Mohon tunggu...
Rokhmin Dahuri Institute
Rokhmin Dahuri Institute Mohon Tunggu... Dosen - Rokhmin Dahuri

Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan – IPB; Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI); Wakil Ketua Dewan Pakar ICMI Pusat; Member of International Scientific Advisory Board of Center for Coastal and Ocean Development, University of Bremen, Germany; Honorary Ambassador of Jeju Islands Province and Busan Metropolitan City, Republic of Korea to Indonesia; dan Menteri Kelautan dan Perikanan – RI (2001 – 2004).

Selanjutnya

Tutup

Money

Roadmap Pembangunan Industri Perikanan Indonesia

26 Oktober 2016   20:31 Diperbarui: 26 Oktober 2016   21:03 1423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Roadmap Pembangunan Industri Perikanan Indonesia Yang Berdaya Saing, Berkeadilan, Dan Ramah Lingkungan Secara Berkelanjutan

Latar Belakang

Sejak merdeka 71 tahun lalu, para pemimpin dan rakyat Indonesia telah bekerja keras untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaannya, yakni Indonesia yang maju, adil-makmur, dan berdaulat.Alhamdulillah secara umum negara-bangsa Indonesia mengalami kemajuan dari waktu ke waktu.Kondisi infrastruktur (jaringan jalan, listrik, pasokan gas, bendungan dan jaringan irigasi, telekomunikasi, pelabuhan, bandara, dan air bersih) semakin bertambah.  Besaran ekonomi (PDB = Produk Domestik Bruto) dan pendapatan perkapita penduduknya juga semakin membesar.  Saat ini PDB Indonesia mencapai 1 triliun dolar AS, yang menempati peringkat ke-16 dunia. Amerika Serikat dan Tiongkok dengan PDB sekitar 11 dan 10,5 triliun dolar AS menempati peringkat ke-1 dan ke-2 di dunia.

Namun, hingga saat ini Indonesia masih berstatus sebagai negara berkembang berpendapatan menengah ke bawah (a low-middle income country) dengan PDB perkapita sekitar 4.000 dolar AS.  Kapasitas IPTEK (Ilmu dan Teknologi) bangsa Indonesia pun baru mencapai kelas 3.  Padahal, suatu negara digolongkan sebagai negara maju dan makmur,bila PDB perkapitanya minimal 11.750 dolar AS dan kapasitas IPTEKnya telah mencapai kelas-1 (UNDP dan UNESCO, 2012). Negara maju dan makmur juga memiliki kedaulatan atau setidaknya ketahanan pangan yang tangguh.  Sebab, hanya dengan kedaulatan/ketahanan pangan yang kuatlah, sebuah negara mampu memenuhi kebutuhan pangan dan gizi yang berkualitas bagi seluruh rakyatnya secara berkesinambungan.  Ironisnya, dikenal sebagai negara bahari dan agraris tropis terbesar di dunia dengan potensi produksi perikanan maupun pertanian yang sangat besar, meskipun pada 1984 sempat berswasembada beras hingga 1990, sejak medio 1990-an Indonesia menjadi salah satu pengimpor komoditas pangan (beras, gandum, jagung, gula, kedelai dan daging sapi) terbesar di dunia. 

Rendahnya ketahanan pangan, masih tingginya angka pengangguran dan kemiskinan di Indonesia ditenggarai merupakan tiga faktor utama yang telah mengakibatkan sekitar 38 juta anak balita menderita kekurangan gizi kronis, 9 juta anak mengalami tubuh pendek (stunting growth) (RISKESDAS, 2014), dan sekitar 43 persen dari total angkatan kerja (121 juta orang) hanya berpendidikan SD atau tidak lulus SD.  Selanjutnya, kondisi dan status gizi (kesehatan) rakyat Indonesia yang sangat memprihatinkan ini ditambah dengan kualitas sistem pendidikan dan RISTEK yang kurang baik telah menyebabkan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia), kapasitas inovasi, produktivitas tenaga kerja, daya saing dan IPM (Indeks Pembangunan Manusia)  yang rendah.

Berdasarkan hasil PISA (Program for International Student Assessment), yakni pengujian (test) tentang kemampuan membaca, ilmu pengetahuan alam, dan matematika terhadap siswa dengan umur rata-rata 15 tahun (kelas-3 SMP), Indonesia menempati peringkat-60 dari 64 negara yang disurvei.  Hasil test PIAAC (Programme for the International Assessment of Adult Competencies) terbaru, survei terhadap tingkat kecakapan orang dewasa yang dilakukan oleh OECD (Organization for Economic Cooperation and Dvelopment) menunjukkan hasil yang lebih menyedihkan.  Indonesia terpuruk di peringkat paling bawah pada hampir semua jenis kompetensi yang diperlukan orang dewasa untuk bekerja dan berkarya sebagai anggota masyarakat. Tiga jenis kompetensi yang diuji adalah kemampuan literasi, numerasi dan kemampuan pemecahan masalah. Skor kita juga terendah di hampir semua kategori umur.  Lebih dari separuh responden Indonesia mendapatkan skor kurang dari level 1 (kategori pencapaian paling bawah) dalam hal kemampuan literasi. Dengan kata lain, kita adalah negara dengan rasio orang dewasa berkemampuan membaca terburuk dari 34 negara OECD dan mitra OECD yang disurvei pada putaran ini (OECD, 2016).

Kapasitas inovasi bangsa Indonesia pun sangat memprihatinkan, hanya menempati peringkat ke-97 dari 141 negara yang disurvei (Cornel University, INSEAD, dan WIPO, 2015).  Peringkat pertama, kedua dan ketiga secara berurutan diraih oleh Swiss, Inggris dan Swedia.  Di tingkat ASEAN, Singapura menempati peringkat-7 dunia, disusul Malaysia ke-32, Thailand ke-55, Brunei Darussalam ke-60, dan Pilipina ke-83.  Pada 2013, produktivitas tenaga kerja Indonesia hanya setara dengan 9.500 dolar/tahun, lebih rendah ketimbang rata-rata produktivitas tenaga kerja di kawasan ASEAN sebesar 10.700 dolar AS/tahun. Singapura jauh di atas kita sebesar 92.000 dolar AS/tahun. Disusul oleh Malaysia sebesar 33.000 dolar AS/tahun dan Thailand sebesar 15.400 dolar AS/tahun (Asian Productivity Organization, 2013). Pada 2015 daya saing Indonesia menempati peringkat ke-34 dari 144 negara yang disurvei dan tahun ini justru merosot ke peringkat-41 (Global Competitiveness Report, 2015 dan 2016). Sebagai perbandingan, pada 2015 bangsa dengan daya saing tertinggi adalah Swiss.  Di tingkat ASEAN, daya saing Singapura berada pada peringkat-2 dunia.  Diikuti oleh Malaysia peringkat-20, Brunei Darussalam ke-29, Thailand ke-31.  Yang di bawah kita Indonesia adalah Pilipina ke -52, Vietnam ke-68, Laos ke-93, Kamboja ke-95, dan Myanmar ke-134. 

Muara (resultante) dari buruknya semua indikator kualitas SDM diatas adalah pada rendahnya IPM Indonesia dengan indeks hanya sebesar 0,684 yang menempati peringkat ke-110 dari 188 negara yang disurvei (UNDP, 2015). IPM mencerminkan kinerja (kemajuan) suatu negara-bangsa di bidang kesehatan, pendidikan dan ekonomi.  Di tingkat dunia, IPM tertinggi di dunia digapai oleh Norwegia, sedangkan peringkat-2 dan 3 diraih oleh Australia dan Swiss.  Pada tingkat ASEAN, juara satu adalah Singapura yang memiliki IPM peringkat-11 dunia.  Disusul oleh Brunei Darussalam peringkat-31, Malaysia ke-60, Thailand ke-91, Indonesia ke-110, Pilipina ke-115, Vietnam ke-117, Laos ke-141, Kamboja ke-144 dan Myanmar ke-148.

Dari segenap data indikator kualitas SDM dan ekonomi diatas sangat jelas, bahwa kemajuan dan kemakmuran suatu bangsa sangat bergantung pada kualitas SDM nya.  Dan salah satu faktor penentu kualitas SDM suatu bangsa adalah aspek gizi dan kesehatan rakyatnya. Yang sangat mencemaskan, sejumlah data diatas juga menunjukkan bahwa kondisi dan kualitas SDM kita sungguh-sungguh dalam keadaan bahaya.  Apabila status gizi/kesehatan, kinerja pendidikan dan RISTEK yang buruk ini tidak segera diperbaiki secara signifikan dan cepat, maka bonus demografi yang kita akan miliki pada 2020 – 2030 bukan akan menjadi modal dasar dan momentum bagi Indonesia untuk naik kelas, dari negara berkembang ke negara maju dan makmur. Sebaliknya, akan menjadi malapetaka demografi akibat semakin membludaknya angkatan kerja yang tidak mendapatkan pekerjaan yang produktif dan dengan pendapatan (income) yang mensejahterakan diri dan keluarganya.  Terlebih di era pasar tunggal/bebas ASEAN (MEA = Masyarakat Ekonomi ASEAN) dan rezim perdagangan bebas dunia (globalisasi), dimana kompetisi antar bangsa akan semakin sengit.

Oleh sebab itu, pembangunan SDM harus lebih diprioritaskan seiring dengan pembangunan ekonomi.  Dan salah satu aspek terpenting dalam pembangunan SDM berkualitas adalah pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi bagi seluruh rakyat Indonesia melalui pembangunan sektor pertanian dan sektor kelautan dan perikanan yang lebih produktif, efisien, berdaya saing, inklusif (berkeadilan) dan ramah lingkungan secara berkelanjutan.  Kedua sektor pembangunan yang bertanggung jawab bagi terwujudnya kedaulatan/ketahanan pangan Indonesia tersebut, saat ini juga menyediakan lapangan kerja bagi sekitar 36% dari total angkatan kerja; menyumbang sekitar 15,5% terhadap PDB nasional; menghasilkan devisa yang cukup signifikan terutama dari ekspor CPO (minyak sawit mentah), kakao, kopi, teh, karet, udang, ikan tuna, rumput laut, dan mutiara; dan menghasilkan multiplier effects (efek pengganda) ekonomi yang besar.

Dengan perkataan lain, membangun sistem industri perikanan yang berdaya saing dan berkelanjutan bukan hanya sangat penting bagi terwujudnya kedaulatan/ketahanan pangan dan kesehatan rakyat, tetapi juga bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa.

Potensi dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan

Berdasarkan pada cara produksinya, usaha perikanan dibedakan menjadi perikanan tangkap (capture fisheries) dan perikanan budidaya (aquculture).  Usaha perikanan tangkap bisa dilakukan di perairan laut maupun di Perairan Umum Darat (PUD) termasuk sungai, danau, bendungan (waduk) dan perairan rawa.  Sementara itu, usaha perikanan budidaya dapat dilakukan di perairan laut (marine culture), perairan payau atau tambak (coastal aquaculture), PUD, kolam air tawar, sawah (minapadi), saluran irigasi, akuarium dan di dalam wadah lainnya.  Potensi produksi lestari dan tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan Indonesia pada 2014 disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Potensi Produksi Lestari dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan

Sumber: Statistik Kelautan dan Perikanan 2015 diolah oleh RD Institute 2016

Sebagaimana tercantum pada Tabel 1, Indonesia memiliki total potensi produksi lestari (Maximum Sustainable Yield=MSY) sumber daya ikan (SDI) sebesar 68,53 juta ton/tahun, dimana 10,83 juta ton/tahun berasal dari potensi sumber daya ikan yang hidup secara alamiah (wild stock) di perairan laut dan PUD, dan 57,7 juta ton/tahun dari potensi perikanan budidaya di ketiga jenis ekosistem perairan.  Dengan total potensi produksi lestari SDI sebesar itu menempatkan Indonesia sebagai negara dengan potensi produksi ikan terbesar di dunia (FAO, 2016).  SDI yang hidup secara almiah di ekosistem perairan laut dan PUD dapat dimanfaatkan oleh manusia melalui usaha perikanan tangkap.

Perairan laut Indonesia memiliki MSY SDI sebesar 9,93 juta ton/tahun (KKP, 2016) atau sekitar 10% dari total MSY ikan laut dunia sebesar 95 juta ton/tahun (FAO, 2016).  Pada 2014 total produksi perikanan laut (tingkat pemanfaatan sumber daya ikan laut) sebesar 6,03 juta ton atau 60,72% MSY.  Menurut FAO (1995), tingkat pemanfaatan ikan yang lestari (sustainable) tidak boleh melebihi 80% MSY.   Dengan demikian, secara agregat nasional, kita masih bisa meningkatkan produksi ikan dari usaha perikanan tangkap di laut sebesar 19,28% x 9,93 juta ton/tahun = 1,91 juta ton/tahun.  Akan tetapi, tingkat pemanfaatan per jenis sumber daya ikan laut tidak sama antara satu wilayah perairan laut dengan yang lainnya.  Contohnya, hampir semua jenis stok ikan di perairan laut Pantura (Pantai Utara Jawa) di bawah 12 mil laut telah mengalamioverfishing, yang mana tingkat (laju) penangkapan lebih besar dari pada MSY nya.  Sebaliknya, di wilayah perairan seperti Teluk Tomini dan ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia) bagian Samudera Pacific maupun Samudera Hindia, banyak jenis stok ikannya masihunderfishing, dimana tingkat penangkapan lebih kecildibanding MSY nya. Potensi produksi lestari (MSY), tingkat pemanfaatan (produksi) sumber daya ikan dan jumlah kapal ikan yang beroperasi di sebelas WPP (Wilayah Pengelolaan Perikanan) disajikan pada Tabel 2. 

Tabel 2.Potensi Produksi Lestari (MSY), Produksi dan Tingkat Pemanfaatan SDI, serta Jumlah Kapal Ikan yang Beroperasi di Setiap WPP-RI

WPP

MSY (ton/thn)

Produksi (ton)

Tingkat Pemanfaatan (%)

Jumlah Kapal Ikan (unit)

WPP-571

484.414

489.920

101,13

40.937

WPP-572

1.228.601

602.148

49,01

41.452

WPP-573

929.330

459.749

49,47

76.393

WPP-711

1.143.341

665.754

58,22

73.683

WPP-712

981.680

1.081.178

110,13

86.369

WPP-713

1.026.599

750.377

73,09

108.106

WPP-714

431.069

604.515

140,23

70.391

WPP-715

631.703

482.035

76,30

48.223

WPP-716

478.765

327.364

68,37

34.870

WPP-717

603.688

262.752

43,52

18.928

WPP-718

1.992.730

413.118

20,73

27.346

Sebagai catatan, bahwa berdasarkan pada distribusi spasial (home range) stok ikan, kondisi dan dinamika oseanografinya, wilayah perairan laut Indonesia dibagi menjadi  sebelas WPP.  Sedangkan jenis-jenis ikannya dikelompokkan menjadi 9 kelompok jenis stok ikan: (1) pelagis besar (seperti ikan tuna, cakalang, bonito, dan layaran); (2) pelagis kecil (seperti kembung, layang, dan lemuru); (3) demersal (seperti ikan kakap,ikan kuwe dan ikan bawal); (4) ikan karang (seperti kerapu, napoleon, dan baronang); (5) udang Penaeid (seperti udang windu, udang jerbung, dan udang kerosok); (6) lobster; (7) kepiting; (8) rajungan; dan (9) cumi-cumi.  Potensi produksi lestari per kelompok jenis stok ikan di sebelas WPP Indonesia tercantum pada Tabel 3.

Tabel3.Potensi Produksi Lestari (MSY)dan Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan (JTB) pada Setiap Jenis Kelompok Ikandi Setiap WPP-RI

Selain perikanan tangkap dan perikanan budidaya, pemamfaatan sumberdaya perikanan untuk meningkatkan nilai tambah juga dapat dilakukan melalui pengembangan industri pengolahan hasil perikanan dan industri bioteknologi kelautan.

Industri pengolahan hasil perikanan merupakan proses industrialisasi dimana inputnya merupakan hasil perikanan dan diolah agar menjadi produk yang memiliki nilai tambah (valueadded) serta memiliki nilai ekonomi lebih tinggi sebagai outputnya. Proses industrialisasi tersebut sangat penting dilakukan agar menjadi upaya dalam memaksimalkan nilai tambah yang akan diperoleh sehingga menjadi efek pengganda ekonomi (multiplier effect) bagi pembangunan sektor perikanan di Indonesia.

Berdasarkan keberadaan industri perikanan saat ini di Indonesia dapat diklasifikasikan menjadi beberapa produk/industri utama antara lain:

1. Ikan hidup (life fish)

2. Produk Olahan

  • Segar dan atau segar beku
  • Beku (whole fish)
  • Fillet
  • Pengalengan
  • Pengasapan
  • Pengeringan dan atau pengasinan
  • Fermentasi
  • Perebusan (Pemindangan), dan
  • Produk bernilai tambah lainnya

3.  Produk Turunan

4.  Produk Non Pangan

Pada 2015, Unit Pengolahan Ikan mencapai  61.603 unit (718 unit berskala besar (1,17%) dan 60.885 unti berskala UMKM(98,83%)) yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia.

Gambar 1.  Sebaran Unit Pengolahan Ikan (UPI)

Unit pengolahan ikan (UPI) adalah tempat yang digunakan untuk mengolah ikan, baik yang dimiliki oleh perorangan, kelompok, maupun badan usaha. UPI dapat diklasifikan menjadi 2 yaitu UPI berdasarkan olahan dan UPI berdasarkan komoditas (Gambar 2 dan 3). Pada tahun 2015, unit pengolahan ikan berdasarkan olahan didominasi oleh jenis pengolahan beku yang mencapai 421 unit (59%) dengan kapasitas terpasang mencapai 1.572.515 ton/tahun. Sedangkan unit pengolahan ikan berdasarkan komoditas didominasi oleh komoditas tuna yang mencapai 149 unit (21%) dengan kapasitas terpasang 610.760 ton/tahun.

Gambar 2. Persentasae Jumlah UPI Berdasarkan Olahan

Tabel 4. Jumlah UPI dan Kapasitas Terpasang Berdasarkan Olahan

Jenis Pengolahan

Jumlah UPI (Unit)

Kapasitas Terpasang (Ton/Tahun)

Beku

421

       1.572.515

Segar

69

         166.732

Kaleng

64

         491.460

Asap

10

           31.268

Kering

58

           83.764

Surimi

14

           63.000

Reduksi

35

           90.480

Lainnya

47

           53.345

Total

718

       2.552.564

Gambar 3. Persentasae Jumlah UPI Berdasarkan Komoditas

Tabel 5.Jumlah UPI dan Kapasitas Terpasang Berdasarkan Komoditas

Komoditas

Jumlah UPI (Unit)

Kapasitas Terpasang (Ton/Tahun)

Tuna

149

                610.760

Cakalang

13

                151.368

Udang

112

                454.690

Rajungan/Kepiting

40

                  44.070

Ikan Demersal

108

                400.180

Ikan Pelagis

146

                590.780

Lainnya

150

                300.716

Adapun peran sentral dari industri pengolahan hasil perikanan dalam pembangunan nasional diantaranya adalah sebagai penyedia lapangan kerja, sumber peningkatan devisa negara, penyumbang PDB yang cukup signifikan, peningkatan kesehatan dan kecerdasan bangsa melalui peningkatan konsumsi protein dan kandungan bergizi dari ikan, penjaga lingkungan melaui konsep industri bersih strategi zero waste, serta berperan dalam pemerataan dan pendistribusian dari hasil produksi perikanan. Oleh karena itu industrialisasi pengolahan hasil perikanan harus menjadi prioritas kebijakan kemaritiman khususnya di sektor perikanan dalam penanganan dan pengembangannya.

Selain pembangunan industri perikanan, peningkatan nilai tambah sumberdaya perikanan juga dapat dilakukan dengan pemanfaatan bioteknologi kelautan. Bioteknologi kelautan adalah teknik penggunaan biota laut atau bagian dari biota laut (seperti sel atau enzim) untuk membuat atau memodifikasi produk, memperbaiki kualitas genetik, atau fenotip tumbuhan dan hewan, dan mengembangkan (merekayasa) organisme untuk keperluan tertentu, termasuk perbaikan lingkungan (Lundin and Zilinskas, 1995).

Secara garis besar industri bioteknologi kelautan meliputi tiga kelompok industri. Pertama adalah ekstraksi senyawa aktif (bioactive substances) atau bahan alami dari biota laut sebagai bahan dasar untuk industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetik, cat, perekat, film, kertas, dan berbagai industri lainnya. Kedua berupa rekayasa genetik (genetic engineering) terhadap spesies tumbuhan atau hewan untuk menghasilkan jenis tumbuhan atau hewan baru yang memiliki karakteristik genotip maupun fenotip yang jauh lebih baik dibanding spesies yang aslinya. Ketiga adalah dengan merekayasa genetik dari mikroorganisme (bakteri), sehingga mampu melumat bahan pencemar (pollutants) yang  mencemari suatu lingkungan perairan atau daratan (seperti tumpahan minyak/oil spills), sehingga lingkungan tersebut menjadi bersih, tidak lagi tercemar.

 

Kinerja, Permasalahan dan Tantangan Pembangunan Perikanan

Secara makroekonomi, kinerja pembangunan perikanan Indonesia termasuk salah satu yang terbaik di dunia.  Volume produksi perikanan meningkat dari tahun ke tahun. Sebelum berdirinya KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) pada awal masa pemerintahaan Kabinet Persatuan Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden KH. Abdurrahman Wahid, September 1999, Indonesia sebagai produsen perikanan terbesar ke-6 di dunia.  Pada 2004 predikat Indonesia meningkat menjadi produsen perikanan terbesar ke-4 di dunia, dan sejak 2012 hingga saat ini sebagai produsen perikanan terbesar ke-2 di dunia, hanya satu tingkat di bawah Tiongkok (FAO, 2016).  Kontribusi sektor perikanan terhadap perekonomian nasional (PDB) pun terus meningkat, dari 1,9%  PDB pada 1999 menjadi 4%  PDB pada 2014 (BPS, 2015).  Nilai ekspor juga terus meningkat, dari 1,5 milyar dolar AS pada 1999 menjadi 4,21 milyar AS pada 2014.   Demikian pula halnya dengan sumbangan sektor perikanan bagi PDB, dari hanya sekitar 2 persen pada 1999 menjadi 4,5 persen pada 2014.  Kontribusi sektor ini sebesar 4,5 persen itu hanya dari produk perikanan (seperti beragam jenis ikan, krustasea, moluska, mutiara, invertebrata, dan rumput laut) dalam keadaan mentah (bahan baku, raw materials).  Bila dihitung produk olahannya, seperti ikan kaleng, bandeng presto, tempura (breaded shrimps), dan produk berbasis surimi (seperti bakso ikan, crab sticks, dan chikita), maka kontribusi sektor perikanan bagi PDB sekitar 8 persen.  Sembilan indikator kinerja utama (key performance indicators) sektor kelautan dan perikanan (KKP) dari tahun 2011 – 2015 dapat dilihat pada Tabel 6.

Kendati demikian, masih banyak pekerjaan rumah (PR), masalah, dan tantangan yang masih harus diatasi, supaya sektor kelautan dan perikanan mampu melahirkan sebuah sistem industri perikanan nasional yang efisien, berdaya saing, berkeadilan, dan berkelanjutan.

Pekerjaan rumahpertamaadalah fakta, bahwa masih banyak nelayan (khususnya nelayan ABK), pembudidaya ikan, pengusaha pengolahan dan pedagang produk perikanan tradisional yang hidup belum sejahtera, alias hidup di bawah garis kemiskinan.  Penyebab pertama dan utama dari kemiskinan yang diderita oleh keempat kelompok masyarakat perikanan  ini adalah karena pendapatan (income) mereka lebih kecil atau sama dengan pengeluaran (expenditure) untuk membiayai kehidupan kesehariannya.  Menurut Bank Dunia dan UNDP (2010), bahwa seseorang dikategorikan hidup sejahtera, bila pengeluarannya sama dengan atau lebih besar dari 2 dolar AS (Rp 26.000, dengan nilai Rp 13.000 per 1 dolar AS) per hari.  Dengan asumsi ukuran rata-rata keluarga masyarakat perikanan itu 5 orang, dan yang bekerja hanya ayah (kepala keluarga), maka pendapatan seorang nelayan, pembudidaya ikan, atau kelompok masyarakat perikanan lainnya yang sejahtera adalah minimal sebesar 2 dolar AS/hari x 30 hari/bulan x 5 orang = 300 dolar AS /bulan atau sekitar Rp 4 juta/bulan.  Sampai sekarang, nelayan, pembudidaya ikan, pengolah dan pedagang ikan tradisional (UKM) yang pendapatannya kurang dari Rp 4 juta/bulan (miskin) diperkirakan sekitar 40 persen. Di sini perlu dicatat, bahwa hampir semua nelayan miskin adalah mereka yang profesinya sebagai ABK (Anak Buah Kapal) alias nelayan buruh.  Sedangkan, nelayan yang memiliki kapal ikan (juragan atau nelayan pengusaha) sebagian besar sudah hidup makmur, sejahtera, bahkan kaya raya.

Tabel 6. Pencapaian indikator kinerja utama sektor KP tahun 2011-2015

N0

Indikator Kinerja Utama

2011

2012

2013

2014

2015**)

1
Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Perikanan (%thn)

7,65

6,29

7,24

7,66

8,37

12
Produksi Perikanan (juta ton)

13,64

15,50

19,42

20,84

21,04

3
Perikanan Tangkap

5,71

5,83

6,12

6,48

6,52


Perikanan Budidaya

7,93

9,67

13,30

14,36

14,52


Garam rakyat

1,62

2,47

1,16

2,50

2,07

33
Nilai Tukar Nelayan/Pembudidaya Ikan

106,24

105,37

105,48

102,72

102,38

44
Tingkat konsumsi ikan dalam negeri (kg/kapita/thn)

32,25

33,89

35,21

38,14

41,11

55
Nilai ekspor komoditas perikanan (US$ miliar)

3,52

3,85

4,16

4,61

2,02

66
Jumlah kasus penolakan ekspor hasil perikanan per negara mitra (Kasus)

-

≤10

≤10

≤10


77
Luas Kawasan Konservasi Perairan (KKP) yang dikelola secara berkelanjutan (juta ha)

2,54

2,5

3,64

7,8

16,4

88
Jumlah pulau-pulau kecil, termasuk pulau-pulau terluar yang dikelola (pulau)

37

74

62

25

5

99
Wilayah Perairan bebas IUU Fishing dan Kegiatan yang merusak SDKP (%)

38

41

47,27

36,56

26,15

*) Angka Sementara (Sumber: KPDA 2015)

Selanjutnya, sampai sekarang pendapatan nelayan ABK itu kecil (rendah) disebabkan karena hasil tangkapan per satuan waktu (hari, bulan atau tahun) yang rendah akibat penggunaan teknologi penangkapan ikan (kapal ikan dan alat penangkapan ikan) yang masih tradisional (tidak modern), sehingga kurang produktif dan efisien.   Bayangkan, dari 626.698 unit armada kapal penangkap ikan yang dimiliki Indonesia, hanya 4.876 (0,8%) unit kapal penangkap ikan yang tergolong modern (ukuran > 30 GT) (lihat Tabel 5). Sebanyak 238.010 (37,8%) unit berupa kapal penangkap ikan dengan motor tempel (outboard motor), dan 165.006 unit (26,3%) berupa perahu kecil tanpa motor atau hanya dengan menggunakan dayung atau layar. Selain tekonologi penangkapan ikan tradisional, hasil tangkapan ikan per satuan upaya (kapal ikan) yang rendah juga bisa disebabkan karena stok ikan di wilayah perairan lautnya memang kecil (sedikit) atau kepadatannya rendah akibat musim paceklik (tidak ada atau sedikit ikan) atau sudahoverfishing(gejala penangkapan berlebihan).

Pendapatan nelayan yang rendah juga bisa disebabkan oleh harga jual yang rendah (murah), karena kualitas ikan hasil tangkapan yang buruk pada saat sampai di tempat pendaratan ikan (pelabuhan perikanan) akibat penanganan (handling) yang tidak benar (kurang baik) selama kapal ikan dalam perjalanan dari lokasi penangkapan di laut sampai di tempat pendaratan.  Kualitas ikan hasil tangkapan semakin memburuk, bila tempat pendaratan ikannya kotor, tidak memenuhi standar sanitasi dan higienis nasional apalagi internasional.  Hampir di seluruh daerah Indonesia, nelayan acap kali menghadapi kenyataan yang dilematis.  Pada saat tidak musim ikan (paceklik) atau karena nelayan tidak melaut akibat cuaca buruk, harga ikan di suatu daerah (kawasan pemukiman nelayan) tinggi (mahal).  Namun, ketika musim panen ikan (peak season), harga ikan di daerah tersebut mendadak jatuh (sangat murah).  Dalam khazanah ilmu ekonomi, fenomena ini dikenal sebagai ‘market glut’, karena volume pasok (supply) ikan di kawasan tersebut jauh melampaui kebutuhan (demand, pasar) setempat.  Jumlah pembeli di kawasan tersebut pun sangat terbatas,cold storagedan pabrik es sangat sedikit atau bahkan tidak ada, sehingga ikan yang melimpah tidak bisa disimpan atau diawetkan dalam waktu lama.  Pada umumnya nelayan menjual ikannya kepada pedagang perantara (middle man), tidak bisa menjual langsung kepada konsumen (pasar) terakhir (Gambar4). Artinya, harga jual ikan yang diterima oleh nelayan/pembudidaya ikan adalah harga yang terendah (termurah) dalam sistem rantai pasok perikanan.

Lebih dari itu, di seluruh dunia biasanya para nelayan mampu menangkap ikan di laut sekitar 8 sampai 10 bulan dalam setahun, karena cuaca buruk, musim paceklik ikan, atau kelelahan/jenuh di laut.  Malangnya, hingga saat ini selama berbulan-bulan nelayan menganggur, mereka tidak memiliki matapencaharian substitusi.  Implikasinya, selama tidak melaut itu para nelayan pada umumnya pinjam uang dari saudara, teman, atau rentenir (lintah darat) dengan bunga pinjaman yang seringkali sangat tinggi (> 3 persen per bulan).  Pada saat tidak melaut nelayan terjerat utang dari rentenir.  Ketika musim ikan, pendapatan yang tinggi harusnya bisa ditabung, terpaksa untuk bayar utang.  Kebanyakan nelayan ABK miskin, sedangkan pemilik kapal ikan (pengusaha) pada umumnya sangat sejahtera (kaya) bisa jadi akibat sistem bagi hasil (keuntungan) yang kurang adil.  Para nelayan ABK biasanya mendapatkan bagian keuntungan yang lebih sedikit (tidak proporsional) ketimbang para pemilik kapal ikan.

Tabel 7.Jumlah Kapal Penangkap Ikan Menurut Ukuran dan Keberadaan Mesin Pada 2014

Kategoriperahu/kapal

Ukuran Kapal

Wilayah Pengolahan Perikanan (WPP)

Sub

Jumlah

571

572

753

711

712

713

714

715

716

717

718


  Jumlah

40.937

41.452

76.393

73.683

86.369

108.106

70.391

48.223

34.870

18.928

27.346

626.698

Perahu
Tanpa Motor
 Sub Jumlah

6.258

9.947

16.073

18.099

3.743

18.718

35.082

21.777

9.312

10.673

15.384

165.066

 Jukung

706

1.580

10.879

1.276

372

6.235

18.385

8.858

2.664

4.553

10.723

66.231

Perahu Papan
 Kecil

2.272

4.132

3.164

4.818

1.846

6.138

8.807

6.540

3.946

3.672

3.437

48.777

Sedang

2.679

2.765

1.625

10.800

1.262

4.375

5.338

5.132

2.122

1.724

991

28.813

Besar

601

1.470

405

1.205

263

1.970

2.552

1.247

580

724

233

11.250

Motor Tempel

4.825

18.783

42.380

12.242

41.874

40.140

26.701

21.558

15.798

7.216

6.493

238.010

Kapal Motor

Sub Jumlah

29.854

12.722

17.940

43.342

40.752

49.248

8.608

4.888

9.760

1.039

5.469

Ukuran kapal motor

< 5 GT

23.099

7.609

9.840

34.686

24.976

36.089

4.937

2.390

6.990

370

2.507


5-10 GT

4.675

3.038

3.921

5.531

8.632

9.076

1.836

1.103

1.994

287

1.281


10-20 GT

1.103

884

1.837

1.202

4.283

2.556

619

606

433

203

575


20-30 GT

847

634

1.533

751

2.468

1.088

1.161

452

200

71

373


30-50 GT

24

49

95

468

82

100

21

195

79

14

180

1.307

50-100 GT

56

265

333

613

290

316

32

136

43

60

150

2.294

100 -200 GT

50

236

374

86

21

23

2

6

14

22

247

1.081

200-300 GT

-

3

3

5

-

-

-

-

2

5

85

103

300-500 GT

-

-

-

-

-

-

-

-

3

4

65

72

500-1000 GT

-

4

4

-

-

-

-

-

2

3

6

19

Penyebab berikutnya dari kemiskinan nelayan adalah tingginya biaya melaut untuk menangkap ikan, dan biaya hidup bagi nelayan serta keluarganya.  Biaya melaut mahal akibat tingginya harga sarana produksi, seperti kapal penangkap ikan, mesin kapal beserta berbagai komponen suku cadangya, jaring dan alat penangkap ikan lainnya, BBM, beras, dan barang perbekalan untuk melaut lainnya.  Seperti halnya ketika nelayan menjual ikan hasil tangkapannya, pada saat nelayan membeli sejumlah sarana produksi tersebut juga harganya lebih mahal ketimbang harga di tingkat pabrik, karena biasanya nelayan membeli semua sarana produksi tersebut melalui lebih dari satu pedagang perantara (Gambar4). Semakin jauh lokasi pemukiman nelayan dari lokasi pabrik (produsen) sarana produksi, makan semakin mahal harganya. 

Pada umumnya pengeluaran (biaya hidup) nelayan itu lebih besar dari pada petani.  Hal ini disebabkan, karena lokasi pemukiman nelayan biasanya jauh dari pusat perkotaan, dimana sejumlah sembilan bahan pokok dan bahan-bahan kebutuhan manusia lainnya diproduksi.  Sehingga, nelayan biasanya mendapatkan sejumlah bahan untuk kehidupan itu lebih mahal.  Kawasan pemukiman dan rumah nelayan yang pada umumnya kurang higienis, bersih, dan sehat juga mengakibatkan nelayan dan keluarganya lebih sering terkena penyakit, terutama penyakit kulit, diare (water-borne diseases), dan pernafasan.  Akibatnya, nelayan lebih banyak mengeluarkan biaya untuk pengobatan ketimbang petani dan masyarakat kecil lainnya.  Nelayan juga pada umumnya memilki pola hidup yang lebih konsumtif ketimbang petani. Nelayan banyak yang mengelola keuangan keluarganya secara ‘lebih besar pasak dari pada tihang’.  Mereka masih belum memiliki budaya menabung yang kuat.

Keduaadalah masalah paraktek penangkapan ikan secara ilegal, tidak menurut aturan, dan tidak dilaporkan (Illegal, Unregulated, and Unreported Fishing Practices) yang selain telah merugikan negara sekitar 2 sampai 20 milyar dolar AS/tahun, juga mengancam kelestarian (sustainability) sumber daya ikan dan merugikan para nelayan nasional.  Pasalnya, sebagian besar kegiatanIUU fishingitu dilakukan oleh armada kapal ikan asing yang beroperasi di wilayah perairan laut perbatasan, ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia), dan wliayah laut Indonesia yang kaya SDI yang tidak ada nelayan Indonesia nya.IUU fishingjuga dilakukan oleh para nelayan Indonesia sendiri, meskipun jumlah dan skalanya tidak sebesar oleh para nelayan asing. PenyebabIUU fishingadalah tidak ada atau sedikitnya armada kapal ikan nasional yang mampu beroperasi di wilayah-wilayah perairan laut Indonesia yang selama ini menjadi arenaIUU fishingoleh nelayan asing. Selain itu, juga akibat dari keterbatasan prasarana dan sarana pengawasan (hankam) di laut, biaya operasi pengawasan dan penegakkan hukum yang tidak mencukupi, dan mentalitas aparat pengawasan dan penegak hukum yang kurang baik.

Ketiga, gejalaoverfishing(penangkapan ikan secara berlebihan) beberapa jenis stok ikan di sejumlah wilayah peraian laut Indonesia dan kepunahan jenis beberapa jenis ikan dan biota laut lainnya seperti ikan terubuk di perairan Selat Malaka dan ikan terbang di perairan selatan Sulawesi.  Permasalahan ini muncul akibat laju penangkapan ikan  di suatu wilayah perairan lebih besar dari pada potensi produksi lestari (MSY) SDI nya, dan penggunaan teknik penangkapan ikan yang merusak lingkungan (destructive fishing).  Hal ini terjadi karena kurangnya kesadaran para pengusaha perikanan (pemilik kapal ikan) dan nelayan tentang bahaya (kerugian) darioverfishingdan penggunaan teknologi penangkapan ikan yang merusak lingkungan, bukan hanya bagi kelestarian SDI; tetapi juga bagi keuntungan usaha (pendapatan) mereka dan keberlanjutan usaha perikanan tangkap itu sendiri. Selain itu, para nelayan menggunakan teknologi penangkapan ikan yang dapat  merusak lingkungan (seperti pukat harimau, cantrang, dan penggunaan bahan peledak serta racun pembius ikan) itu karena didorong keinginan untuk mendapatkan ikan hasil tangkapan yang lebih besar untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Sementara, pemerintah tidak memberikan alternatif teknologi penangkapan yang produktif, efisien, dan sekaligus ramah lingkungan.  Atau, para nelayan tidak punya pilihan untuk bekerja di sektor lain dengan pendapatan (income) yang bisa membuat mereka sejahtera. Dan, lemahnya penegakkan hukum (law enforcement) terhadap nelayan dan pengusaha yang melanggar tata kelola perikanan tangkap yang bertanggung jawab (responsible fisheries) juga turut berkontribusi terhadap masalahoverfishingdan kepunahan jenis biota laut.

Gambar4.Posisi Nelayan dalam Sistem Tata Niaga (Sistem Rantai Pasok) Perikanan Tangkap

Keempat, pencemaran perairan dan perusakan ekosistem pesisir (seperti mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan estuaria), khususnya di daerah-daerah yang padat penduduk dan/atau tinggi intensitas pembangunan (industrialisasi) nya, seperti di sekitar Medan, Batam, sebagian besar Pantura, pantai Selatan P. Sulawesi, dan muara Sungai Aijkwa di Papua yang menerima buangan tailing (limbah pasir sisa) dari pertambangan tembaga dan emas PT. Freeport.  Pencermaran laut dan kerusakan ekosistem pesisir dapat mengakibatkan perkembangbiakan dan pertumbuhan ikan serta bitoa laut lainnya terhambat, bahkan kematian.  Pencemaran perairan laut olehB3(Bahan Berbahaya Beracun) seperti logam berat dan pestisida selain bisa mematikan ikan serta biota laut lainnya, juga membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsinya.

Kelima, seperti tercermin pada Tabel 1 diatas, bahwa secara kapasitas produksi, sampai sekarang tingkat pemanfaatan (produksi) perikanan budidaya (aquaculture) masih belum optimal, budidaya laut baru 21,5% dari total potensi produksinya, budidaya perairan payau (tambak) baru 24,2 persen, dan budidaya di PUD baru 50,87 persen. Demikian juga halnya dari segi potensi luas lahan budidaya, tingkat pemanfaatannya masih sangat rendah, dibawah 10 persen, kecuali untuk budidaya di kolam air tawar dan tambak  (lihat Tabel 8).  Di negara berkembang yang jumlah pengangguran dan penduduk miskinnya masih sangat besar seperti Indonesia, dan semangat Presiden RI serta segenap rakyat Indonesia untuk menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, rendahnya pendayagunaan potensi ekonomi perikanan budidaya semacam ini tentu merupakan kemubaziran dan sangat memprihatinkan.

Tabel 8.Potensi Luas Lahan Perikanan Budidaya dan Tingkat Pemanfaatannya

No

Jenis Budidaya

(ha)

Potensi

(ha)

Pemanfaatan

(ha)

Persentase Pemanfaatan (%)

Peluang Pengembangan (ha)

1

Tambak

2.964.331

667.083

22,50

2.297.248

2

Kolam

541.100

161.387

29,82

379.713

3

Perairan Umum

158.125

1.707

1,07

156,418

4

Mina Padi

1.536.289

142.122

9,25

1.394.167

5

Laut

24.000.000

281.474

1,17

23.718.526

Keenam, meskipun sejak 2012 Indonesia menjadi produsen akuakultur terbesar kedua di dunia (hanya kalah dari Tiongkok), namun produktivitas, efisiensi, daya saing, dan keberlanjutan (sustainability) usaha perikanan budidaya di Indonesia pada umumnya masih lebih rendah dari pada negara-negara produsen akuakultur utama lainnya, seperti Malaysia, Thailand, Tiongkok, dan Vietnam.  Banyak faktor penyebabnya, dan yang utama adalah karena kebanyakan (sekitar 70 persen) usaha perikanan budidaya masih dilakukan secara tradisional, belum menggunakan teknologi mutakhir (state of the art technology) secara tepat dan benar. Kebanyakan pembudidaya perikanan belum menerapkan cara-cara pembudidayaan ikan yang terbaik (Best Aquaclture Practices) yang meliputi: (1) pemilihan lokasi usaha budidaya yang tepat; (2) penggunaan benih unggul (bebas penyakit, tahan terhadap serangan penyakit, dan cepat tumbuh); (3) pemberian pakan berkualitas secara tepat dan benar; (4) pengendalian hama dan penyakit; (5) manajemen kualitas tanah dan air; (6) susunan tata letak (layout) media (kolam) budidaya dan teknik perkolaman (pond engineering); dan (7) keamanan hayati (biosecurity). Terbatasnya ketersediaan pakan berkualitas dan benih unggul serta mahalnya kedua jenis sarana produksi ini juga secara signifikan turut menyebabkan rendahnya efsiensi, produktivitas, daya saing, dan keberlanjutan usaha perikanan budidaya di Indonesia. Permasalahan pakan dan benih ini semakin parah terjadi di daerah-daerah di luar Jawa, karena di luar Jawa masih sedikit memiliki pabrik pakan dan pembenihan (hatchery).

Ketujuh, infrastruktur seperti jaringan irigasi tambak, listrik, jalan, telekomunikasi, air bersih, pelabuhan, bandara, dan logistik yang mendukung efisiensi dan produktivitas sistem rantai pasok (supply chain system) industri dan bisnis perikanan budidaya pun masih kurang memadai. 

Kedelapan, seperti halnya di sektor perikanan tangkap, belum ada jaminan pasar bagi komoditas hasil pembudidaya, sehingga harganya sangat fluktuatif dan acap kali lebih rendah ketimbang biaya produksi yang membuat para pembudidaya merugi.

Kesembilan, meskipun Indonesia merupakan negara produsen perikanan terbesar kedua di dunia dan daya saing produk perikanannya menempati peringkat-5 terbaik di dunia (lihat Tabel 9), tetapi pada tahun 2010 Indonesia hanya menempati peringkat-12 dalam hal perolehan devisa (nilai ekspor) perikanannya (Tabel 8).  Dengan peningkatan nilai ekspor menjadi 4,16 milyar dolar AS pada 2013 (lihat Tabel 4 diatas), sejak tahun 2013 besaran nilai ekspor perikanan Indonesia menempati peringkat-10 di dunia.

Tabel 9.Competitiveness Of Country’s Fishery Products In The EuMarket  (Case Of Rejection And Food Product Per State Fishery Exporter) In 2013

No

Country

Numbe Of Cases

Food & Feed

Fishery Products

1.

Spain

199

128

2.

Vietnam

76

48

3.

France

131

27

4.

China

436

23

5.

Maroco

60

22

6.

Turkey

232

21

7.

Italy

112

16

8.

India

261

15

9.

Usa

107

13

10.

Mozambique

14

13

11.

Netherland

179

13

12.

Denmark

34

11

13.

Tunis

11

10

14.

Poland

175

9

15.

Ireland

28

9

16.

Sweden

65

8

17.

Ecuador

7

7

18.

Greece

22

7

19.

Argentina

76

7

20.

Thailand

88

6

21.

Srilanka

23

6

22.

Indonesia

17

5

23.

Papua New Guinea

5

4

24.

Ghana

17

4

25.

Faroe Islands

3

3

26.

Cote' D'ivoire

3

3

27.

Uganda

4

2

28.

Japan

9

2

29.

Albania

2

1

Source : RASFF Portal EU(2013)

Tabel 10.Nilai Ekspor Perikanan Indonesia di Tingkat Global (FAO, 2010)

Kesepuluh, masih terjadi ketidak-sinkronan (mismatch) antara produsen (nelayan dan pembudidaya) dengan industri (pabrik) pengolahan hasil perikanan.  Maksudnya, para produsen di suatu daerah seringkali tidak bisa menjual ikan dan komoditas perikanan lainnya. Pada saat yang sama, pihak industri baik di daerah tersebut, apalagi di daerah lainnya mengeluhkan tentang sedikitnya atau ketiadaan bahan baku. Hal ini terutama disebabkan karena buruknya sistem transportasi dan logistik perikanan, dari sentra kawasan penangkapan ikan dan kawasan usaha akuakultur ke kawasan industri pengolahan hasil perikanan.  Dalam beberapa kasus, juga karena ulah dari mafia importir perikanan yang hanya mengejar keuntungan bagi diri atauu perusahaan nya (rent-seeking behaviour) tanpa mengindahkan kepentingan kedaulatan perikanan nasional.

Kesebelas, dibandingakan dengan negara-negara perikanan lainnya (Malaysia, Thailand, Vietnam, Pilipina, Korea Selatan, Jepang, dan Tiongkok), suku bunga bank di Indonesia terlalu tinggi, sekitar 12 persen.  Padahal, di semua negara tersebut suku bunga bank nya di bawah 5 persen.  Selain itu, pihak perbankan masih memandang usaha perikanan tangkap dan perikanan budidaya berisiko tinggi (high risk) dan profitnya kecil (low and slow yielding), sehingga sampai sekarang kredit perbankan yang dialokasikan masih sangat kecil, sekitar 0,29 % dari total alokasi dana kredit perbankan pada 2104 (Bank Indonesia, 2014).

Keduabelas, dengan kebijakan KKP yang ekstra ketat (deep environmentalism) dan memandang semua pengusaha perikanan jahat, maka iklim investasi dan kemudahaan berbisnis perikanan Indonesia menjadi sangat tidak kondusif.  Banyak pengusaha perikanan tangkap, perikanan budidaya, dan industri pengolahan perikanan bangrkut dan gulung tikar, karena kelangkaan bahan baku.  Belum lagi buruknya iklim inevestasi dan kemudahan berbisnis yang merupakan warisan buruknya kinerja birokrasi di daerah maupun pusat. Ketigabelas, masih terbatasnya jumlah SDM berkualitas dan lemahnya sistemR & D(penelitian dan pengembangan). Keempatbelas, lemahnya mitigasi dan adaptasi terhadap Perubahan Iklim Global, tsunami, dan bencana alam lainnya. Kelimabelas, kebijakan fiskal dan moneter serta politik-ekonomi lain yang belum kondusif bagi sektor-sektor kelautan (maritim).

IV. Strategi Pembangunan Industri Perikanan Yang Berdaya Saing, Berkeadilan dan Berkelanjutan

Berdasarkan pada potensi perikanan, kinerja pembangunan perikanan, permasalahan dan tantangan, dan dinamika global seperti diuraikan diatas, sejatinya Indonesia memiliki peluang untuk membangun industri perikanan yang berdaya saing secara berkelanjutan.  Untuk dapat mewujudkannya, maka kita harus memahami secara benar, apa itu yang dimaksud dengan industri perikanan yang berdaya saing dan berkelanjutan.

Sistem industri perikanan yang berdaya saing dan berkelanjutan adalah sosok sistem industri perikanan yang dapat: (1) menghasilkan komoditas dan produk olahan perikanan yang kompetitif untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun ekspor; (2) memberikan keuntungan yang mensejahterakan seluruh pelaku usaha dalam sistem rantai pasok perikanan (nelayan, pembudidaya, pengolah hasil perikanan, pedagang, dan lainnya) secara berkeadilan; dan (3) ramah lingkungan secara berkelanjutan (sustainable).  Dalam hal ini, yang dimaksud dengan komoditas dan produk olahan perikanan yang kompetitif adalah yang kualitasnya paling baik (top quality), harga jualnya relatif murah, dan volume pasoknya dapat memenuhi kebutuhan serta selera (preference) konsumen (pasar) baik domestik maupun ekspor (pasar global).  Dan, yang dimaksud dengan nelayan, pembudidaya, dan anggota masyarakat perikanan lain sejahtera adalah mereka yang pendapatannya minimal 300 dolar AS (Rp 4 juta)/orang/bulan. 

Harus pula dicatat, bahwa menurut UU No. 31/2004 Jo UU No. 45/2009 tentang Perikanan, bahwa komoditas (bahan baku untuk industri pengolahan perikanan) itu bisa dihasilkan melalui bukan hanya usaha perikanan tangkap dan perikanan budidaya, tetapi juga melalui ekstraksi senyawa bioaktif (bioactive compounds) dari biota perairan sebagai bahan baku (raw materials) untuk industri farmasi, kosmetik, makanan dan minuman sehat (nutreseutikal),biofueldari algae laut, dan beragam jenis industri lainnya.  Usaha perikanan juga bisa menghasilkan perhiasan, seperti mutiara dari berbagai jenis kerang mutiara.

Untuk dapat membangun sistem industri perikanan yang berdaya saing dan berkelanjutan seperti dideskripsikan diatas, maka kita perlu mengimplementasikan kebijakan dan program pembangunan jangka panjang dan jangka pendek. Yang dimaksud dengan kebijakan dan program jangka panjang adalah sejumlah kebijakan dan program yang dilaksanakan mulai sekarang juga, tetapi hasilnya baru bisa kita rasakan setelah lima tahun atau lebih.  Sedangkan, kebijakan dan program jangka pendek adalah yang dilaksanakan sekarang, dan hasilnya dapat kita nikmati dalam satu tahun atau kurang dari lima tahun setelah pelaksanaan program.

4.1. Kebijakan dan Program Jangka Panjang

Dalam jangka panjang, pembangunan sistem industri perikanan yang berdaya saing dan berkelanjutan harus berdasarkan pada lima prinsip utama sebagai berikut.

Pertama, untuk jenis-jenis ikan, biota perairan lain, dan senyawa bioaktif yang bisa dihasilkan (diproduksi) di dalam negeri dengan potensi volume produksi lebih besar atau sama dengan kebutuhan nasional (baik untuk konsumsi langsung maupun untuk bahan baku industri pengolahan dan industri bioteknologi), maka tidak boleh mengimpor jenis-jenis tersebut.  Hal ini dimaksudkan supaya kita bangsa Indonesia bisa berdaulat dalam hal perikanan, tidak bergantung pada bangsa lain. Lebih dari itu, kita pun tidak mengamburkan devisa. Sebaliknya, kita dapat menyediakan kesempatan kerja lebih besar, mendapatkan nilai tambah, dan efek pengganda (multiplier effects) ekonomi yang lebih luas. 

Dengan demikian, jenis-jenis komoditas dan produk perikanan yang boleh diimpor adalah yang dibutuhkan bangsa Indonesia, tetapi tidak bisa diproduksi di dalam negeri (seperti ikan salmon, kepiting laut dalam dari Alaska, dan ikan sasamo dari Jepang) atau bisa diproduksi di dalam negeri, namun kebutuhan nasional lebih besar ketimbang kapasitas produksi di dalam negeri (seperti tepung ikan dan bahan baku untuk industri ikan pindang).

Sebagai catatan, bahwa pada saat ini tingkat konsumsi ikan penduduk Indonesia sebesar 38 kg/kapita/tahun.  Dengan jumlah penduduk 255 juta jiwa, maka kebutuhan  (demand) konsumsi ikan nasional saat ini sebesar 10 juta ton/tahun.  Menurut BPS (2015), jumlah penduduk Indonesia pada 2045 sekitar 320 juta jiwa. Dengan tingkat konsumsi ikan ideal sekitar 50 kg/kapita/tahun, maka kebutuhan konsumsi ikan nasional pada saat itu sekitar 17 juta ton/tahun.  Mengingat total potensi produksi lestari perikanan nasional sekitar 68,5 juta ton/tahun (lihat Tabel 1 diatas), maka mestinya sampai NKRI berumur 100 tahun (2045) kita tidak perlu mengimpor komoditas perikanan.

Kedua, bahwa semua upaya peningkatan volume produksi dan industri pengolahan hasil perikanan dan bioteknologi perairan harus mampu menjamin, bahwa seluruh pelaku usaha dalam sistem rantai pasok perikanan (nelayan, pembudidaya, pengolah hasil perikanan, dan pedagang/traders) itu harus sejahtera, dengan pendapatan (income) minimal 300 dolar AS/orang/bulan.  Sebab, hanya dengan pelaku usaha yang sehat, cerdas, dan sejahtera, sistem industri perikanan yang berdaya saing dan berkelanjutan dapat diwujudkan.  Kita mesti mengambil pelajaran dari plus-minus kisah sukses (success story) program BIMAS di akhir 1960-an hingga 1980-an.  BIMAS memang berhasil melipatgandakan produksi beras secara fenomenal. Sehingga, yang sebelumnya Indonesia sebagai bangsa pengimpor beras terbesar di dunia, maka sejak 1984 Indonesia mampu berswasembada, bahkan pengekspor beras ke beberapa negara Afrika dan Asia Selatan.  Akan tetapi, karena mayoritas petaninya tetap miskin, maka mulai 1995 Indonesia kembali menjadi bangsa pengimpor beras.  Selain itu, penggunaan pupuk inorganik dan pestisida secara berlebihan (excessive) juga mengakibatkan kerusakan lingkungan yang cukup parah, dan membuat produktivitas lahan sawah, khususnya di P. Jawa, menurun dari waktu ke waktu. 

Pelajaran berharga lainnya dari kisah sukses program BIMAS dan upaya kita untuk berdaulat di bidang pangan (terutama beras) adalah bahwa perlu adanya pembatasan tingkat konsumsi suatu komoditas pangan, tidak boleh berlebihan, apalagi ‘jor-joran’.  Betapa tidak, tingkat konsumsi beras bangsa Indonesia adalah yang terbesar di dunia, sekitar 140 kg/kapita yang jauh melampui rata-rata konsumsi beras dunia (50 kg/kapita), dan melebihi tingkat konsumsi beras ideal (pola pangan harapan) untuk rakyat Indonesia yang sebesar 60 kg/kapita (Puslitbang Gizi, 1996).  Tidak mengherankan, bila prevelansi (penderita) penyakit gula (diabetes) tertinggi di dunia adalah rakyat Indonesia.  Selain itu, fakta empiris secara kasat mata juga menunjukkan, bahwa kegagalan kita untuk berdaulat di komoditas pangan yang potensi volume produksi (supply capacity) nya lebih besar dari pada kebutuhan nasional (national demand) nya (seperti beras, jagung, gula, dan garam) adalah karena ulah (keserakahan) para mafia importir komoditas dan buruknya sistem transportasi, logistik, dan distribusi pangan nasional.

Ketiga, bahwa untuk menjamin keberlanjutan (sustainability) sistem industri perikanan nasional, maka laju penangkapan suatu jenis stok ikan di suatu wilayah perairan laut maupun PUD (Perairan Umum Darat) tidak boleh melampaui protensi produksi lestari (MSY=Maximum Sustainable Yield) nya.  Selain itu, tingkat produksi usaha perikanan budidaya (seperti budidaya tambak udang, ikan kerapu, kakap, rumput laut, nila, patin, dan lele) di suatu kawasan (wilayah) tidak boleh melampaui daya dukung lingkungan (environmental carrying capacity) dari wilayah tersebut.  Demikian juga halnya dengan padat penebaran benih (benur) atau produktivitas budidaya (aquaculture) di suatu unit kolam, KJA (Karamba Jaring Apung), dan wadah (media) budidaya lainnya jangan melampaui daya dukung lingkungan dari unit wadah budidaya tersebut.  Dalam bahasa Ekonomi Biru (Blue Economy) nya “ ...Do not demand more of the Earth, but do more with what the Earth provides(Jangan menangkap ikan melebihi MSY nya, dan jangan memproduksi melebihi daya dukung lingkungan suatu unit sistem usaha budidaya, tetapi buatlah nilai tambah dari bahan baku/komoditas yang kita peroleh dari hasil usaha penangkapan ikan dan usaha budidaya) (Pauli, 2010).

Keempat, setiap unit usaha perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pengolahan hasil perikanan, dan industri bioteknologi perairan harus memenuhi skala ekonomi (economy of scale) nya.  Dalam hal ini, yang dimaksud dengan skala ekonomi adalah ukuran (size) dari suatu usaha (bisnis) perikanan, yang dengan penggunaan teknologi tertentu, dapat menghasilkan keuntungan bersih (net profit)  minimal 300 dolar AS/orang/bulan bagi setiap pelaku usaha dan/atau karyawan (pekerja) yang terlibat dalam sistem usaha tersebut.

Kelima, seluruh usaha perikanan harus menerapkan Sistem Rantai Pasok (Supply Chain System) secara terpadu yang mencakup sub-sistem pra produksi (backward-linkage industry), sub-sistem produksi (budidaya dan penangkapan), sub-sistem industri pengolahan, dan sub-sistem pemasaran.  Yang dimaksud terpadu di sini adalah, bahwa tingkat dan besaran produksi yang dihasilkan oleh sub-sistem produksi di setiap wilayah harus ditentukan berdasarkan pada permintaan (demand) untuk konsumen (pasar) di dalam wilayah tersebut (lokal), konsumen (pasar) nasional, dan pasar ekspor (internasional).  Kapasitas industri pengolahan di suatu wilayah tentunya ditentukan berdasarkan pada produksi komoditas (bahan baku) perikanan yang diproduksi untuk memenuhi total kebutuhan pasar lokal, nasional, dan global.  Akhirnya, jenis dan kuantitas sarana paroduksi (production inputs) seperti benih, benur, pakan, kapal ikan dan suku cadangnya, alat tangkap, dan BBM yang harus diproduksi oleh sub-sistem pra produksi harus disesuaikan dengan yang dibutuhkan oleh sub-sistem produksi.  Dengan demikian, stabilitas dan keberlanjutan Sistem Rantai Pasok akan terjamin; dan muara (hasil akhir) nya adalah terwudnya sistem industri perikanan yang berdaya saing dan berkelanjutan. 

A.  Perikanan Tangkap

Optimalisasi Pemanfaatan SDI Sesuai Potensi Produksi Lestarinya di Setiap WPP

Untuk menjamin kelestarian stok ikan dan usaha perikanan tangkap di laut, maka total upaya tangkap atau fishing effort (jumlah kapal ikan dan jumlah nelayan) di wilayah-wilayah perairan laut yang telah overfishingakan dikurangi hingga mencapai 85% dari MSY nya.  Selanjutnya, kelebihan nelayan dari wilayah overfishing, sebagian akan dialihkan ke wilayah-wilayah perairan laut yang masih underfishing.  Program ini akan menghasilkan keuntungan ganda (double benefits). Di satu sisi akan membuat stok ikan di wilayah laut yang overfishing pulih kembali, dan di sisi lain akan mengoptimalkan pemanfaatan stok ikan di wilayah-wilayah laut underfishing yang selama ini banyak dijarah oleh armada perikanan asing.

Sebagian nelayan dari daerah overfishingjuga akan diberikan pendidikan, pelatihan, modal, dan pendampingan untuk beralih matapencaharian ke perikanan budidaya (di laut, tambak, atau perairan tawar); industri penanganan dan pengolahan hasil perikanan; perdagangan produk perikanan; dan industri dan jasa penunjang perikanan.

Berdasarkan pada status tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di setiap WPP laut Indonesia (Bab II), program pengembangan perikanan dengan menambahkan armada perikanan nasional dapat dilakukan di tujuh wilayah pengelolaan perikanan (WPP) yaitu di Laut Cina Selatan, Selat Makasar dan Laut Flores, Laut Banda, Teluk Tomini dan Laut Maluku, Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik, Laut Arafura, dan Samudera Hindia.  Sementara itu, wilayah-wilayah perairan laut yang jumlah kapal ikan dan nelayan nya harus dikurangi adalah yang telah overfishing, seperti beberapa kawasan di Selat Malaka, sepanjang Pantura, Selat Bali, dan Pantai Selatan Sulawesi.

2.     Pemberantasan IUU Fishing

Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, bahwa praktik perikanan ilegal, tidak mengikuti peraturan, dan tidak dilaporkan (Illegal, Unregulated, and Unreported Fishing practices) sangat merugikan bangsa Indonesia. Kerugian itu bukan hanya berupa kehilangan pendapatan negara yang mencapai Rp 30 triliun per tahun (DKP, 2009), tetapi juga hilangnya peluang 1 juta ton ikan setiap tahunnya yang harusnya ditangkap (dipanen) oleh nelayan Indonesia, malah dicuri oleh nelayan asing.  Karena ikan hasil curian oleh nelayan asing itu tidak didaratkan dan diolah di Indonesia, maka IUU fishing melumpuhkan industri pengolahan hasil perikanan nasional yang banyak menghasilkan nilai tambah, menciptakan lapangan kerja, dan membangkitkan multiplier effects.

Oleh sebab itu, IUU fishing oleh nelayan asing harus ditumpas paling lambat pada 2019.  Target ini akan kita capai dengan: (1) memberhentikan pemberian izin kepada pihak asing; (2) menindak tegas, keras, dan tidak pandang bulu terhadap nelayan (kapal ikan) asing yang beroperasi di seluruh wilayah laut Indonesia termasuk ZEEI serta pejabat dan pengusaha nasional yang memfasilitasi pihak asing itu; dan (3) meningkatkan kapasitas teknologi dan manajemen para nelayan dan pengusaha perikanan nasional supaya mampu beroperasi dan menangkap ikan di wilayah-wilayah laut yang selama ini dijarah oleh nelayan (kapal ikan) asing.

3.    Modernisasi Teknologi Penangkapan Ikan Nelayan Nasional

Bersamaan dengan program-1 dan program-2 diatas, kita harus pula meningkatkan kapasitas teknologi dan manajemen nelayan dan pengusaha perikanan nasional melalui modernisasi teknologi penangkapan ikan mereka.  Falsafah dan tujuan modernisasi di sini adalah agar para nelayan Indonesia mampu menangkap ikan secara efisien dan ramah lingkungan, menyimpan dan mengani (handling) ikan hasil tangkapannya di dalam kapal dengan baik, sehingga ikan atau biota perairan lainnya dapat didaratkan dengan kualitas prima dan mendapatkan harga jual yang menguntungkan mereka.  Dengan demikian, maka usaha perikanan tangkap akan mensejahterakan seluruh nelayan dan menjaga kelestarian stok ikan beserta ekosistemnya sepanjang masa (on a sustainable manner).

Atas dasar pengertian modernisasi tersebut, maka tidak semua modernisasi itu dilakukan dengan mempebesar ukuran (gross tonnage) kapal ikan dan meningkatkan kecanggihan alat tangkap (fishing gears).  Contohnya, bagi para nelayan pesisir (coastal fishermen) di wilayah Teluk Tomini, Laut Banda, ZEEI Samudera Pasifik yang hanya dengan kapal bermotor tempel (outboard motor) dan alat tangkap handline (pancing ulur) sudah cukup efisien dan mensejahterakan, ya untuk sementara tidak perlu ditingkatkan kapasitas dan efisiensi penangkapannya.  Sebaliknya, untuk menangkap ikan di laut lepas, laut dalam, ZEEI, dan wilayah perbatasan; para nelayan kita membutuhkan kapal ikan yang lebih besar dan alat tangkap yang lebih canggih.  Bahkan, kita harus melengkapi armada kapal ikan nasional dengan peta perkiraan lokasi ikan, fish finders, GPS, remote sensing, dan alat penunjang lainnya yang dapat meningkatkan efisiensi penangkapan ikan.

Hal lain yang sangat penting untuk dilakukan adalah meningkatkan kesadaran dan kapasitas nelayan untuk melakukan penanganan (handling) ikan hasil tangkapan agar kualitasnya tetap prima selama berada di kapal sampai ke lokasi pendaratan ikan.  Di sini, penerapan sistem rantai dingin (cold chain system) untuk komoditas bernilai ekonomi penting (seperti udang Penaeid, tuna, cakalang, marlin, kakap, bawal putih, baronang, dan tenggiri) adalah sebuah keharusan.  Tetapi, untuk komoditas-komoditas yang rendah nilai ekonominya/murah (seperti tembang, peperek, dan ikan kuniran) yang biasanya juga dibuat menjadi ikan asin (gereh) cukup dengan diberi garam saja selama di kapal sampai ke lokasi pendaratan ikan, atau kalau jarak antara fishing ground dengan lokasi pendaratan ikan tidak jauh, maka cukup disimpan dalam yang terlindung dari sengatan cahaya matahari.

Penguatan dan Pengembangan Pelabuhan Perikanan Sebagai Kawasan Industri Perikanan Terpadu.

Dengan 3 program diatas, nelayan diyakini bisa memperoleh ikan hasil tangkapan dengan volume yang lebih besar, kualitas lebih baik, dan berkelanjutan.  Berikutnya adalah kita harus menyediakan lokasi pendaratan ikan (pelabuhan perikanan) yang memungkinkan bagi nelayan (kapal ikan) mendaratkan dan menjual (memasarkan) ikan hasil tangkapannya dengan harga yang menguntungkan atau memenuhi nilai keekonomian.

Selain untuk tambat-labuh kapal, membongkar (unloading) dan menjual ikan hasil tangkapan, pelabuhan perikanan juga berfungsi sebagai tempat reparasi kapal-kapal ikan dan penyedia sejumlah sarana yang dibutuhkan nelayan untuk melaut menangkap ikan, seperti alat tangkap (jaring, pancing, dan lainnya), BBM, beras, lauk-pauk, dan perbekalan lainnya.  Dengan kata lain, sebuah pelabuhan perikanan harus dilengkapi dengan industri hilir dan industri hulu yang menunjang aktivitas usaha perikanan tangkap.  Poliklinik (Puskesmas), kantor informasi iklim dan cuaca, bank, fasos, dan fasum juga harus melengkapi keberadaan sebuah pelabuhan perikanan sebagai kawasan industri perikanan terpadu.

Seperti telah disebutkan, bahwa saat ini Indonesia memiliki 968 pelabuhan perikanan yang tersebar di P. Sumatera sebanyak 226 pelabuhan; di P. Jawa sebanyak 345 pelabuhan; di Bali, Kalimantan, NTB, dan NTT sebanyak 65 pelabuhan; di P. Sulawesi sebanyak 113 pelabuhan; dan di Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua sebanyak 85 pelabuhan.  Dari 968 pelabuhan perikanan yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara itu, yang dapat dikatakan sebagai kawasan industri perikanan terpadu hanya 6 Pelabuhan Perikanan Samudera/PPS (Belawan, Bungus, Muara Baru, Cilacap, Kendari, dan Bitung); dan 4 Pelabuhan Perikanan Nusantara/PPN  (Pelabuhan Ratu, Pekalongan, Brondong, dan Benoa). Kesepuluh pelabuhan perikanan ini pun bila dibandingkan dengan standar internasional masih banyak kekurangannya.

Oleh sebab itu, kita harus terus merawat dan meningkatkan prasarana, sarana, dan pelayanan pelabuhan-pelabuhan perikanan yang ada, agar memenuhi standar internasional sebagai sebuah kawasan industri perikanan terpadu. Dan, secara simultan membangun pelabuhan perikanan baru di lokasi-lokasi yang secara teknis dan ekonomis memang layak serta dibutuhkan oleh nelayan.

Adapun prioritas perbaikan (upgrading) mesti ditujukan untuk pelabuhan-pelabuhan perikanan berikut.

Mempercepat pengembangan Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung sebagai pusat pendaratan ikan, pusat containerreefer & dryuntuk Kawasan Timur Indonesia. Pelabuhan Bitung dikembangkan agar mampu bersaing dengan General Santosdi Mindanau, Filipina yang kini menjadi salah satu pusat pendaratan dan perdagangan ikan tuna dunia.  Padahal, sekitar 70% dari seluruh ikan tuna yang didaratkan di General Santos ditenggarai berasal dari wilayah perairan laut Indonesia, termasuk ZEEI Samudera Pasifik.  Hal ini disebabkan karena harga jual ikan tuna di General Santos lebih tinggi dari pada di PPS Bitung, dan pelayanan di sana jauh lebih efisien dan baik di sana ketimbang di Bitung.

Mengembangkan Ambon menjadi sentra produksi shasimi tuna:

UpgradingPelabuhan udara Pattimura (Ambon) dengan menyediakan sarana transfer fresh tuna/fish cargo dari tempat pendaratan ikan (PPN Ambon) sampai bandara, dan membangun  ruang berpendingin (cold room) untuk menyimpan fresh-fish cargo di bandara.

Membangun tempat pendaratan (landing points) ikan tuna dibeberapa lokasi strategis sekitar di Banda, Seram dan Ambon, Bacan, dan Morotai, untuk memfasilitasi armada semut ikan tuna segar.

Menambah sekitar 250 kapal ikan sejenis pump boat untuk  beroperasi dan menangkap ikan tuna di Laut Banda dan Laut Maluku.

Merevitalisasi Pelabuhan Perikanan Sorong dan Biak sebagai pusat pendaratan ikan tuna dan cakalang, dan pengolahan tataki, ikan tuna kaleng, dan tuna beku.

Menambah sekitar 400 kapal ikan untuk menangkap ikan tuna dan cakalang di ZEEI Pasifik dan perairan laut di sekitar Papua.

Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan di WPP-715 (Laut Aru, Laut Arafura, dan Laut Timor) dan penguatan industri pengolahan hasil perikanan nasional.

WPP-715 merupakan salah satu daerah penangkapan udang Penaeid dan ikan demersal (ikan dasar) yang paling produktif di dunia. Sehingga, kegiatan illegal fishing merupakan masalah serius yang telah berlangsung sejak akhir 1980-an di wilayah perairan laut ini.  Kapal-kapal ikan asing yang melakukan illegal fishing tidak mendaratkan ikan hasil tangkapannya di Indonesia, tetapi membawanya langsung ke negara mereka masing-masing. Akibatnya, industri pengolahan hasil perikanan di Tual, Benjina, dan Merauke sampai sekarang sulit berkembang secara optimal.

Oleh sebab itu, kita harus berhentikan semua operasi kapal ikan asing, atau seolah-olah milik pengusaha Indonesia, padahal sebenarnya milik asing.

Semua kapal pukat ikan, pukat udang, gill nets, pole and lines, dan lainnya yang beroperasi di WPP-715 harus mendaratkan dan memproses hasil tangkapannya di Tual, Benjina, Merauke, dan pelabuhan perikanan lainnya di tanah air.

Untuk itu, kita harus terus meningkatkan prasarana, sarana, dan kualitas pelayanan pelabuhan-pelabuhan perikanan di sekitar WPP-715.

Meningkatkan pendayagunaan sumberdaya ikan di WPP-711 (Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut Cina Selatan) oleh armada perikanan nasional untuk membendung pencurian ikan oleh armada perikanan asing.

Upgrading Pelabuhan Perikanan Pemangkat,  Kalimantan Barat.

Revitalisasi Pelabuhan Perikanan Tarempa, Kabupaten Natuna agar memenuhi standar internasional.

Operasikan sekitar 150 kapal fishnet, 30 kapal untuk operasi di Selat Karimata, 50 kapal untuk Laut Natuna, dan 70 kapal untuk Laut Cina Selatan.  Kemudian, 50 kapal mendaratkan ikan hasil tangkapannya di Pelabuhan Perikanan Mempawah, 50 kapal di Pelabuhan Perikanan Tarempa, dan 50 kapal lainnya di Batam. Usahakan menggunakan nelayan lokal sebagai fishing master, nahkoda, dan ABK kapal ikan.

Undang & tempatkan reefer freezer lokal untuk menampung ikan hasil tangkapan sebagai bahan baku industri processing  di Batam, dan Muara Baru (Jakarta).

Upgrading PPS. Muara Baru (Jakarta) menjadi pelabuhan berwawasan kualitas bertaraf internasional sebagai sentra pendaratan ikan dan kawasan industri perikanan terpadu yang efisien & cost efektif (Contoh: Jurong Fishing Port).

Dermaga-dermaga kapal besar diperkuat agar muatan bisa bongkar langsung Kapal dengan Reefer Container (cool chain assurance).

Kapal-kapal reefer carrier yang bongkar ikan agar lebih dipermudah perizinannya, dan diberikan fasilitas kecepatan bongkar dengan memfasilitasi pemasukan bahan baku industri perikanan.

Alokasikan dermaga khusus kapal-kapal < 150 GT;  lengkap dengan shore crane guna kecepatan bongkar.

Mengadakan fasilitas “penukaran” ice-box  untuk muat dan bongkar ikan-ikan segar pelagis (cool chain).

Menyiapkan lokasi tertentu, khusus supply untuk percepatan keberangkatan kapal.

Untuk mengatasi masalah banjir atau penggenangan jalan masuk menuju PPS. Muara Baru, segera bangun flyover (jalan layang) yang menghubungkan PPS. Muara Baru langsung dengan Jalan Tol menuju Bandara Soekarno-Hatta.

Berantas praktek premanisme dan percaloan yang selama ini khronis menghambat efisiensi dan efektivitas PPS. Muara Baru.

Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah peraian Samudera Hindia Barat Sumatera.

Wilayah perairan Samudera Hindia bagian Barat Sumatera merupakan perairan laut yang berbatasan langsung dengan perairan internasional, dan sebagian besar merupakan perairan laut dalam.

Oleh karena itu, sumberdaya ikan yang hidup dan berkembang di wilayah perairan ini kebanyakan adalah dari jenis-jenis ikan pelagis besar (seperti albakora, madidihang, tuna mata besar, setuhuk, dan marlin). Jenis ikan pelagis kecil yang ada di wilayah perairan ini pada umumnya bersifat neritik, bergerak tidak jauh dari pantai.  Sedangkan, jenis-jenis ikan demersal dan udang sebagian besar terdapat di perairan dengan kedalaman kurang dari 200 m (continental shelf, paparan benua).

Perlu penambahan armada perikanan nasional untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya ikan yang ada di wilayah ini, dan sekaligus membendung praktek illegal fishing oleh nelayan-nelayan asing.

Upgrading pelabuhan perikanan Sabang, dari status PPN menjadi PPS bertaraf internasional.

Meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelabuhan-pelabuhan perikanan di sepanjang Pantura.

Seperti kita maklumi, sekitar 50% nelayan Indonesia bermukim di sepanjang Pantura, dan sebagian besar mereka masih dililit kemiskinan. Selain hasil tangkapan per satuan upaya yang terus menurun, kemiskinan mereka juga disebabkan oleh harga jual ikan yang relatif murah.

Oleh sebab itu, kita harus upayakan agar seluruh nelayan Pantura dapat mendaratkan dan memasarkan ikan hasil tangkapnya di pelabuhan-pelabuhan perikanan yang tersebar di sepanjang Pantura  (seperti Blanakan, Dadap, Kejawanan, Tegal, Pekalongan, Juwana,  Rembang, Brondong, dan Banyuwangi) dengan harga yang menguntungkan para nelayan.

Tingkatkan kemampuan pelayanan pelabuhan menuju pada: cepat bongkar, penukaran ice-box,  mengutamakan mutu (cool chain), kemudahan supply, perbaikan sarana, kemudahan pinjaman modal kerja (short term loan) pada musim ikan.

Memastikan agar pelabuhan Meneng, Banyuwangi menjadi: (1) Industrial Fishing Port bagi industriawan (processor) produk perikanan, dan pasar bagi nelayan, pembudidaya ikan, pedagang pengumpul untuk jenis  ikan  beku, segar, dan ice-chill; (2) pelabuhan niaga bagi muatan bulk maupun  container, dry/ reefer lengkap dengan sarana crane, container port untuk effisinsi biaya transport expor bagi produk hasil perikanan dari wilayah Jatim Selatan,  Bali bagian barat, NTB, dan NTT.

Dengan sejumlah program diatas, perikanan tangkap yang tahun ini hanya menghasilkan sekitar 6 juta ton, maka mulai 2017 dan tahun-tahun selanjutnya akan mampu memproduksi 7 juta ton/tahun.  Sementara itu, nilai ekspor akan meningkat dari saat ini US$ 4,21 miliar/tahun menjadi US$ 6 miliar/tahun, mulai 2017.

Perikanan Budidaya

Pembangunan perikanan budidaya dalam 5 tahun mendatang (2015–2019) terutama akan difokuskan pada 15 komoditas unggulan.

Dalam hal ini, yang dimaksud komoditas unggulan adalah komoditas perikanan yang permintaan (demand) dan harga jual (nilai ekonomi) nya tinggi di pasar ekspor, atau permintaannya tinggi untuk pasar (konsumen) dalam negeri. Yakni: udang, kerapu, kakap, baronang, bandeng, patin, jambal daging putih (bassa fillet), nila, ikan mas, ikan hias, kepiting, rumput laut, kerang mutiara, teripang, dan abalone. Pengembangan budidaya kelima belas komoditas unggulan itu akan dilakukan secara terpadu, yang meliputi aspek produksi, pasca panen (handling and processing), dan pemasaran.

Pada aspek produksi, Good Aquaculture Practices akan diterapkan secara benar, konsisten, dan penuh disiplin guna menjamin efisiensi, produktivitas, dan keberlanjutan (sustainability) usaha produksi budidaya. Di setiap wilayah produksi budidaya, sarana produksi (benih, pakan, obat-obatan, BBM, kincir air/pedal wheel, dan lainnya) akan dipenuhi secara kontinu sesuai kebutuhan di wilayah masing-masing di seluruh Nusantara. Infrastruktur (seperti saluran irigasi, listrik, air bersih, jalan, telkom, dan lainnya) harus dibangun untuk menghubungkan kawasan produksi perikanan budidaya dengan daerah pasar dan daerah pemasok sarana produksi. Tata ruang yang melindungi kawasan perikanan budidaya dari praktek konversi semena-mena menjadi kawasan industri, pusat bisnis, pemukiman, dan penggunaan lain, akan diterapkan secara konsisten. Pengendalian pencemaran baik yang berasal dari kegiatan sektor lain maupun dari limbah organik tambak akan dilakukan secara konsisten dan serius.

Berikut ini akan diuraikan secara lebih rinci tentang program peningkatan produksi untuk 2 jenis komoditas unggulan, yakni udang dan rumput laut.  Sedangkan, untuk ketiga belas jenis komoditas unggulan lainnya secara prinsip sama dengan cara-cara untuk peningkatan produksi udang dan rumput laut.

Peningkatan produksi udang

Hingga saat ini udang merupakan primadona komoditas perikanan, dan juga salah satu komoditas ekspor andalan Indonesia. Sekitar 50% dari total nilai ekspor produk perikanan Indonesia berasal dari komoditas udang.  Permintaan dan harga udang baik di pasar domestik maupun di pasar global juga relatif stabil, bahkan cenderung meningkat.  Selain itu, Indonesia memiliki potensi luas lahan tambak terluas di dunia, lebih dari 1,22 juta ha yang tersebar di seluruh propinsi Indonesia.

Pada 2004 total produksi udang nasional sebesar 240.000 ton, dan tahun 2014 mencapai 639.969 ton.  Sementara itu, luas tambak yang telah dibangun dan diusahakan hingga saat ini mencapai 667.083 ha atau sekitar 22.5% dari total potensi lahan tambak.  Dari total luas yang telah diusahakan itu, hanya sekitar 150.000 ha yang diusahakan untuk budidaya udang, selebihnya untuk budidaya bandeng, rumput laut, nila, kerapu lumpur, kepiting, dan komoditas lainnya.

Estimasi rencana peningkatan produksi udang untuk tahun 2015 – 2019 disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11.Estimasi Rencana Produksi Tambak Udang Beserta Perolehan Devisa dan Tenaga Kerja yang bisa diserap, 2015 - 2019 

INDIKATOR

TARGET

2015

2016

2017

2018

2019

TRADISIONAL
Produktivitas (ton/ha)

1

1

1

1

1

Luas (ribu ha)

75

75

75

75

75

Produksi (ribu ton)

75

75

75

75

75

Devisa (juta US $)

525

525

525

525

525

Jumlah Tenaga Kerja (ribu Orang)

75

75

75

75

75

SEMI INTENSIF
Produktivitas (ton/ha)

7

7

7

7

7

Luas (ribu ha)

108

117

127

137

149

Produksi (ribu ton)

758

821

889

964

1,044

Devisa (juta US $)

5,308

5,750

6,229

6,749

7,311

Jumlah Tenaga Kerja (ribu orang)

3,033

3,286

3,559

3,856

4,178

INTENSIF
Produktivitas (ton/ha)

17

17

17

17

17

Luas (ribu ha)

187

281

421

632

949

Produksi (ribu ton)

3,187

4,781

7,171

10,757

16,136

Devisa (juta US $)

22,312

33,468

50,203

75,304

112,957

Jumlah Tenaga Kerja (ribu orang)

12,750

19,125

28,687

43,031

64,546

Total Produksi (ribu ton)

4,020

5,677

8,135

11,796

17,255

Total Devisa (juta US $)

28,145

39,743

56,957

82,578

120,793

Total Tenaga Kerja (ribu orang)

12,750

22,486

32,321

46,962

68,799

Keterangan:

Asumsi Harga Barang = US$7/kg

Penyerapan Tenaga Kerja untuk Tambak semi intensif dan intensif = 4 orang/1 ton produksi.

Penyerapan Tenaga Kerja untuk Tambak tradisional = 1 orang/1 ton produksi.

Pencapaian target produksi, perolehan devisa, dan penciptaan tenaga kerja pada Tabel 11 itu akan ditempuh melalui revitalisasi usaha budidaya tambak udang di daerah-daerah yang di era Orba menjadi sentra produksi tambak udang dan sejak 1996 mengalami penurunan produktivitas, seperti sebagian propinsi NAD, sebagian besar Pantura, dan sebagian besar Sulsel. Selain itu, juga akan dilakukan pengembangan daerah baru usaha budidaya tambak udang (ekstensifikasi), seperti di Kaltim, NTB, Sulteng, Sultra, Gorontalo, dan Maluku.

Untuk mendukung pencapaian target pembangunan budidaya tambak udang tersebut, maka sejumlah balai benih (hatchery) udang, balai besar budidaya air payau, dan loka budidaya air payau yang tersebar di seluruh tanah air harus terus diperkuat dan disempurnakan.  Pada saat bersamaan, hatchery, balai besar budidaya air payau, loka budidaya air payau akan dibangun sesuai dengan kebutuhan di setiap wilayah produsen udang.  Hal ini sangat penting guna menjamin tersedianya benih unggul dengan harga relatif murah (sesuai nilai keekonomian) bagi seluruh petambak udang di seluruh wilayah Nusantara.  Keberadaan ketiga institusi perikanan budidaya itu juga dimaksudkan untuk meneliti, mengkaji, menemukan, mengembangkan, dan menyebarluaskan IPTEK yang bertalian dengan segenap aspek budidaya tambak udang kepada seluruh masyarakat petambak. 

Adapun aspek budidaya tambak udang yang dimaksud adalah Good Aquaculture Practices yang meliputi: teknologi pembibitan dan perbenihan (termasuk rekayasa genetik atau genetic engineering), pakan (nutrisi), manajemen hama dan penyakit, manajemen kualitas air dan tanah, tata letak tambak, dan teknik perkolaman (pond engineering). Karena pakan menyedok sekitar 40% dari total biaya produksi, dan harganya (Rp 10.000 – Rp 11.000 per kg) lebih mahal dari pada di luar negeri (Rp 8.500 per kg) serta cenderung meningkat, maka kita harus membangun industri pakan udang nasional yang kompetitif. Sementara itu, BBM menghabiskan sekitar 30% dari total biaya produksi, karena itu BBM untuk tambak harus bersubsidi, jangan seperti sekarang harganya sama untuk BBM industri.

Peningkatan produksi rumput laut

Rumput laut merupakan komoditas perikanan yang sangat potensial sebagai sumber kemajuan dan kemakmuran bangsa Indonesia, karena 4 (empat) alasan utama. Pertama, permintaan pasar domestik maupun pasar global terhadap rumput laut kering (bahan baku, raw materials), produk setengah jadi (semi-refined products), ataupun produk jadi (refined products) sangat besar dan terus meningkat.  Kedua, dengan diproses menjadi semi-refined products dan refined products, rumput laut bisa digunakan untuk puluhan jenis industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetik, film, cat, dan lain sebagainya (Gambar 5).  Ini artinya rumput laut memiliki nilai tambah (added value) tinggi (Tabel 12), menciptakan banyak kesempatan kerja, dan dapat membangkitkan multiplier effects ekoomi yang besar.  Ketiga, Indonesia memiliki potensi wilayah perairan laut dan perairan payau (tambak) yang cocok (suitable) untuk budidaya rumput laut yang terluas di dunia (Tabel 10).  Keempat, tekonologi budidaya rumput laut sangat mudah dan murah, waktu panen singkat (sekitar 45 hari), dan resiko kegagalan panen sangat rendah atau bahkan tidak ada. 

Tabel 12.Nilai Tambah Rumput Laut

Jenis

Rendeman (%)

Harga (Rp/kg)

E. Cottonii(mentah)
Kering petani
4500
ATC
30
35.000
SRC
70
51.000
Sargassum (mentah)
Kering petani
2500
Na-alginat(food grade)
30
200.000
Na-alginat(industrial)
30
150.000
Gracillaria
Kering petani
4000
Agar-agar kertas
20
70.000
Agar-agar batang
20
80.000

Tabel 13.Potensi Luas Wilayah Laut Untuk Pengembangan Budidaya Rumput Laut

Potensi total produksi rumput laut dari usaha budidaya di wilayah laut Indonesia  adalah = 1.110.900 ha x 50 ton rumput laut kering/ha/tahun (Zen, 2009)  =  55.545.000 ton rumput laut kering/tahun = 55,6 juta ton rumput laut kering/tahun.

Potensi total produksi rumput laut dari usaha budidaya di kawasan pertambakan Indonesia adalah = 100.000 ha x 30 ton rumput laut kering/ha/tahun = 3 juta ton rumput laut kering/tahun.

Sementara itu, total produksi rumput laut nasional saat ini baru sekitar 10.07 jutaton (KKP 2015).  Artinya, peluang pengembangan usaha budidaya rumput laut beserta segenap industri hulu dan hilir nya masing sangat luar biasa besarnya. Atas dasar itu semua, maka kita mengasumsikan target produksi rumput laut, perolehan devisa, dan banyaknya lapangan kerja yang bisa diciptakan (Tabel 14).

Tabel 14.Asumsi Rencana Produksi Rumput Laut Beserta Perolehan Devisa dan Penyediaan Tenaga Kerja, 2015 – 2019.

INDIKATOR

2015

2016

2017

2018

2019

LAUT
Luas (ha)

277,500

315,000

352,500

390,000

427,500

Produksi (ton)

           13,875,000

         15,750,000

         17,625,000

         19,500,000

21,375,000

Devisa

     4,162,500,000

   4,725,000,000

   5,287,500,000

   5,850,000,000

6,412,500,000

Jumlah Tenaga Kerja

              2,775,000

           3,150,000

           3,525,000

           3,900,000

4,275,000

TAMBAK
Luas (ha)

76.5

                          89

101.5

114

126.5

Produksi (ton)

              7,295,000

           8,670,000

         10,045,000

         11,420,000

12,795,000

Devisa

 2,188,500,000

 2,601,000,000

 3,013,500,000

 3,426,000,000

3,838,500,000

Jumlah Tenaga Kerja

  230

  267

305

  342

380

Keterangan:

Penyerapan tenaga kerja budidaya rumput laut di tambak = 3 orang/ha

Penyerapan tenaga kerja budidaya rumput laut di laut  = 10 orang/ha

Harga Rp 4000/kg = 0.3 US $/kg (Asumsi Dolar Rp 13.000/dolar)

Kalau, kita memproses rumput laut kering sebelum dipasarkan dalam negeri maupun ekspor menjadi semi-refined products atau refined products, tentu perolehan devisa, pendapatan negara, jumlah tenaga kerja, dan multiplier effects yang kita dapatkan akan berlipat ganda. Untuk mendukung pengembangan industri rumput laut terpadu secara kompetitif dan berkelanjutan, kita perlu membangun pusat pembibitan dan pembenihan rumput laut (seaweed center) seperti yang sekarang ada di Lombok Tengah, di daerah-daerah sentra produksi rumput laut lainnya di tanah air. Ini sangat penting untuk menjamin pasok bibit rumput laut yang berkualitas (unggul) secara berkelanjutan.

Industri Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan

Seperti diungkapkan sebelumnya, bahwa dibandingkan dengan Jepang, Taiwan, Thailand, China, dan negara-negara perikanan lainnya; Indonesia teringgal dalam hal keunggulan industri hilir (pengolahan) hasil perikanan. Hingga saat ini, sekitar 55% dari total produksi perikanan tangkap nasional dipasarkan dalam bentuk ikan segar; 23% melalui proses pengawetan (pengeringan, penggaraman, pemindangan, terasi, peda, kecap, pengasapan, dan lainnya); 16% dibekukan (frozen); dan 6% sisanya dalam bentuk pengalengan (canning), tepung ikan (fish meal), dan lainnya.

Oleh sebab itu, untuk mengembangkan industri perikanan yang berdaya saing, mulai saat ini, kita harus:

Merevitalisasi industri pengalengan ikan, tepung ikan, dan cold storage yang ada, dan membangun yang baru, sehingga lebih efisien, berdaya saing tinggi, dan berkelanjutan.

Melakukan pengembangan dan diversifikasi produk perikanan(fisheries product development and diversification), seperti surimi, surimi-based products (fishball, crabstick, fishcake, seafood tofu, wan ton, dan chikuwa);danadded-value products (breaded shrimps, tuna-in-a-pouch, katsuobushi, tuna dalam olive oil, tuna salad, tuna pate, dan tuna dalam sauce dengan herbal).

Pengadaan sarana pengangkutan produk perikanan dari lokasi produsen ke lokasi konsumen (pasar) ikan, seperti : mobil box berpendingin (cold-chain system), container angkutan laut dan udara.

Melakukan gerakan  dan sosialisasi nasional tentang gemar makan ikan lebih sehat dan cerdas secara reguler dan kontinu.  Hal ini penting, karena dibandingkan dengan kebanyakan negara-negara ASEAN, Jepang, Korsel, dan China, tingkat konsumsi ikan per kapita Indonesia masih lebih rendah. Sementara, kita mengimpor sapi potong sedikitnya 500.000 ekor setiap tahunnya sejak dasawarsa terakhir.

Pembangunan dan operasionalisasi pasar-pasar ikan higienis.

Penyelesaian pembangunan dan operasionalisasi raiser ikan hias.

Penguatan dan pengembangan (diversifikasi) pasar ekspor produk perikanan.

Dalam rangka menjamin pemasaran hasil tangkap dan produk hasil budidaya perikanan dengan harga yang menguntungkan (memenuhi nilai keekonomian) para nelayan dan pembudidaya ikan, sudah saatnya untuk beberapa komoditas perikanan penting (seperti udang, tuna, lemuru, bandeng, ikan mas, nila, dan patin) dijamin harga dasar (floor price) nya oleh Perum Bulog.

Industri Bioteknologi Perairan

Indonesia sejatinya memiliki potensi industri bioteknologi perairan yang terbesar di dunia. Pasalnya, Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut (marine biodiversity) terbesar di dunia, dan keanekaragaman hayati, baik pada tingkatan genetik, spesies maupun ekosistem merupakan basis (sumber) industri bioteknologi perairan.  Industri bioteknologi perairan terdiri dari 3 kelompok industri aplikasi: (1) ekstraksi produk alamiah (natural products) dan senyawa bioaktif (bioactive substances) dari biota perairan (laut dan perairan tawar) untuk industri makanan & minuman, farmasi,  kosmetika, kertas, cat, film, bioenergi, dan beragam jenis industri lainnya; (2) rekayasa genetika (genetic engineering) untuk menghasilkan bibit dan benih hewan dan tumbuhan budidaya yang unggul; dan (3) bioremediasi untuk mengatasi pencemaran lingkungan.

Beberapa contoh produk industri bioteknologi perairan yang selama ini sudah beredar di pasar global adalah sebagai berikut:

Ekstrak hewan karang lunak (soft corals) untuk viagra.

Pembuatan obat tidur dan obat penenang dari Kuda Laut.

Tempurung kura-kuru untuk obat luka dan tetanus.

Hati ikan buntel untuk obat tetrodotoxin, guna memperbaiki saraf otak yang rusak.

Chitosan dari kulit kepiting, rajungan, dan udang untuk obat anti kolesterol.

Chitin dari kulit kepiting, rajungan, dan udang diambil seratnya untuk campuran material pembuat kaos pakaian yang berkualitas lebih halus, lebih dingin, serta tidak rusak bila disetrika.

Kerang ditumbuk untuk obat maag.

Telur ayam dari ayam yang diberi pakan rumput laut (ocean bio-eggs), lebih sehat serta lebih bernutrisi.

Ular dari laut diambil serbuknya untuk meningkatkan daya ingat.

Bakteri laut untuk campuran deterjen.

Omega-3 dari ikan

Rumput laut (green algae) untuk penyembuh penyakit kardiovaaskular.

Rumput laut untuk obat hepatitis, obat penyakit HIV/AIDS, dan obat penyakit diabetes.

Ekstrak rumput laut untuk bahan baku industri kertas, bioenergi, makanan & minuman, farmasi, kosmetik, dan lainnya (Gambar 5).


Gambar 5. Nilai Tambah Produk Rumput Laut (E. Cottonii)

Gambar 6.Pohon Industri Rumput Laut

Dalam lima tahun kedepan (2015-2019), kita akan fokus pada pengembangan industri bioteknologi perairan yang berkaitan dengan ekstraksi senyawa bioaktif untuk industri makanan & minuman, farmasi, kosmetik, bioenergi, dan beragam industri lainnya, terutama dari rumput laut. Perlu insentif, misalnya berupa kredit perbankan yang lebih murah dan lunak, bagi pengusaha yang mau berinvestasi di industri bioteknologi perairan.

Konservasi dan Perlindungan Lingkungan

Selain pola pembangunan perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pengolahan hasil perikanan, dan industri bioteknologi yang ramah lingkungan seperti diuraikan diatas, supaya pembangunan dan usaha (bisnis) perikanan dapat berlangsung secara berkelanjutan, kita pun harus melindungi ekosistem perairan tawar, pesisir (payau), dan laut dari pencemaran (pollution) serta berbagai  jenis kerusakan lingkungan lainnya.  Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pada tingkat Kabupaten/Kota, Propinsi, dan Nasional juga ke depan harus melindungi ekosistem perairan tawar, pesisir, dan laut dari beragam jenis kerusakan lingkungan dan konversi (alih fungsi) menjadi kawasan pemukiman, perkotaan, industri, pertanian, dan tambak secara berlebihan.

Lebih dari itu, kita juga harus merehabilitasi ekosistem perairan (lautan, pesisir, dan tawar) yang telah rusak, dengan cara mengurangi atau tidak lagi membuang bahan pencemar (pollutants), terutama bahan pencemar B3, ke dalam eksosistem perairan.  Melakukan reboisasi (penanaman kembali) hutan mangroves, membuat terumbu karang buatan atau transplantasi karang, dan lainnya.  Melaksanakan programrestocking dan stock enhancement di wilayah-wilayah perairan yang telah overfishing atau menderita kepunahan jenis, dengan teknik dan metoda yang tepat dan benar. 

Dan, melaksanakan program konservasi biodiversity (keanekaragaman hayati), baik pada tingkatan genetik, spesies maupun ekosistem.  Konservasi ini dapat dilakukan secara in-situ dengan cara merevitalisasi seluruh kawasan konservasi laut dan PUD supaya dapat berfungsi secara lebih optimal, dan mengembangkan kawasan-kawasan konservasi perairan baru sesuai kebutuhan.

4.2. Kebijakan dan Program Pembangunan Jangka Pendek (Quick Wins)

Dalam hal ini, yang dimaksud dengan kebijakan dan program jangka pendek adalah segenap kebijakan dan program pembangunan perikanan yang dilaksanakan mulai sekarang,  dan hasil (outputs, outcomes, dan impacts) nya bisa kita nikmati dalam waktu dekat (quick wins), kurang dari setahun atau sebelum 2020.  Hasil cepat yang diharapkan Presiden dan seluruh rakyat Indonesia adalah semakin meningkatnya produksi perikanan, produk industri (olahan) perikanan, nilai ekspor, pendapatan pajak dan PNBP (pendapatan negara bukan pajak), kontribusi sektor ini terhadap PDB, kesempatan kerja, dan efek pengganda (multiplier effects) ekonomi secara signifikan mulai tahun ini sampai akhir 2019.

Berdasarkan pada ekspektasi dan target tersebut,  maka dalam jangka pendek kita harus mengimplementasikan dua program: (1) mulai sekarang juga menjabarkan dan melaksanakan amanah serta isi Inpres No. 7/2016 tentang Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Nasional, dan (2) pembangunan kluster industri perikanan dan kelautan dengan pola KEK (Kawasan Ekonomi Khusus).

