Mohon tunggu...
Resita Wulan
Resita Wulan Mohon Tunggu... -

saya suka musik, sastra dan apapun yang menyenangkan :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Memuja Penguasa = Merendahkan Moral

29 Januari 2014   21:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:20 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dimana masyarakatnya memeluk 5 agama dan 1 kepercayaan. Hal tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 1 dan 2, yang mana ayat kedua berbunyi ‘Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu’. Namun, apa yang ‘dipeluk’ oleh kebanyakan orang di Indonesia bukan agama, tapi penguasa.

Penguasa kini dijadikan agama, disembah agar mendapatkan rupiah. Penyembahan tidak dilakukan secara ritual, namun melalui kesetiaan yang fana kepadanya. Jika tidak dijilat kakinya, maka kehidupan si penjilat musnah sudah. Disentil sedikit saja, penguasa tersebut bisa meracuni hidup para pengikutnya yang berbalik arah. Dengan terror tesebut, maka tak ada yang berani mengambil jalan untuk menentang yang berkuasa dan cuma manut jika disuruh. Ketika mereka muak, tapi takut membanting setir, maka mulailah mulutnya berbisik-bisik tetangga di balik punggung penguasa itu. Menjelek-jelekkan di belakang, bermanis-manis di depan. Bermuka dua. Demi satu hal. Uang.

Apa yang mengkhawatirkan dari sikap amoral penjilat itu justru ketika penguasa jelas-jelas bersalah, atau setidaknya si pesuruh tahu bahwa atasannya bersalah, dia akan mati-matian membela si penguasa layaknya anjing penjaga. Atau mungkin, dia rela dilempar menjadi kambing hitam atas kesalahan yang diperbuat si penguasa tersebut. Perbuatannya secara langsung mengadopsi tindakan yang tak bermoral, tak patut dicontoh masyarakat. Meng-agamakan penguasa berarti sudah menuhankan manusia, padahal manusia tidak sempurna. Hal itu berarti sudah melangkahi Tuhan.

Hukum sebab-akibat selalu ada bagi setiap orang, bahkan sudah dimulai ketika orang itu lahir. Bagi siapa yang menabur, dia yang menuai. Siapapun pemuja penguasa dan menyingkirkan Tuhan dalam hal ini akan memanen kehancuran dalam hidupnya akibat dosa—sekalipun itu dikatakan orang akan terampuni. Tindakan pengecut ini layak untuk dijajah oleh bangsa Indonesia agar tidak ada lagi benalu-benalu di dalam tubuh Bhineka Tunggal Ika dengan cara berani menentang bila memang kepemimpinan terbukti banyak ada pelanggaran. Selalu berdiri di tempat yang benar agar tak ikut-ikut terjerat dalam kerendahan moral manusia-manusia pemuja penguasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun