Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, beberapa hari yang lalu menjadi perbnicangan karena memberikan saran pada Menteri Agama agar mengeluarkan fatwa mengenai pernikahan tingkat ekonomi. Â Ia berpendapat bahwa orang miskin harus mencari jodoh (menikahi) orang kaya, begitu pula sebaliknya.
Menurutnya, selama ini keluarga miskin cenderung akan mencari menantu sesama mereka dan dengan dikeluarkannya fatwa sebagai anjuran oleh Menteri Agama dianggapnya akan memutus mata rantai keluarga miskin dan menjauhkan masyarakat dari neraka dunia; sakit dan miskin.
Serupa dengan pernyataan Kemenko PKM, Anggota DPR RI, Dedi Mulyadi, juga menyarankan pemerintah agar mengatur regulasi pesta pernikahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah sebagai cara untuk menghambat melahirkan kemiskinan baru di masyarakat.
Dedi mengatakan bahwa pesta pernikahan merupakan sikap riya dan sikap riya adalah milik orang kaya. Dengan tidak menggelar pesta pernikahan dianggap lebih baik dibandingkan saran yang diberikan oleh Kemenko PKM karena jodoh tidak dapat menggunakan pendekatan material, jadi yang seharusnya diatur Negara adalah regulasi perkawinan yang tidak akan melahirkan kemiskinan baru bukan jodoh masyarakat.
Sebenarnya pernyataan yang dikeluarkan oleh Dedi merupakan kritik terhadap Kemenko PKM, dari pernyataannya yang lebih menekankan pada pesta pernikahannya yang kemudian akan menjadi beban ekonomi, bukan pada siapa yang dinikahi. Namun keduanya seolah-olah lebih menekan pada orang miskin agar lebih 'sadar diri' dengan keadaan mereka.
Orang miskin sebagai seseorang yang kurang beruntung dalam hal ekonomi sudah merasakan sulitnya memenuhi kebutuhan hidup; sandang, pangan, dan papan. Lalu, apakah hal-hal privasi orang miskin juga perlu dibatasi oleh Negara?
Sebagai contoh, jika kemiskinan ekonomi yang dihadapi dan berimbas pada pendidikan seseorang dan mengakibatkan sulitnya mendapat akses pendidikan seperti internet, buku, dan teknologi (gawai) seharusnya Negara memfasilitasi bukan menikahi karena pendidikan sangat berpengaruh dalam meningkatkan kualitas hidup seseorang agar terbebas dari kemiskinan.
Pernyataan yang diberikan oleh Dedi dan Muhadjir akan menyinggung perasaan orang miskin. Memang siapa, sih, yang mau hidup miskin? Tidak ada. Kalimat tersebut bukan memotivasi masyarakat namun malah mengakibatkan masyarakat miskin semakin terpuruk, lebih-lebih dalam kondisi pandemi Covid-19 saat ini.
Lalu bagaimana peran Negara dalam memutus rantai kemiskinan?
Rantai kemiskinan yang terjadi berulang-ulang pada masyarakat disebut juga sebagai lingkaran setan kemiskinan. Dalam lingkaran ini terdapat tiga hal yang selalu berputar yaitu, pendapatan, kesehatan dan pendidikan. Â Keadaan ini mengartikan bahwa orang miskin adalah mereka yang berpendapatan rendah yang menyebabkan tingkat kesehatan rendah yang berdampak pada pendidikan rendah yang pada akhirnya berakibat pada rendahnya pendapatan.
Struktur ekonomi yang tidak berpihak pada masyarakat bawah menyebabkan masyarakat miskin sulit untuk keluar dari rantai kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia sejalan dengan meningkatnya ketimpangan antar masyarakat kelas atas dan bawah. Hal ini dapat dilihat dari Indeks Gini Indonesia pada tahun 2017 yang meningkat menjadi 39.0 dari 30.0 pada tahun 1990-an. Dan imbas dari Corona, pada Maret 2020 Indeks Gini melebar 0,381 dibandingkan pada September 2019 yaitu 0,380.
Untuk masyarakat yang berpendidikan rendah akan semakin sulit mendapatkan kesempatan kerja karena mereka terjebak dalam pekerjaan dengan pendapatan rendah. Mereka yang bekerja di sektor informal seperti petani dan nelayan akan merasakan lambatnya kenaikan pendapatan mereka. Sehingga ketimpangan ekonomi pun semakin melebar di Indonesia.
Begitu juga dengan peran pernikahan sebagai bentuk memutus rantai kemiskinan. Pernikahan tidak akan  memperbaiki kemiskinan. Namun, ada satu hal tentang pernikahan yang cenderung dapat mengeluarkan sebuah keluarga dari lingkaran kemiskinan: memiliki dua pendapatan. Jika kedua pasangan dalam rumah tangga bekerja maka kondisi ekonomi keluarga akan lebih membaik dari sebelumnya dengan penghasilan ganda yang didapatkan.
Kuncinya terdapat pada bagaimana Negara memberikan kesempatan dan akses pada masyarakat ekonomi lemah, bukan mengatur dengan siapa mereka akan menikah karena kemiskinan terjadi akibat dari struktur ekonomi.
Peran Negara dalam kehidupan masyarakat ekonomi lemah seharusnya memberikan fasilitas yang sepadan dengan yang dimiliki oleh masyarakat ekonomi menegah ke atas. Kesempatan yang dimiliki oleh masyarakat ekonomi lemah tidak sama dengan masyarakat ekonomi menegah ke atas. Oleh karena itu, mustahil bagi masyarakat ekonomi lemah untuk keluar dari lingkaran kemiskinan.
Dalam kondisi pandemi seperti ini penyaluran bantuan sosial yang efektif, fasilitas pendidikan yang baik untuk masyarakat ekonomi lemah, dan penambahan lapangan pekerjaan untuk masyarakat pekerja yang terkena dampak Covid-19 harusnya sudah bisa menjadi cara untuk Negara memutus rantai kemiskinan.
Pada hakikatnya, kemiskinan akan terus ada dan bertambah jika pemerintah abai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H