dan kelola ekspektasi. Bersabar dengan diri sendiri dan pulihkan luka batin. Atur juga ekspektasi. Bercita-cita tinggi itu baik, tetapi sebaiknya cita-cita yang bisa diatur dan terukur.
  • Milikilah komunitas dan support system yang sehat. Bergaul dengan teman-teman yang membuat nyaman dan bertumbuh. Hindari atau buat batasan dengan teman yang toxic, dengan cara membatasi interaksi dengan mereka, atau bisa juga menjadi sukarelawan di lingkungan sosial sekitar kita.
  • Lakukan self care (perawatan diri secara fisik, mental, sosial, spiritual). Lakukan "Vaksinasi Mental" Untuk Jiwa yang Lebih Sehat

Relasi orangtua -- remaja

Ada baiknya orangtua memahami fase perkembangan remaja. Ada perubahan kognitif yang mempengaruhi cara remaja memahami sesuatu, memproses sesuatu dan menyampaikan sesuatu, mereka mulai lebih logis dan mampu berpikir abstrak, walaupun belum sepenuhnya. Oleh karena itu, cara kita menegur atau berbicara dengan anak remaja perlu berubah. Bukan lagi mendikte tanpa alasan, tetapi berdiskusi dan negosiasi dengan menyertai alasan pertimbangan. Bukan lagi perintah tetapi dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Bukan lagi pernyataan, tetapi bertanya, mengkonfirmasi dan mengklarifikasi.

Pahami juga bahwa perubahan fisik yang mempengaruhi suasana hati dan emosi remaja, sehingga ketika mereka berperilaku unlovable, jangan terlalu cepat dilabel sebagai bentuk pemberontakan dan nakal, tetapi dipahami, beri empati dan penerimaan, bantu mereka untuk mengelola emosi secara mandiri. Jangan terburu-buru fokus untuk memperbaiki perilaku, tapi perbaiki dulu relasi dengan mereka. Tenangkan diri agar dapat menyikapi remaja dengan tenang juga. Ketika relasi orangtua dan remaja terbangun dengan akrab, terbuka, sehat, ada empati dan penerimaan, maka kita akan lebih mudah menyuntikkan nilai-nilai moral dan etika, serta saran-saran kepada mereka, dan mereka juga akan lebih mudah menerimanya. Berikan juga contoh dalam mengelola dan mengatasi konflik yang sehat.

Alangkah baiknya jika orang tua dapat meminimalkan potensi terjadinya konflik dengan remaja, yakni berupaya untuk memahami mereka. Tetapkan aturan-aturan dasar dalam mengatasi konflik. Misalnya dengan menetapkan aturan bersama bagi orangtua dan remaja untuk memperlakukan satu sama lain dengan hormat, tidak ada makian dan tidak saling merendahkan. Hargai hak anak untuk berpendapat dan mengkonfirmasi sudut pandangnya. Dalam beberapa situasi, orangtua dan remaja mungkin tidak mencapai kesepakatan. Ketika berhubungan dengan keselamatan dan kesehatan remaja, orangtua terkadang harus membuat keputusan yang tidak disetujui remaja. Namun demikian, remaja lebih cenderung mengikuti arah keputusan orang tua jika mereka diijinkan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan melihat bahwa orangtua benar-benar memperhatikan kebutuhan dan keinginan mereka.

Di fase remaja ini orangtua menjadi sahabat, mentor, teladan/model dan pelatih bagi anak. Sikap orangtua perlu berbeda dari fase sebelumnya. Orangtua menjadi teman bicara yang menemaninya melewati masalah-masalah remaja. Orangtua menjadi contoh nyata kehidupan anak dan menjadi sumber inspirasi mereka. Orangtua memberikan arahan dan panduan sehingga anak mengerjakan tanggung jawabnya dengan baik, serta memberikan kepercayaan bahwa anak bisa.

Bangun kelekatan yang aman dan nyaman secara emosional dengan remaja. Kelekatan yang aman membantu remaja terhindar dari kecemasan dan dari kemungkinan perasaan tertekan atau ketegangan emosi yang berkaitan dengan masa transisi yang mereka alami. Relasi yang sehat antara remaja dan orangtua juga dapat menghasilkan hubungan teman sebaya yang cakap, positif dan dekat di luar keluarga. Jadilah teladan dan 'teman seperjalanan' mereka.

Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun