Kini, millennials/generasi milenial mendominasi diskusi demografi Indonesia. Bahkan, kata 'milenial' menjadi istilah terpopuler di KBBI pada tahun 2019 (wartaekonomi.co.id, 2020).Â
Popularitas ini muncul karena generasi milenial begitu dijunjung tinggi. Merekalah generasi emas yang dianggap sebagai pembawa kemajuan. Namun, apakah anggapan ini benar?
Dalam rangka menjawab pertanyaan ini, mari kita pahami dulu siapa generasi milenial. Foot (dalam Ng dan Johnson, 2015:122) menyatakan bahwa millennials adalah kelompok penduduk yang lahir di tahun 1980-1995. Mereka adalah anak dari generasi Baby Boomer (1946-1964). Iya, generasi yang sering kita ledek dengan slogan OK Boomer!
Lahir pada era yang sama membawa kesamaan karakteristik di antara mereka. Salah satu karakter yang dominan adalah ambisi yang tinggi. Selanjutnya, generasi ini juga memiliki ekspektasi yang tinggi dalam bekerja. Terakhir, millennials juga asertif dalam menyatakan permintaan mereka (Ng dan Johnson, 2015:130).
Lantas, generasi baru ini sudah mulai bertambah banyak. BPS (Aji dalam setkab.go.id, 2019) menyatakan bahwa ada 90 juta millennials pada tahun 2018. Tentu saja jumlah ini tidak main-main. Hampir 100 juta manusia Indonesia lahir pada 1980-1995. Mereka menghadapi pengalaman yang serupa selama waktu tersebut. Termasuk pengalaman sejarah ekonomi.
Selama kehidupan generasi ini, mereka sudah menyaksikan tiga krisis besar. Pada tahun 1998, terjadi krisis moneter Asia yang berujung pada krisis multidimensional akut. Selanjutnya, krisis finansial global yang datang dari Amerika Serikat terjadi di tahun 2008. Terakhir, 2020 datang dengan pandemi COVID-19 yang memicu krisis ekonomi global.
Bayangkan, tiga krisis besar dalam periode 25 tahun. Fakta ini menunjukkan bahwa millennials menghadapi sejarah ekonomi yang volatil. Ternyata, dinamika pertumbuhan PDB per kapita kita selama 25 tahun terakhir menunjukkan hal yang sama. Lihat saja kurva berikut ini (data.worldbank.org, 2020):
Ada banyak pelajaran yang bisa diambil millennials. Tetapi, satu pelajaran penting bertahan hingga saat ini. Dalam menghadapi dinamika ekonomi, kita harus memiliki pengetahuan yang cukup. Dengan kata lain, literasi ekonomi adalah sabuk pengaman kita untuk menghadapi kereta luncur ekonomi. Apa itu literasi ekonomi?
Salemi (2005:47) menyatakan bahwa literasi ekonomi adalah kemampuan aplikasi konsep ekonomi dasar dalam situasi kehidupan sehari-hari yang berbeda dari kasus teoretis di dalam kelas. Jadi, lulusan fakultas ekonomi/bisnis pun belum tentu memiliki literasi ekonomi yang mumpuni. Ketajaman literasi itu dilihat dari praktek, bukan hanya teori semata.
Ilmu ekonomi secara umum terdiri atas dua cabang; mikroekonomi dan makroekonomi. Mikroekonomi membahas tentang bagaimana rumah tangga produsen dan konsumen membuat keputusan dan berinteraksi di pasar. Makroekonomi membahas tentang fenomena yang berlaku di seluruh perekonomian, seperti inflasi dan pengangguran (Mankiw, 2018:27).