Pada-Mu Tuhan Kuserahkan Semua
Hanya Engkaulah tempatku berteduh
Pada-Mu Tuhan kumohon pengampunan
Hapuskanlah semua dosa hidupku
Refrain lagu Kuserahkan dari Bintang Rock Indonesia ini masih bergaung hingga 2020. Buktinya, Pew Research Center (2020) menyatakan bahwa Indonesia adalah negara paling religius di dunia. Dari 34 negara yang disurvey, kita adalah the most devout country in the world.
98% responden Indonesia menyatakan bahwa agama sangat penting dalam kehidupan mereka. Selain itu, 96% juga menyatakan bahwa manusia perlu percaya kepada Tuhan YME agar mempunyai moralitas. Terlebih lagi, 95% juga menjadikan doa sebagai bagian penting keseharian. Terakhir, 91% merasa bahwa Tuhan berperan penting dalam hidup mereka (Pew Research Center, 2020).
Ternyata, tren ini bukan sebuah surge jangka pendek yang disebabkan COVID-19 atau resesi ekonomi. Ini adalah sebuah tren jangka panjang bagi negeri kita. Sejak disurvey pada tahun 2006, persentase responden Indonesia yang menganggap agama sangat penting selalu berada di atas 90%. Lihat saja grafik berikut ini (Pew Research Center, 2020:36):
![www.pewresearch.org](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/07/28/persentase-indo-png-5f2018f9d541df604b417e12.png?t=o&v=770)
Temuan survey ini menunjukkan bahwa negara-negara berkembang lebih religius dibandingkan negara-negara maju. Warga negara berkembang dua kali lipat lebih tinggi dalam menjadikan doa sebagai bagian penting hidup mereka. Terlebih lagi, lebih dari 90% warga negara berkembang merasakan Tuhan penting dalam hidup mereka. Sementara, kurang dari setengah warga negara maju merasakan hal ini (Pew Research Center, 2020:15).
Sehingga, dapat dikatakan bahwa Indonesia adalah refleksi global trend on steroids. Berbicara soal tren global, ada satu korelasi yang cukup genting. Apalagi kita sedang mengejar variabel independen (X) korelasi ini dengan segala daya. Lantas, bagaimana pola korelasi ini?
Korelasi/hubungan tersebut terjadi antara PDB per kapita tahun 2019 dengan persepsi keterikatan agama-moral. PDB per kapita adalah variabel X dan persepsi di atas adalah variabel Y. Hubungan keduanya bersifat negatif/inverse dengan korelasi sebesar 0,86. Akibatnya, kenaikan 1% dari PDB per kapita menurunkan persepsi keterikatan agama-moral sebesar 0,86% dan sebaliknya, ceteris paribus.
Angka-angka ini diperoleh dari analisis regresi data 34 negara yang disurvey. Perhatikan letak Indonesia dalam scatter plot ini (Pew Research Center, 2020:7):
![www.pewresearch.org](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/07/28/gr-5f20183ed541df30d51c88f4.png?t=o&v=770)
Dalam model ini, kenaikan PDB per kapita akan menurunkan nilai persepsi keterikatan agama-moral. Artinya, the wealthier a nation gets, its citizen become less religious. Menurut hemat penulis, tren ini harus kita hindari. Jangan sampai kita menjadi seperti Swedia, makmur namun tidak religius.
Setidaknya, kita harus bisa menyamai pencapaian Amerika Serikat. Rakyatnya memiliki PDB per kapita terbesar. Namun, tingkat persepsi keterikatan agama-moralnya kuat dibandingkan advanced economies lainnya. Paduan keduanya membentuk keseimbangan material wealth dan spiritual health.
Lantas, bagaimana cara mencapainya? Pertama, masukkan pelajaran pembangunan karakter (character building/education) dalam kurikulum sekolah dasar. Kedua, wajibkan ibadah sebelum memulai sekolah setiap hari. Padanan keduanya dapat mempertahankan internalisasi nilai agama dan moral.
Apa itu pelajaran character building? Mata studi ini adalah sebuah pembelajaran yang memperkenalkan peserta didik terhadap perilaku benar untuk menjadi warga negara yang berguna. Perilaku yang benar tersebut berlandaskan nilai-nilai etika dasar. Nilai-nilai tersebut adalah tanggung jawab, rasa hormat, keadilan, dan lain sebagainya (talkingtreebooks.com, 2020).
Melalui pembelajaran ini, sisi moral dari peserta didik diperkuat. Mereka dibentuk menjadi generasi penerus bangsa yang sadar akan nilai moral. Sehingga, mereka akan mengambil tindakan berdasarkan nilai-nilai moral tersebut. Bukan hanya untuk material gain semata. Ketika mereka dikumpulkan, maka akan terbentuk konstruksi masyarakat yang sesuai nilai moral.
Sementara, solusi kedua berfokus pada internalisasi nilai dan praktek agama. Jika kita ingin mempertahankan religiusitas, maka ibadah harus diwajibkan dalam proses pendidikan. Dengan praktek ini, unsur agama akan menjadi bagian dari kehidupan akademik peserta didik. Diharapkan, integrasi praktek agama akan menanamkan nilai-nilai agama secara efektif.
Kesimpulannya, predikat Indonesia sebagai negara paling religius di dunia harus dipertahankan. Namun, dia tidak perlu dipertahankan dengan mengurangi derap pembangunan ekonomi. Justru, kita bisa melakukan keduanya melalui pendidikan dengan internalisasi agama yang intensif. Dampaknya, pendidikan akan menjadi katalisator positif bagi kemakmuran dan religiusitas.
Kita tetap membangkitkan mobilitas sosial-ekonomi yang memicu kenaikan PDB per kapita. Namun, pelaku mobilitas tersebut tidak akan lupa akan nilai moral-agama yang pernah dipelajarinya. Molding wealth creators with strong moral values, that's what we must do.
REFERENSI
https://www.pewresearch.org/global/2020/07/20/the-global-god-divide/. Diakses pada 28 Juli 2020 (10.17).
https://www.pewresearch.org/global/wp-content/uploads/sites/2/2020/07/PG_2020.07.20_Global-Religion_FINAL.pdf. Diakses pada 28 Juli 2020 (10.17).
https://talkingtreebooks.com/definition/what-is-character-education.html. Diakses pada 28 Juli 2020 (12.29).
Disclaimer: Tulisan ini sudah terbit di laman Qureta penulis.
Link:Â https://www.qureta.com/next/post/menjaga-religiositas-seiring-pembangunan-ekonomi.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI