Mohon tunggu...
RD Putri
RD Putri Mohon Tunggu... Lainnya - A learner.

I think therefore I write.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Anak-anak dalam Belenggu Pandemi

31 Juli 2020   00:45 Diperbarui: 13 Agustus 2020   19:36 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pandemi yang terjadi mengakibatkan masyarakat membatasi kegiatannya, tidak terkecuali anak-anak. Mereka terpaksa untuk tetap tinggal di rumah untuk menghindari penularan virus. Meskipun secara kesehatan, pandemi ini bersifat diskriminatif karena Unicef mengatakan dampak virus Covid-19 pada anak-anak tidaklah besar berbeda dengan orang yang lebih tua dianggap memilki risiko lebih tinggi. Namun, anak-anak menanggung dampak sosial dan ekonomi.

Dengan banyaknya pemutusan kerja yang dialami oleh orang tua berpengaruh pada kesejahteraan anak karena ketidakstabilan ekonomi yang berujung pada kemiskinan. Situasi lainnya adalah karantina efek dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), di mana anak-anak kehilangan waktu bermain dan bersosialisasi.

Gangguan-gangguan mental yang dirasakan oleh anak jelas adanya. Anak melihat orang tua mereka dalam kondisi stres, terisolasi dari dunia luar; teman sebaya dan keluarganya, dipisahkan dari rutinitas sehari-hari seperti bersekolah, dan mendengarkan berita meresahkan perihal pandemi.

Orang tua memiliki peranan penting dalam kondisi kesehatan mental anak selama dan sesudah pandemi karena tidak ada yang tahu berapa lama ini akan berlangsung. Dan sama seperti  orang dewasa, hal ini juga dapat meningkatkan kecemasan pada anak-anak. Langkah pertama yang dapat dilakukan oleh orang tua adalah memahami bagaimana pendemi ini memengaruhi anak. Dengan memberikan rasa aman dan perlindungan pada anak selama pandemi akan menentukan apakah anak akan memiliki trauma setelah pandemi berakhir atau mereka akan akan baik-baik saja.

Selain itu, angka kemiskinan yang terus naik akibat pandemi ini menyebabkan anak-anak yang sudah berada pada garis kemiskinan merasakan dampak yang lebih nyata. Bukan hanya anak-anak yang memiliki orang tua dan wali tetapi mereka yang juga berada dalam naungan lembaga. Mereka tidak berdaya dengan apa yang mereka terima.

Menurunnya pendapatan orang tua membawa perubahan besar bagi keluarga termasuk pangan. Akan sangat sulit bagi orang tua untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari bagi keluarga yang mengakibatkan anak akan mengalami kurang gizi. Orang tua tidak akan memerhatikan kandungan gizi yang harus terpenuhi selama mereka tidak kelaparan. Bagi keluarga yang berada pada garis kemiskinan, kelaparan itu sendiri lebih mematikan dibanding wabah Covid-19.

Lebih jauh lagi, mengutip dari lembaga amal Save the Children dengan tutupnya sekolah 9,7 juta anak berisiko putus sekolah secara permanen.  Anak-anak yang berada di keluarga miskin cenderung tidak dapat meneruskan pendidikannya yang mengakibatkan mereka di masa depan tidak dapat meraih pendapatan yang lebih tinggi dan keluar dari lingkaran kemiskinan. Mereka dipaksa untuk bekerja dan perkawinan usia dini untuk menghidupi dan meringankan beban keluarga.

Dan kampanye stay at home atau di rumah aja nyatanya tidak ramah pada anak-anak. Selama masa pandemi Covid-19, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) melaporkan terdapat 809 kekerasan yang terjadi pada anak dan 52 persen diantaranya adalah kekerasan seksual. Tekanan ekonomi menjadi salah satu penyebab kekerasan. Anak lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dan orang tua kehilangan pekerjaan, ditambah dengan pembelajaran jarak jauh yang dilakukan anak memerlukan kuota internet. Stres yang meningkat dirasakan oleh orang tua menyebabkan kekerasan pada anak termasuk kekerasan seksual.

Rumah tidak lagi menjadi tempat berlindung bagi anak-anak. Dan dengan pembatasan kontak sosial, anak tidak lagi memiliki akses untuk bercerita atau mengadu atas perbuatan yang terjadi pada mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun