Ketiga, dari aspek peraturan, regulasi mengenai persampahan masih terbatas dan penegakkannya belum tegas.
Keempat, dari aspek peran serta masyarakat, kesadaran kita untuk mengelola sampah secara mandiri masih rendah.
Kelima, dari aspek teknis operasional, TPA Indonesia masih menggunakan open dumping yang berbahaya (Hendra, 2016:89-90).
Pemaparan di atas menunjukkan bahwa ancaman sampah masih bertaji di negeri kita karena akar permasalahannya begitu dalam. Kebiasaan hidup masyarakat kita masih waste-intensive.
Penegakkan regulasi mengenai pembuangan sampah juga lemah. Apalagi sistem pengelolaan sampah yang kita miliki tidak mumpuni. Sehingga, sampah yang kita produksi tidak diolah dengan benar.
Akar permasalahan yang dalam membutuhkan gebrakan solusi yang fundamental. Dengan kata lain, sebuah formulasi kebijakan yang dapat mendorong perubahan perilaku dalam rantai pengelolaan sampah kita.
Dari hulu (rumah tangga) sampai hilir (tempat pembuangan akhir). Melalui perubahan ini, diharapkan ancaman sampah bisa dimitigasi dan diselesaikan secara komprehensif.
Lantas, bagaimana dasar formulasi kebijakan tersebut? Dasarnya, formulasi tersebut harus mampu membuat pembuangan sampah merugikan secara ekonomi.
Dengan kata lain, make waste disposal expensive. Adanya biaya ekonomi yang dikenakan akan membuat individu memiliki insentif untuk menghindari tindakan pembuangan sampah. Dampaknya, individu akan mencari cara untuk mengurangi tingkat pembuangan sampahnya.
Maka dari itu, pemerintah daerah dapat memulai dengan memberikan charge/retribusi terhadap setiap kilogram sampah yang dikumpulkan dari rumah tangga.
Adanya retribusi ini dapat membuat warga membayar dan sadar akan social cost dari membuang sampah. Skema seperti ini sudah berjalan dengan sukses di negara-negara seperti Korea Selatan dan Singapura. Mungkin sekarang waktunya kita menyusul.