A. Percepatan Implementasi Inpres No. 7/2016

               

KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) bersama TNI-AL, POLRI, Kejaksaan, dan BAKAMLA sudah di jalur yang tepat di dalam memberantas  IUU (Illegal, Unregulated, and Unreported) fishing oleh nelayan asing, dan penegakkan kedaulatan.  Sayang, kebijakan ekonominya yang merupakan tugas dan fungsi utama KKP justru menghambat atau mematikan iklim investasi dan bisnis kelautan-perikanan.  Dengan dalih untuk pelestarian sumber daya ikan, semua alat tangkap aktif (pukat tarik dan pukat hela), yang selama ini digunakan oleh sekitar 70% nelayan Indonesia, dilarang untuk beroperasi.  Kapal pengangkut ikan mandiri maupun yang tergabung dalam satu perusahaan perikanan tangkap (a group fishing) serta kapal pengangkut ikan kerapu hidup untuk tujuan ekspor juga di moratorium.  Kebijakan pembatasan ukuran kapal ikan tidak boleh melebihi 150 GT membuat sumber daya ikan di laut dalam, laut lepas, dan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) Indonesia tidak dapat dimanfaatkan secara optimal atau mubazir. Demikian juga halnya, dengan kebijakan kenaikan PHP (Pungutan Hasil Perikanan) sebesar 100 – 1.000 persen dari nilai 2014 memukul sebagian besar pengusaha perikanan dan nelayan.  Kebijakan moratorium perdagangan lobster, kepiting, dan rajungan ukuran tertentu atau sedang bertelur secara gebyah uyah pun telah mematikan ekonomi masyarakat pesisir yang melipbatkan ratusan ribu tenaga kerja dengan nilai ekonomi lebih dari Rp 10 trilyun setiap tahunnya. 

Akibat kebijakan yang terlalu restriktif dan mendadak (sudden death), tanpa sosialisasi dan alternatif solusi seperti itu, maka banyak pabrik pengolahan hasil perikanan di hampir semua kawasan industri perikanan, mulai dari Tual, Ambon, Bitung, Benoa, Muara Baru Jakarta sampai ke Belawan megap-megap atau gulung tikar, karena kekurangan bahan baku ikan.  Ratusan ribu nelayan, pembudidaya, pengolah dan pedagang ikan menganggur.  Nilai ekspor perikanan turun drastis, dari 4,21 milyar dolar AS pada 2014 menjadi sekitar 2 milyar dolar AS pada 2015.  Demikian juga halnya PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) perikanan, pada 2004 mencapai Rp 350 milyar, pada 2014 sebesar Rp 250 milyar, dan tahun lalu terkumpul hanya sekitar Rp 70 milyar. Sementara itu, perikanan budidaya, industri pengolahan hasil perikanan, industri bioteknologi kelautan, dan sumber daya kelautan non-konvensional yang potensi produksi dan ekonomi nya puluhan sampai ratusan kali lipat dari perikanan tangkap, kurang mendapat perhatian.

Oleh karena itu, dalam rangka percepatan pembangunan industri perikanan nasional guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik nelayan, pembudidaya, pengolah maupun pemasar hasil perikanan, meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan meningkatkan devisa negara, Presiden Joko Widodo pada 22 Agustus 2016 telah menandatangani dan menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Nasional.

Inpres tersebut ditujukan kepada 25 (dua puluh lima pejabat), yaitu Menko Polhukam, Menko Kemaritiman, Menko Perekonomian, Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Mendagri, Menlu, Menteri Keuangan, Menhub, Menperin, Mendag, Menteri ESDM, Menteri PUPR, Menteri BUMN, Menristek Dikti, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menkop dan UKM, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, Kepala Bakamla, Kepala BKPM, Kepala BNPP, Kepala BPOM, para gubernur, dan para bupati/walikota.  Kepada para pejabat di atas, Presiden menginstruksikan untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan secara terkoordinasi dan terintegrasi sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing Kementerian/Lembaga untuk melakukan percepatan pembangunan industri perikanan nasional.

Secara khusus Presiden menginstruksikan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan untuk mengevaluasi peraturan perundang-undangan yang menghambat pengembangan perikanan tangkap, budidaya, pengolahan, pemasaran dalam negeri, ekspor hasil perikanan, dan tambak garam nasional. Selain itu, Presiden memerintahkan Menteri Kelautan dan Perikanan menyusun roadmap industri perikanan nasional, penetapan lokasi, dan masterplan kawasan industri perikanan nasional sebagai proyek strategis nasional. Sedangkan, untuk menteri, kepala lembaga negara, para gubernur, bupati, dan walikota yang terkait dalam Inpres ini, Presiden menginstruksikan supaya semuanya mendukung penuh bagi terlaksananya percepatan Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Nasional yang dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi tinggi dan berkualitas (inklusif), menciptakan lapangan kerja dalam jumlah besar, meningkatkan kesejahteraan rakyat dan daya saing bangsa secara berkelanjutan.

Dalam rangka segera mewujudkan amanat Inpres tersebut, maka KKP didukung penuh instansi terkait harus melaksanakan sejumlah langkah berikut: (1) peningkatan produksi perikanan tangkap, budidaya, dan pengolahan hasil perikanan; (2) perbaikan distribusi dan logistik hasil perikanan dan penguatan daya saing; (3) penguatan dan pengembangan pasar ikan dan produk perikanan di dalam maupun luar negeri; (4) percepatan penataan pengelolaan ruang laut dan pemetaan Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) sesuai dengan daya dukung dan sumber daya ikan dan pengawasan sumber daya perikanan; (5) penyediaan sarana dan prasarana dasar dan pendukung industri perikanan nasional; (6) percepatan peningkatan jumlah dan kompetensi sumber daya manusia, inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi ramah lingkungan bidang perikanan; (7) percepatan pelayanan perizinan di bidang industri perikanan nasional; dan (8) penyusunan rencana aksi percepatan pembangunan industri perikanan nasional.

Bagi KKP mulai sekarang mesti segera keluarkan izin penangkapan untuk ribuan kapal ikan milik rakyat dan pengusaha nasional yang sudah berbulan-bulan nganggur tertambat di sejumlah pelabuhan perikanan. Demikian juga halnya untuk sekitar 500 kapal ikan berukuran besar (> 100 GT) dan modern  ’eks-asing’ yang memang sudah lama menjadi milik pengusaha nasional, dan dinyatakan hanya ada kesalahan kecil oleh Satgas IUU fishing. Ribuan kapal besar dan modern ini segera digunakan untuk menangkap ikan di wilayah-wilayah perairan laut yang menurut KKP stoknya melimpah (underfishing) atau yang selama ini menjadi lokasi penjarahan ikan oleh kapal-kapal asing.  Contohnya di Laut Natuna, Sulawesi, Teluk Tomini, Laut Banda, Laut Arafura, ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia) di bagian Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Kita juga mesti segera mengaktifkan kembali ratusan ribu nelayan pukat hela dan pukat tarik yang sudah berbulan-bulan nganggur, atau kalaupun sebagian bisa melaut harus keluar biaya mahal, karena harus menyogok oknum aparat nakal. 

Sudah tentu bahwa semua aktivitas penangkapan ikan oleh kapal-kapal tersebut harus ramah lingkungan dan tingkat penangkapan ikan di setiap wilayah perairan tidak melebihi MSY nya. Kaidah ini sangat penting untuk memastikan bahwa usaha perikanan tangkap dapat memasok kebutuhan ikan nasional dan mensejahterakan seluruh nelayan secara berkelanjutan.

Secara paralel, kita tingkatkan produksi berbagai jenis ikan melalui  intensifikasi, ekstensifikasi, dan diversifikasi usaha perikanan budidaya ramah lingkungan di perairan laut, payau, dan tawar.  Jenis-jenis ikan budidaya laut yang relatif mudah dibudidayakan, sangat dibutuhkan untuk pasar domestik maupun ekspor, dan keuntungan (profit) nya lumayan besar antara lain adalah berbagai jenis kerapu, kakap, bawal bintang, bandeng, gobia, abalone, kerang hijau, gonggong, teripang, dan lobster. Untuk di perairan payau antara lain meliputi udang windu, udang vanamme, kerapu lumpur, bandeng, nila salin, dan berbagai jenis kepiting termasuk kepiting soka. Di perairan tawar, kita bisa budidayakan ikan nila, patin (dori), lele, emas, gurame, belida, baung, bawal air tawar, udang galah, dan lobster air tawar (Cerax spp). 

Sekedar ilustrasi betapa besarnya potensi ekonomi perikanan budidaya adalah usaha budidaya udang vanname.  Indonesia memiliki 3 juta ha lahan pesisir yang cocok untuk budidaya tambak udang vanname. Jika kita usahakan 500.000 ha (17% total potensi) dengan rata-rata produktivitas selama ini sekitar 40 ton/ha/tahun.  Maka, bisa diproduksi 20 juta ton atau 20 milyar kg udang per tahun. Saat ini harga udang vanname di tambak (on-farm) rata-rata 7 dolar AS/kg.  Sehingga, bisa dihasilkan nilai ekonomi 140 milyar dolars AS/tahun. Rata-rata keuntungan bersih sekitar Rp 10 juta/ha/bulan.  Potensi tenaga kerja on-farmsebanyak 3 orang/ha x 500.000 ha = 1,5 juta orang.  Dan, potensi tenaga kerja off-farm (orang yang bekerja di sektor hulu dan hilir dari tambak udang) sekitar 2 orang/ha x 500.000 ha = 1 juta orang.

Karena jarak antara lokasi penangkapan ikan (fishing grounds) atau budidaya ikan dengan pelabuhan perikanan dan kawasan industri pengolahan ikan, maka pemerintah melalui BUMN maupun perusahaan swasta harus mulai sekarang juga menyediakan jasa kapal pengangkut ikan berpendingin. Selain itu, pemerintah harus menjamin ketersediaan sarana produksi perikanan (seperti alat tangkap, bahan bakar, perbekalan melaut, benih ikan, benur, dan pakan) dengan jumlah mencukupi dan harga relatif murah bagi semua nelayan dan pembudidaya ikan di seluruh wilayah NKRI.  Pasar untuk ikan hasil tangkapan nelayan dan pembudidaya harus dijamin dengan harga yang menguntungkan nelayan serta pembudidaya, dan sekaligus terjangkau oleh rakyat. Permodalan (kredit perbankan) dengan suku bunga relatif murah dan persyaratan relatif lunak (seperti di emerging economies lainnya) harus bisa diakses oleh seluruh nelayan dan pembudidaya ikan. Jangan lupa, kita juga harus terus-menerus meningkatkan kapasitas dan etos kerja nelayan dan pembudidaya ikan melalui program pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan (DIKLATLUH) secara sistematis dan berkesinambungan.

B. Pembangunan Kluster Industri Berbasis Perikanan dan Kelautan

Dalam upaya untuk mendukung terwujudnya Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia (PMD), dan membuktikan kepada rakyat (publik) Indonesia maupun dunia, bahwa Indonesia sebagai PMD itu tidak sekedar jargon atau pencitraan; maka mulai sekarang kita harus membangun kluster industri berbasis perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pengolahan hasil perikanan, industri bioteknologi, pariwisata bahari, ekonomi kreatif, dan potensi pembangunan lainnya yang tersedia setempat secara terintegrasi di empat wilayah terdepan NKRI.  Pertama di sebelah Barat Laut NKRI, yaitu Natuna – Anambas.  Kedua di sebelah Timur Laut NKRI, yaitu di P. Morotai.  Ketiga di sebelah Tenggara NKRI, yaitu P. Aru atau P, Tual.  Keempat di sebelah Barat Daya NKRI, yaitu di P. Sabang atau di kawasan Pelabuhan Perikanan Lampulo, Aceh.

Penutup

Dengan mengimplemntasikan Road Map Pembangunan Sistem Industri Perikanan Yang Berdaya Saing dan Berkelanjutan seperti di atas, insha Allah sektor Kelautan dan Perikanan tidak hanya akan mampu membantu secara signifikan pemecahan masalah bangsa kekinian, terutama pengangguran, kemiskinan, gizi buruk, daya saing dan IPM yang rendah. Tetapi, juga akan mampu berkontribusi secara signifikan bagi terwujudnya Indonesia sebagai PMD, yakni Indonesia yang maju, adil-makmur, dan berdaulat berbasis ekonomi kelautan, hankam dan budaya maritim dalam waktu tidak terlalu lama, 2030 insha Allah.

               Bahan Rujukan

United Nations Development Programme (UNDP), 2012. Human Development Report 2012Sustainability and Equity A Better Future for All. New York, USA. 185p.

Kementerian Kesehatan RI. 2014. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI

OECD. 2016. Intern Economic Outlook. www.oecd.org

Cornel University, INSEAD, dan WIPO. 2015. The Global Innovation Index: Effective Innovation Policies for Development. Geneva :World Intellectual Property Organization

World Economic Forum. 2015. Global Competitiveness Report 2015-2016. Geneva : world Economic Forum

United Nations Development Programme [UNDP]. 2015. Human Development Report 2015Sustainability and Equity A Better Future for All. New York, USA. 185p.

Kementerian Kelautan dan Perikanan [KKP]. 2015. Kelautan dan Perikanan Dalam Angka. Jakarta : Pusat Data Statistik dan informasi

Food and Agriculture Organization [FAO].2016. The State of The World Fisheries and Aquaculture. Contributing to food security and nutrition for all. Rome. 200p

Badan Pusat Statistik [BPS]. 2015. Ekonomi dan Perdagangan : Produk Domestik Bruto (PDB). www.bps.go.id 

 European Commission. 2013. Overview The Rapid Alert System for Food and Feed: Annual Report. Vienna

Bank Indonesia.2014. Laporan keuangan Tahunan Bank Indonesia. Jakarta : Bank Indonesia

Puslitbang Gizi.1996.Peranan Gizi dan POla Asuh Meningkatkan Kualitas Tumbuh Kembang Anak. Puslitbang Gizi

Pauli G. 2010. The Blue Economy: 10 Years, 100 Innovations, 100 million Jobs. Report to The Club of Rome. Paradigm Publications. USA. 308p.

FAO. 1995. Code Conduct Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF). Roma

Food and Agriculture Organization [FAO].2014. The State of The World Fisheries and Aquaculture. Contributing to food security and nutrition for all. Rome. 200p

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun