Beberapa anak terpaksa harus mendengarkan pertengkaran orang tuanya setiap hari, bahkan beberapa anak harus mengalami kekerasan dari orang tuanya baik secara fisik maupun verbal.Â
Di sisi lain, orang tua yang terlalu sibuk mencari uang untuk memfasilitasi kebutuhan keluarga membuat anak lebih banyak sendiri di rumah, sehingga anak didera perasaan kesepian dan merasa helpless juga hopeless.
Sejatinya, rumah tidak hanya membuat anak nyaman dan aman secara fisik, tetapi seharusnya juga aman dan nyaman secara emosional. Anak dapat mengekspresikan emosinya dengan leluasa dan menjadi dirinya apa adanya yang diterima oleh orang tua. Ketika kepribadian orang tua secara individu belum matang, maka orang tua menjadi tidak terampil dalam berhubungan dengan pasangan.Â
Hubungan suami istri yang ringkih tersebut, cenderung membuat keduanya menjadi orang tua yang tidak stabil. Orang tua perlu belajar untuk menyelesaikan konflik internalnya terlebih dulu, agar dapat mendampingi anak secara sehat dan efektif.
Materi pelajaran yang diberikan dengan setumpuk tugas juga membuat anak merasa terbebani, apalagi ketika di rumah tidak terdampingi oleh orang tua. Keluhan-keluhan tersebut dapat dipahami, karena memang ada tuntutan untuk mengikuti perubahan. Masa transisi dalam sebuah perubahan dapat mendatangkan satu krisis apabila tidak ditangani dengan tepat.Â
Penyelenggaran school from home ini (SFH) sebenarnya tidak sepenuhnya dibebankan hanya kepada orang tua saja. Orang tua tetap dapat berkoordinasi dengan guru dan pihak sekolah, baik sekolah formal maupun non formal untuk memberikan pendidikan yang layak bagi anak selama masa pandemik covid-19 ini.
Sebaiknya pihak sekolah tidak hanya memikirkan tentang kemasan materi, metode dan media pembelajaran yang digunakan saja, tetapi juga dapat turut memantau kondisi psikologis anak selama  bersekolah dari rumah. Misalnya dengan menyediakan tenaga konselor sekolah secara khusus yang dapat dihubungi di waktu tertentu oleh anak, sehingga ketika anak tidak memiliki teman untuk bercerita dan berkeluh kesah, anak dapat menghubungi konselor sekolah secara leluasa.Â
Ada baiknya juga pihak sekolah secara aktif berkoordinasi dengan orang tua agar anak tetap mendapatkan pendampingan dan tidak menghadapi kesulitan belajar seorang diri. Sekolah juga dapat menyediakan tenaga guru yang dapat melakukan visit ke rumah siswa jika diperlukan, tentu dengan memperhatikan protokol kesehatan dan keamanan bagi anak.
Selain orang tua dan anak, tidak sedikit pula guru yang turut merasa stres menghadapi sistem pembelajaran baru ini, terutama bagi mereka yang cukup senior dan tidak familiar dengan dunia digital. Guru merasa kewalahan memikirkan bagaimana harus mengemas pembelajaran yang menarik secara digital, yang tidak kalah dengan konten-konten media sosial yang bisa jadi lebih menarik bagi anak-anak.
Tidak dapat dipungkiri sejumlah guru pun dilanda perasaan putus asa dan terbeban menghadapi perubahan proses pembelajaran ini. Guru-guru dengan kepribadian tertentu merasa tidak nyaman ketika harus berakting di depan kamera untuk membuat video pembelajaran, atau merasa tidak terbiasa ketika harus berhadapan dengan siswa melalui kamera digital dalam pertemuan kelas online.Â
Beberapa guru juga merasa stres karena harus belajar banyak menggunakan perangkat teknologi, beragam platform bahkan media sosial. Beberapa guru sampai harus belajar secara khusus untuk bisa menggunakan aplikasi Google meet, Microsoft Teams, Zoom, Weebex dan sebagainya.Â