Akhir-akhir ini kita cukup dihebohkan dengan pemberitaan mengenai aksi pembulian yang terjadi di tempat kerja. Pelakunya adalah sesama rekan kerja, bahkan pembulian itu kabarnya sudah berlangsung hingga bertahun-tahun. Berita lainnya lagi menceritakan sebuah peristiwa yang tidak sengaja menyebabkan tewasnya beberapa orang karena pelaku adalah korban pembulian, dan aksinya tersebut karena ingin membalas dendam, tanpa dia ketahui bahwa perbuatannya itu dapat menewaskan para pembuli tersebut.
Dari dua peristiwa itu kita seakan kembali diingatkan bahwa rupanya aksi pembulian itu tidak hanya dapat terjadi di lingkungan sekolah saja yang menimpa anak-anak dan remaja kita, tetapi dapat juga terjadi terhadap orang dewasa seperti di lingkungan tempat kerja, lingkungan sosial pertemanan, bahkan aksi pembulian itu dapat juga terjadi di rumah yang dilakukan oleh keluarga sendiri. Dari usia TK-SMA, semua berpotensi mengalami pembulian. Misalnya anak TK dibuli oleh kakak kelasnya yang sudah SD, atau oleh anak-anak tetangga. Para mahasiswa di kampus, bahkan di lingkungan kerja pun bisa mengalami pembulian.
Bullying atau aksi pembulian dapat diartikan juga sebagai perundungan. Sebuah perilaku agresif dan kekerasan. Baik kekerasan secara fisik maupun secara psikis yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang lebih kuat terhadap yang lebih lemah, yang dengan sengaja bertujuan mendominasi, menyakiti, menyingkirkan, dan melukai korban secara berkelanjutan dan berulang-ulang, sebagai penyalahgunaan kekuatan atau kekuasaan secara sistematis (Rigby, 1994; Olweus, 2005; Black & Jackson, 2007).
Terkadang pelaku pembulian beralasan bahwa pelaku hanya bercanda, namun apabila sebuah perilaku dilakukan secara berkelanjutan untuk mengintimidasi, menyakiti dan menekan pihak yang lebih lemah, maka sudah kategori pembulian. Apabila memang bermaksud untuk bercanda, sebaiknya lakukan konfirmasi pada pihak yang diajak bercanda. Apakah dia merasa oke dengan candaan tersebut? Hargai juga pendapatnya. Segeralah meminta maaf dan menghentikan candaan tersebut apabila dia merasa tidak nyaman.
Apabila sudah ada konfirmasi dari korban bahwa dia merasa tidak nyaman dengan candaan kita, tetapi kita masih saja melakukannya secara terus-menerus, hingga membuat korban merasa tertekan, hal itu dapat dikategorikan pembulian. Kita pun perlu belajar untuk speak up secara asertif, terhadap perkataan atau candaan yang membuat kita tidak nyaman.
Lalu mengapa ya seseorang dapat melakukan pembulian?Â
Menurut padangan psikologi dan sosial, aksi pembulian merupakan perilaku yang dipelajari dari lingkungan sosial melalui peniruan. Misalnya dari interaksi dengan keluarga, teman sebaya atau media massa. Aksi pembulian dapat saja terjadi di rumah yang dilakukan oleh keluarga kita sendiri. Misalnya sering berkata pada anak "ah, kamu mah lemah dan payah, tidak seperti kakakmu", atau seorang ibu yang berkata pada anak kandungnya sendiri "Kamu itu kalau jalan sama mama pasti dikiranya pembantunya mama karena kulitmu hitam dan dekil". Lebih parahnya lagi, perkataan tersebut lalu didukung oleh anggota keluarga yang lain.
Contoh lainnya, misalnya anak bungsu yang secara tidak langsung dibuli oleh keempat kakaknya dengan cara diejek, direndahkan, disuruh ini dan itu. Bagi pelaku (para kakak) semua itu hanya bentuk candaan saja, tetapi siapa yang mengira bahwa tindakan tersebut justru membuat si anak bungsu terluka secara emosional? Perilaku tersebut semakin menguat, ketika ayah dan ibu yang menyaksikan tidak memberi sanksi atau berusaha mendisiplinkan keempat kakaknya tersebut. Orang tua beranggapan selama tidak melukai secara fisik artinya itu hanya bercanda saja. Mereka tidak menyadari bahwa hal itu dapat menimbulkan luka emosional pada anak bungsunya.
Oleh karena itu, penting sekali bagi kita untuk mengetahui dan memahami jenis-jenis pembulian (bullying), yaitu:
- Bullying fisik yaitu ada sentuhan atau kekerasan fisik seperti memukul, menampar, menendang, meninju, menginjak kaki, melempar dengan barang, meludahi, mencakar, melakukan pelecehan seksual (misalnya menelanjangi, lalu baju korban disembunyikan), menghukum secara fisik (misalnya disuruh lari keliling lapangan atau disuruh memakan sesuatu yang tidak semestinya dimakan), merusak barang yang dimiliki korban, dan bentuk kekerasan fisik lainnya.
- Bullying verbal yaitu bentuk kekerasan yang dapat didengarkan, seperti memaki, menghina, melabel negatif atau memberi julukan negatif. Misalnya "Si gembrot datang tuh!", atau "Awas-awas, profesor mau lewat", hanya karena korban berkacamata. Meneriaki, mempermalukan di depan umum, menuduh, menyoraki, menggosipkan atau membicarakan korban di belakang lalu menyebarkan gosip tersebut, melakukan pelecehan seksual secara verbal (cat calling), mengintimidasi, memfitnah dan bentuk kekerasan verbal lainnya.
- Bullying psikologis yaitu aksi pembulian yang cenderung tidak terdeteksi dan tidak disadari. Misalnya memandang sinis, memandang dengan penuh ancaman, mendiamkan, mengucilkan, mencibir, memandang dengan cara merendahkan, meneror melalui chat, mengirim surat kaleng dan sebagainya.
- Cyber bullying yaitu bentuk kekerasan melalui media sosial atau media elektronik. Misalnya melakukan pencemaran nama baik di media sosial, memberi komentar negatif dan kasar di laman media sosial korban, atau mengirimi video intimidasi untuk meneror, menggunakan foto korban untuk dijadikan meme yang cenderung merendahkan. Meme itu perlu diwaspadai juga, karena dapat menyuburkan budaya aksi pembulian di media sosial. Terutama meme-meme yang cenderung merendahkan seseorang.
- Prejudical bullying yaitu jenis kekerasan yang dilakukan terhadap ras dan golongan tertentu. Misalnya dengan cara menirukan gaya bicara suku tertentu hanya untuk mengejek, menghina kebiasaan atau budaya suku tertentu. Misalnya berkata "dasar Jawa koek, pelit!", "dasar Papua!", atau ungkapan lain "dasar China!" dan ungkapan sejenis lainnya.
- Financial bullying yaitu jenis kekerasan dengan memaksa dan meminta uang pada korban, merampas barang milik korban atau menyuruh korban membelikan makanan memakai uangnya korban.
Aksi pembulian tentu tidak dapat dianggap sepele, karena dapat memberikan dampak negatif bagi korban yaitu:
- Luka fisik, misalnya terluka secara fisik, sakit, pusing, tidak nafsu makan, malas berangkat sekolah atau berangkat kerja, tidak bisa berkonsentrasi, nilai akademis menurun atau performance kerja menurun, kemampuan analisa menurun, dan lain sebagainya.
- Luka bathin, misalnya stres, bahkan bisa menyebabkan depresi hingga bunuh diri. Trauma, ketakutan, cemas, menarik diri, merasa tidak aman, harga diri rendah, perasaan terisolasi dan putus asa. Bahkan dalam jangka panjang korban bisa mengembangkan gejala-gejala gangguan psikologis, seperti social phobia, school phobia, psikosomatis dan gangguan kecemasan.
Selain berdampak pada korban, sebenarnya aksi pembulian dapat berdampak pada pelaku juga. Jika tidak ditanggulangi, pelaku akan semakin merasa berkuasa, tidak mampu menoleransi frustasi, pro terhadap kekerasan, agresif dan dapat terbentuk perilaku tidak sehat lainnya seperi perilaku kriminal. Selain itu, pelaku pembulian yang tidak ditanggulangi juga dapat mengembangkan gangguan psikologis dan gangguan perilaku.
Dampak negatif juga dapat menimpa para penonton atau teman pembuli. Jika tidak ditanggulangi, para penonton ini akan berasumsi bahwa aksi pembulian itu sesuatu yang biasa dan bisa diterima secara sosial. Mereka yang takut terhadap pelaku, akan memilih untuk diam dan menghindar, tanpa pernah mencoba berusaha menghentikan pembulian yang terjadi di lingkungannya. Selain itu, mereka juga dapat mengalami peningkatan gejala depresi, merasa sepi, sedih, moody dan memiliki level agresi yang lebih tinggi.
Lalu, apa penyebab pelaku melakukan pembulian?
- Pelaku biasanya pernah menjadi korban kekerasan sebelumnya. Misalnya mendapatkan kekerasan dari orang tua dan lingkungan pertemanannya, sehingga dia tidak pernah belajar cara menyelesaikan masalah yang baik selain dengan kekerasan. Bahkan mungkin dia memahami bahwa kekerasan merupakan penyelesaian masalah yang terbaik.
- Bentuk balas dendam karena sebelumnya pernah menjadi korban kekerasan, sehingga dia berpikir bahwa lebih baik menyerang dulu daripada diserang duluan.
- Pengendalian diri dan regulasi emosi yang rendah. Peduli terhadap popularitas, superior dan memiliki rasa percaya diri yang tinggi atau malah tidak percaya diri, sehingga melakukan pembulian karena dipengaruhi teman.
- Disfungsi keluarga. Misalnya sering melihat orang tua bertengkar hingga menggunakan kekerasan dan mendapatkan pola parenting yang toxic.
- Ada dukungan sosial yang menguatkan aksi pembulian, seperti teman yang menonton, bersorak dan memberi validasi terhadap aksi pembulian yang dilakukan.
- Manajemen dan pengawasan disiplin di sekolah, rumah atau tempat kerja yang lemah juga dapat menyebabkan suburnya aksi pembulian.
- Selalu mengkonsumsi tayangan atau media sosial yang penuh dengan kekerasan.
- Aksi pembulian didorong oleh kebutuhan rasa aman dan keselamatan, namun mereka berusaha mendapatkannya dengan cara yang keliru, yaitu dengan melakukan pembulian. Selain itu, di balik perilaku agresinya, sebenarnya ada sosok yang membutuhkan kasih sayang, penerimaan, dicintai, dihargai dan diakui. Seharusnya kebutuhan ini dipenuhi dari rumah, namun karena tidak terpenuhi, maka pelaku mencari pemenuhan kebutuhan tersebut di luar rumah dengan cara yang tidak tepat.
Mengapa seseorang dapat mengalami pembulian?
Menurut penelitian ada beberapa faktor penyebab seseorang mengalami pembulian, yaitu:
- Korban cenderung dianggap lemah dan tidak bisa membela dirinya. Sisi inferiornya sangat tinggi, sementara para pelaku biasanya memiliki sisi superior yang tinggi.
- Korban biasanya cenderung dianggap "berbeda", Â misalnya memiliki ciri fisik dan penampilan tertentu, atau punya hobi yang berbeda dengan yang lainnya. Tidak jarang seseorang yang tampak populer pun dapat menjadi korban pembulian.
- Korban biasanya cenderung tidak percaya diri dan memiliki harga diri yang rendah.
- Korban biasanya juga tidak punya banyak teman.
- Korban cenderung tidak mampu bersikap asertif, sangat sensitif, pendiam, insecure, dan suka menyendiri.
Apa yang dapat dilakukan sebagai upaya untuk mengatasi aksi pembulian?
Pencegahan (korban ataupun pelaku)
- Anak
- Mengedukasi anak mengenai indikator sebuah perilaku dikategorikan pembulian, sehingga anak dapat mendeteksi sedini mungkin ketika terjadinya pembulian.
- Mempersiapkan anak agar dapat melindungi dirinya sendiri. Misalnya, mengajarkan cara bersikap asertif dan menumbuhkan kepercayaan diri yang sehat, sehingga anak berani bersikap tegas ketika dia mengalami penindasan.
- Mengajar anak cara-cara menyelesaikan masalah yang baik.
- Orang tua perlu memperkenalkan konsep salah dan benar pada anak, sehingga anak memahami bahwa perbuatan salah itu memiliki konsekuensi. Mulai dari konsekuensi ringan hingga berat (hukuman penjara).
- Melatih anak agar cepat tanggap, sehingga ketika ada pembulian di sekitarnya, anak dapat segera melapor ke pihak sekolah, guru, tokoh masyarakat atau tenaga keamanan yang berwenang.
- Keluarga
- Orang tua perlu memberikan pola pengasuhan yang sehat.
- Orang tua perlu menyediakan rumah yang ramah, aman dan nyaman, baik secara fisik maupun emosi.
- Jalin relasi yang harmonis dengan pasangan, anak dan seluruh anggota keluarga.
- Tidak bertengkar dan melakukan kekerasan di depan anak.
- Memberi teladan cara menyelesaikan masalah yang baik. Misalnya dengan berdiskusi dan berkomunikasi, atau mencari win-win solution melalui interaksi antar anggota keluarga.
- Menghidupi dan mengajarkan nilai-nilai keagamaan, toleransi dan norma susila di rumah.
- Mengajarkan etika, empati dan cinta kasih. Dimulai dari cara memperlakukan pasangan, anak, keluarga dan tetangga.
- Mendampingi anak dalam menyerap informasi di media sosial dan memberi tayangan yang disesuaikan dengan fase perkembangan anak.
- Memberikan penerimaan dan pengakuan pada anak, sehingga anak dapat tumbuh percaya diri, asertif, berani, dan terampil secara sosial. Anak perlu tahu dan merasakan bahwa ia dicintai, diterima, aman dan berharga bagi orang tuanya.
- Bantu anak untuk memiliki sisi superior dan inferior yang seimbang di dalam dirinya, serta memiliki konsep diri yang positif tentang dirinya.
- Sekolah/kampus/tempat kerja
- Memberikan psikoedukasi mengenai anti bullying pada seluruh anggota sekolah/kampus/kantor. Misalnya secara berkala melakukan outbond atau gathering untuk meningkatkan budaya kerjasama di lingkungan sekolah, kampus atau kantor.
- Menciptakan iklim sekolah atau iklim kerja yang ramah, aman dan nyaman.
- Mengembangkan budaya organisasi yang saling menghargai, saling menghormati, saling berempati dan tidak membenarkan aksi pembulian.
- Membangun komunikasi yang efektif bagi guru dan siswa, atau atasan dengan karyawan. Guru atau pimpinan tidak melakukan kekerasan dalam mendisiplinkan siswa atau karyawan.
- Menyediakan layanan psikologis bagi semua anggota organisasi, sehingga secara berkala mendapatkan pendampingan psikologis.
- Apabila di lingkungan sekolah, orang tua dapat bekerjasama dengan guru dan pihak sekolah.
- Masyarakat
- Senantiasa menggaungkan dan memberikan penyuluhan atau psikoedukasi mengenai anti pembulian pada lingkungan masyarakat. Bila perlu memberi pelatihan bagaimana menghadapi dan mencegah aksi pembulian.
- Memberikan perlindungan bagi warga dari tindak pembulian.
- Tidak menyuburkan perilaku kekerasan di lingkungan masyarakat.
Aksi pembulian dapat terjadi di lingkungan mana saja. Selama ini kita hanya menganggap bahwa aksi pembulian marak terjadi di lingkungan sekolah dan lingkungan sosial anak remaja saja, tetapi sebenarnya pembulian dapat juga terjadi di kampus, lingkungan sosial dan lingkungan pekerjaan. Hanya saja aksi pembulian di tempat kerja ini jarang  terekspos. Biasanya baru ditangani apabila sudah berbentuk tindak kriminal. Ketika korban merasa tidak nyaman akibat pembulian yang dialaminya, terkadang korban hanya memilih untuk resign saja, tanpa ada penanganan lebih lanjut. Jadi sebaiknya setiap instansi dapat mewaspadai hal ini. Di sekolah pun, sebaiknya antar siswa, guru dan karyawan dapat bersama-sama mengembangkan budaya anti pembulian.
Penanganan
- Terlebih dulu memastikan kondisi korban sudah lebih aman baik secara fisik maupun secara emosi.
- Memberikan layanan konseling dan intervensi psikologis bagi korban, pelaku dan pihak yang menjadi penonton (teman pembuli).
- Sekolah/kampus/kantor bekerjasama dengan keluarga. Baik dengan keluarga korban maupun keluarga pelaku.
- Melibatkan pihak yang berwenang, tenaga profesional kesehatan mental, perlindungan anak, lembaga keagamaan, kepolisian dan lainnya sebagainya.
Lalu apa yang sebaiknya dilakukan ketika melihat orang lain sedang dibuli?
- Jangan ditonton, karena aksi pembulian itu terdiri dari tiga pihak di dalamnya, yaitu korban, pelaku dan penonton. Nah, penonton ini justru dapat memperkuat si pelaku untuk terus melakukan aksinya. Apalagi ketika penonton turut bersorak.
- Jangan mendiamkan aksi tersebut. Jika beresiko, sebaiknya segera lapor pada pihak berwenang atau berwajib. Misalnya dengan lapor satpam, polisi atau kalau terjadi di lingkungan sekolah, lapor pada guru dan kepala sekolah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H