Mohon tunggu...
Rionanda Dhamma Putra
Rionanda Dhamma Putra Mohon Tunggu... Penulis - Ingin tahu banyak hal.

Seorang pembelajar yang ingin tahu Website: https://rdp168.video.blog/ Qureta: https://www.qureta.com/profile/RDP Instagram: @rionandadhamma

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Melawan Oligarki, Membela Pasar

30 Agustus 2020   07:28 Diperbarui: 30 Agustus 2020   08:30 2421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kini, kata "oligarki" menjadi istilah yang cukup populer. Umumnya, ia digunakan oleh para social justice warriors (SJW) sebagai kritik terhadap sistem ekonomi-politik yang bercokol di Indonesia saat ini. Tetapi, apa makna dari istilah ini?

Oligarki adalah pemerintahan oleh segelintir orang, khususnya para elit despotik yang menggunakan kekuasaan untuk tujuan korup (britannica.com, 2020). Artinya, negara dikuasai oleh segelintir kaum privileged yang menggunakan instrumen kekuasaan politik demi tujuannya sendiri. Tujuan tersebut seringnya melawan kepentingan publik secara umum.

Dari definisi tersebut, ada beberapa negara yang secara eksplisit memiliki pemerintahan oligarki. Rusia dan RRT adalah dua contoh terkuat. Di Rusia, oligarki terdiri atas para miliarder yang adalah kawan dari Presiden Vladimir Putin. Sementara RRT dikendalikan oleh oligarki pejabat Partai Komunis. Lantas, bagaimana dengan Indonesia?

Economist Intelligence Unit (EIU) menilai bahwa Indonesia termasuk sebagai demokrasi cacat/flawed democracy. Dalam Democracy Index yang mereka susun, Indonesia memperoleh skor 6,48 pada tahun 2019. Nilai ini adalah yang terendah kedua sejak satu dekade terakhir. Menguatnya sentimen anti-minoritas dan fundamentalisme agama disinyalir menjadi penyebab penurunan indeks demokrasi ini (Tehusijarana dalam thejakartapost.com, 2020)

Menurut hemat penulis, kecacatan ini terwujud dari menguatnya unsur oligarki secara tersembunyi. Oligarki menyeruak lewat munculnya berbagai dinasti politik. Ada dinasti dari keluarga Widodo, Djojohadikusumo, sampai keluarga Amin. Generasi kedua dan ketiga dari keluarga ini mulai mencoba untuk terjun ke dalam kontestasi politik.

Tentu saja hak mereka untuk terjun ke politik. Hak mereka pula untuk terlibat menjadi kontestan politik sebagai warga negara. Akan tetapi, pertumbuhan dinasti seperti ini tidak boleh dilanggengkan. Dengan kata lain, mereka harus menghadapi scrutiny dari massa rakyat yang sadar politik. Bagaimana untuk membentuk massa yang sadar politik itu?

Sejarah membuktikan bahwa kuncinya terletak pada pembentukan kelas menengah. Merekalah agen perubahan yang membumikan literasi politik. Tanpa kelas menengah yang kuat, demokrasi tidak akan tumbuh secara organik. Kalaupun ada, demokrasi itu pasti artifisial belaka, seperti yang ada di Indonesia dari 1971-1997.

Bukti historis tersebut dapat dilihat dari dinamika politik Korea Selatan, Republik Cina/Taiwan, dan Cile. Negara-negara tersebut memiliki pola perkembangan yang sama. Diktator-diktator di negeri mereka berhasil membangun kekuatan ekonomi. Akibatnya, muncul kelas menengah baru yang semakin terdidik. Sebagai kaum terdidik, mereka menuntut partisipasi politik yang lebih tinggi. Inilah bibit-bibit kemunculan demokrasi.

Dari penjelasan ini, dapat ditarik bahwa kelas menengah adalah ujung tombak demokrasi yang kuat. Kelas menengah tersebut terbentuk karena pembangunan ekonomi yang berhasil. Lebih jauh lagi, adanya kelas menengah dapat mencegah suburnya pertumbuhan oligarki. Lalu, bagaimana cara yang dapat ditempuh agar tren ini bangkit?

Penulis berpendapat bahwa cara paling efektif adalah dengan mendorong kebebasan ekonomi (economic freedom). Artinya, berikan kebebasan maksimal kepada warga negara untuk memilih dan bertindak sebagai pelaku ekonomi. Maksimalisasi ini menuntut pemerintah untuk menghilangkan berbagai instrumen proteksionisme maupun preferential treatment. Dengan kata lain, it dismantles government-made privileges from the economic system.

Ternyata, dicabutnya berbagai privilese untuk pelaku ekonomi tertentu memiliki pengaruh positif terhadap demokrasi. Miller, Kim, dan Roberts (2020:59) menyatakan bahwa peningkatan nilai Index of Economic Freedom sebesar 1 poin akan mendorong nilai Democracy Index sebesar 0,64 poin. Berikut adalah hasil regresinya:

Sumber: www.heritage.org/pdf
Sumber: www.heritage.org/pdf
Dari regresi ini, dapat dilihat bahwa demokrasi menguat ketika perekonomian menjadi semakin bebas. Kebebasan tersebut diakomodasi oleh eksistensi sektor privat yang dominan dan pasar bebas yang kuat. Implikasinya, kalau kita ingin melawan oligarki, pasar adalah sistem organisasi ekonomi yang harus kita bela. Mengapa?

Ketika privilese seperti hak monopoli, subsidi pemerintah, dan lain sebagainya dicabut, maka barriers of entry menuju berbagai sektor ekonomi berkurang. Pengurangan barrier inilah yang memicu banyak pesaing baru untuk masuk. Selanjutnya, persaingan inilah yang memicu penurunan harga dan peningkatan kualitas barang dan jasa.

Lihat saja harga output seperti kalkulator, televisi, dan gawai pintar yang semakin ekonomis. Tren penurunan ini membuat semakin banyak individu mengalami kenaikan standar hidup. Maknanya, ada arus mobilitas sosial-ekonomi naik menuju kelas menengah. Mobilitas tersebut membentuk massa rakyat yang lebih sadar akan hak dan kewajiban politiknya.

Kesadaran tersebut terwujud dalam dua cara. Pertama, menuntut hak representasi di arena politik. Kedua, melakukan kewajiban berpartisipasi dalam proses politik. Representasi berarti bahwa masyarakat menghendaki their politicians to represent them. Partisipasi adalah ketika aspirasi masyarakat memiliki pengaruh dalam proses politik, alias suaranya didengar.

Kalau ini terjadi, kita dapat melihat sebuah arus kaderisasi politik baru. Akan ada banyak politisi baru yang muncul. Mereka tidak datang dari kelindan keluarga dinasti politik atau oligarki ekonomi. Justru, mereka datang dari latar belakang yang biasa saja. Sama seperti kebanyakan orang dan mereka mengerti aspirasi di akar rumput.

Istilah politik Inggris menyebutnya sebagai the meritocratic experiment. Sejak kembalinya kelas menengah di era 1950an, muncul berbagai sosok Perdana Menteri yang bukan berasal dari keluarga aristokrat maupun politisi karir. Dari Harold Wilson (1964) sampai Gordon Brown (2010), mereka semua datang dari latar belakang biasa.

Kelas non-career dan non-establishment politicians inilah yang mampu mendobrak oligarki. Apalagi mereka bertarung di ring yang sama. Dengan cara ini, gejala pemusatan kekuasaan di tangan segelintir elit bisa dicegah dengan efektif lewat mekanisme persaingan. Sehingga, produk dari sistem politik tersebut bisa sejalan dengan aspirasi rakyat.

"I'm proud that we dismantle a lot of privileges," kata Roger Douglas, menteri keuangan Selandia Baru 1984-1988. Inilah cara yang seharusnya kita tempuh untuk menumpas oligarki; lewat persaingan dan menghapus privilese untuk kelas atas. Bukan retorika semata.

REFERENSI

https://www.britannica.com

https://www.thejakartapost.com

https://www.heritage.org/pdf

Disclaimer: Tulisan ini sudah terbit di laman Qureta penulis.

Link: https://www.qureta.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun