Maka dari itu, sistem PPDB Zonasi harus segera diganti dengan sistem yang membangun kompetisi di antara sekolah-sekolah. Sistem itu bernama school choice, diwujudkan lewat School Vouchers atau Education Savings Account. Melalui upaya ini, maka pendanaan sektor publik terhadap pendidikan akan diberikan langsung kepada peserta didik sebagai konsumen. Dampaknya, mereka juga memiliki opsi sekolah yang lebih luas dibanding sebelumnya; sekolah negeri dan swasta di seluruh wilayah Indonesia.
Lebih rinci lagi, kekuatan memilih (freedom of choice) di tangan calon peserta didik dan orang tua murid dapat memperkuat insentif sekolah sebagai produsen untuk memperbaiki kualitas institusinya. Tanpa perbaikan ini, jumlah murid yang mereka dapatkan semakin sedikit dan sekolah tersebut bisa ditutup. Apalagi orang tua murid dapat menuntut tanggung jawab dari sekolah sebagai pembayar biaya pendidikan. Sehingga, keberadaan dua mekanisme ini mendorong sekolah-sekolah untuk terus melakukan continuous improvement.
Jadi, PPDB Zonasi adalah kegagalan konsep yang harus kita sadari. Menjamin kesuksesan sistem pendidikan tidak dilakukan dengan menjamin keberadaan peserta didik bagi sekolah. Begitu pula dengan membatasi pilihan calon peserta didik sebagai konsumen. Justru, kesuksesan sistem pendidikan akan mengakar ketika pemerintah memberikan kuasa kepada orang tua murid dan peserta didik untuk memilih pendidikan mereka.
REFERENSI
mamikos. Diakses pada 26 Juni 2020.Â
kompas. Diakses pada 26 Juni 2020.
Disclaimer: Tulisan ini sudah terbit pada laman Qureta penulis.
Link:Â qureta. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H