Upaya-upaya di atas adalah political cancelation. Bagaimana dengan personal cancelation? Berkat media sosial, personal cancelation menjadi semakin marak. Bayangkan, sekarang cancelation bisa dilakukan hanya dengan satu-dua kali klik. Unfollow, unsubscribe, atau bahkan block. Selesai sudah.
Budaya baru ini sudah menelan banyak korban di seluruh jagat. Apalagi di Indonesia yang mempunyai massa warganet yang besar dan reaktif. Nama-nama seperti Awkarin, Younglex, dan Ahmad Dhani pernah mengalaminya (Rizka dalam mojok.co, 2020). Dengan kata lain, mereka diboikot dan dikucilkan oleh para warganet maha benar.
Fenomena ini membuat penulis bertanya. Apakah ini perkembangan yang bagus? Iya, jika dunia ini adalah sinetron. Khususnya sinetron-sinetron masa kini yang beredar di layar kaca kita. Tayangan-tayangan ini menyajikan sebuah dunia yang jauh dari kenyataan.
Beginilah dunia ala sinetron sekarang. Ada tiga jenis tokoh yang sangat kentara. Pertama, tokoh yang 100% protagonis dan selalu ditindas. Kedua, tokoh tritagonis yang hanya menjadi penghias. Ketiga, tokoh yang 100% antagonis dan selalu menindas.
Jika dunia adalah demikian, cancel culture adalah penyeimbang yang cocok. Siapa coba yang tidak mau memusnahkan tokoh seperti Bu Novi dari Samudera Cinta? Mischa dari Cinta Fitri? Atau Karin dari Catatan Hati Seorang Istri?Â
Menurut penulis, cancel culture dapat menghilangkan mereka dari muka publik dan do justice untuk tokoh-tokoh protagonis yang selalu mereka tindas.
Masalahnya, dunia tidak seperti itu Bung. Pada panggung sandiwara peradaban, kita semua adalah pemeran utama yang tidak sempurna. Ada kelebihan dan kekurangan masing-masing.Â
Maka dari itu, semua tokoh (alias setiap kita) harus dipandang secara utuh. Tidak bisa dipukul rata sebagai protagonis maupun antagonis. Jika iya, objektivitas dalam memandang seseorang pasti sirna.
Justru, cancel culture menjadi wujud terbaru dari upaya pukul rata ini. Seakan-akan seorang figur publik itu layak dihapus dari muka publik karena satu kesalahan.Â
Dulu, pepatah mengatakan, "Karena nila setitik, rusak susu sebelanga." Kini, cancel culture mengubahnya menjadi, "karena nila setitik, dihapus susu sebelanga."
Dalam budaya ini, warganet seakan seperti Dalek-Dalek kecil yang bisa sewaktu-waktu berseru exterminate! Setiap kesalahan atau perilaku yang ditentang dari figur publik bisa memicu reaksi ini. Ketika reaksi tersebut muncul, sang figur publik langsung berubah di mata warganet. Dari yang sebelumnya dikagumi dan dihormati menjadi bandit yang terhina dan patut musnah.