Mohon tunggu...
Re Ayudya
Re Ayudya Mohon Tunggu... Lainnya - Psikoedukator_Konselor

Enthusiast to Psychology and Education

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Hari Kesehatan Mental Dunia: Pahami Sumber Stres Kaum Remaja

10 Oktober 2022   17:18 Diperbarui: 11 Oktober 2022   23:07 851
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kehilangan/dukacita

  • Orang tua, anggota keluarga, teman atau sahabat meninggal, hewan peliharaan mati atau terkena bencana alam/musibah, teman/sahabat pindah sekolah/rumah atau orang tua bercerai.

Gangguan mental

  • Mengalami gangguan mental seperti depresi, cemas, gangguan psikosomatis, insecure, mengalami peristiwa traumatis, mengalami kekerasan, pelecehan dan pengabaian, menderita gangguan panik, paranoid, OCD, self harm, bipolar, borderline, atau gangguan psikologis lainnya. Kesehatan fisik yang lemah atau memiliki penyakit bawaan, kesulitan  dalam memecahkan masalah, serta memiliki pikiran-pikiran pesimis tentang masa depan, diri dan dunia.

Faktor eksternal

  • Masalah eksternal seperti kenakalan remaja, penyalahgunaan narkoba, penggunaan alkohol/obat-obat terlarang, bolos sekolah, atau pacaran terlalu dini dan melewati batas (seks bebas).

Masa remaja dipengaruhi oleh perkembangan fisik (hormon, otak, biologis, kognisi), tuntutan sosial, relasi sosial, dan perasaan. Semua itu adalah sebuah fase perkembangan manusia yang harus dijalani, sehingga tidak perlu menyalahkan diri sendiri. Emosi yang kuat dan selalu berubah merupakan hal yang biasa selama masa remaja. Perubahan suasana hati remaja sangat bisa dramatis dan rasanya di luar kendali mereka. Ingat bahwa semua ini adalah sebuah fase. Oleh karena itu, penting untuk para remaja memahami cara mengelola stres harian, sebagai berikut:

  • Bicaralah dengan seseorang. Jangan atasi masalahmu sendirian, bicaralah dengan orang dewasa yang dapat dipercaya. Misalnya guru, mentor atau aktivitis pemerhati remaja, orang tua, saudara atau konselor sekolah. Bicaralah dengan orang yang tepat, berhati-hati ketika sharing persoalan di media sosial. Bisa juga konsultasi dengan konselor, psikolog, dokter atau terapis kesehatan mental terdekat.
  • Ekspresikan emosi secara tepat dan sehat. Misalnya dengan berteriak di balik bantal atau memukul bantal, menyobek-nyobek kertas, mencoret-coret buku, berteriak di pantai, olahraga, mencari tempat yang tenang lalu mengatur nafas, menulis di buku diary atau jurnal harian (journaling), mengekspresikan melalui seni (musik, puisi, drama, lukisan, animasi), bercerita dengan seseorang yang dapat dipercaya, dan melakukan positif self talk (berdialog dengan diri sendiri secara positif)
  • Kelola pikiran dan perasaan. Pikiran dan perasaan perlu dikenali dan dikelola bukan ditahan. Hindari bacaan dan tontonan yang tidak menyejahterakan pikiran dan perasaan kita. Lakukan tracking emosi, dengan mengidentifikasi bagaimana perasaanmu dan apa yang menyebabkan perasaan itu muncul. Kenali hal apa saja yang membuatmu merasa tidak aman dan tidak nyaman. Lalu cari solusi dan kelola area insecurity yang dialami.
  • Belajar teknik komunikasi asertif. Berani berkata "tidak" dengan cara yang sopan. Membuat batasan diri, baik secara fisik maupun secara emosional
  • Mengenali potensi diri. Berhenti membandingkan diri sendiri dengan orang lain serta gali potensi diri dan fokus mengembangkannya.
  • Mengembangkan kemampuan self love dan kelola ekspektasi. Bersabar dengan diri sendiri dan pulihkan luka batin. Atur juga ekspektasi. Bercita-cita tinggi itu baik, tetapi sebaiknya cita-cita yang bisa diatur dan terukur.
  • Milikilah komunitas dan support system yang sehat. Bergaul dengan teman-teman yang membuat nyaman dan bertumbuh. Hindari atau buat batasan dengan teman yang toxic, dengan cara membatasi interaksi dengan mereka, atau bisa juga menjadi sukarelawan di lingkungan sosial sekitar kita.
  • Lakukan self care (perawatan diri secara fisik, mental, sosial, spiritual). Lakukan "Vaksinasi Mental" Untuk Jiwa yang Lebih Sehat

Relasi orangtua -- remaja

Ada baiknya orangtua memahami fase perkembangan remaja. Ada perubahan kognitif yang mempengaruhi cara remaja memahami sesuatu, memproses sesuatu dan menyampaikan sesuatu, mereka mulai lebih logis dan mampu berpikir abstrak, walaupun belum sepenuhnya. Oleh karena itu, cara kita menegur atau berbicara dengan anak remaja perlu berubah. Bukan lagi mendikte tanpa alasan, tetapi berdiskusi dan negosiasi dengan menyertai alasan pertimbangan. Bukan lagi perintah tetapi dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Bukan lagi pernyataan, tetapi bertanya, mengkonfirmasi dan mengklarifikasi.

Pahami juga bahwa perubahan fisik yang mempengaruhi suasana hati dan emosi remaja, sehingga ketika mereka berperilaku unlovable, jangan terlalu cepat dilabel sebagai bentuk pemberontakan dan nakal, tetapi dipahami, beri empati dan penerimaan, bantu mereka untuk mengelola emosi secara mandiri. Jangan terburu-buru fokus untuk memperbaiki perilaku, tapi perbaiki dulu relasi dengan mereka. Tenangkan diri agar dapat menyikapi remaja dengan tenang juga. Ketika relasi orangtua dan remaja terbangun dengan akrab, terbuka, sehat, ada empati dan penerimaan, maka kita akan lebih mudah menyuntikkan nilai-nilai moral dan etika, serta saran-saran kepada mereka, dan mereka juga akan lebih mudah menerimanya. Berikan juga contoh dalam mengelola dan mengatasi konflik yang sehat.

Alangkah baiknya jika orang tua dapat meminimalkan potensi terjadinya konflik dengan remaja, yakni berupaya untuk memahami mereka. Tetapkan aturan-aturan dasar dalam mengatasi konflik. Misalnya dengan menetapkan aturan bersama bagi orangtua dan remaja untuk memperlakukan satu sama lain dengan hormat, tidak ada makian dan tidak saling merendahkan. Hargai hak anak untuk berpendapat dan mengkonfirmasi sudut pandangnya. Dalam beberapa situasi, orangtua dan remaja mungkin tidak mencapai kesepakatan. Ketika berhubungan dengan keselamatan dan kesehatan remaja, orangtua terkadang harus membuat keputusan yang tidak disetujui remaja. Namun demikian, remaja lebih cenderung mengikuti arah keputusan orang tua jika mereka diijinkan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan melihat bahwa orangtua benar-benar memperhatikan kebutuhan dan keinginan mereka.

Di fase remaja ini orangtua menjadi sahabat, mentor, teladan/model dan pelatih bagi anak. Sikap orangtua perlu berbeda dari fase sebelumnya. Orangtua menjadi teman bicara yang menemaninya melewati masalah-masalah remaja. Orangtua menjadi contoh nyata kehidupan anak dan menjadi sumber inspirasi mereka. Orangtua memberikan arahan dan panduan sehingga anak mengerjakan tanggung jawabnya dengan baik, serta memberikan kepercayaan bahwa anak bisa.

Bangun kelekatan yang aman dan nyaman secara emosional dengan remaja. Kelekatan yang aman membantu remaja terhindar dari kecemasan dan dari kemungkinan perasaan tertekan atau ketegangan emosi yang berkaitan dengan masa transisi yang mereka alami. Relasi yang sehat antara remaja dan orangtua juga dapat menghasilkan hubungan teman sebaya yang cakap, positif dan dekat di luar keluarga. Jadilah teladan dan 'teman seperjalanan' mereka.

Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun