Setelah peluncuran produk solar B30, Pertamina kembali meluncurkan gebrakan baru. Sekarang, Pertamina akan menghapus bensin jenis Premium, Pertalite, Solar, dan Dexlite dari peredaran.Â
Terobosan ini dilakukan seiring dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2017 mengenai batasan Research Octane Number (RON).Â
Artinya, Pertamina melakukan upaya catching-up dengan dinamika regulasi pemerintah. Lalu, mengapa pemerintah ingin menghapus bensin beroktan rendah lewat regulasi?
Alasan paling utama adalah faktor lingkungan. Bensin beroktan rendah (di bawah RON 91) menghasilkan emisi yang lebih besar. Sehingga, bahan bakar seperti Premium, Pertalite, dan Solar lebih berbahaya bagi lingkungan. Lantas, bahaya ini semakin mengancam ketika kita melihat pola konsumsi bahan bakar masyarakat Indonesia (Kusnandar dalam databoks.katadata.co.id, 2019).
Grafik tahun 2008-2018 di atas menunjukkan bahwa konsumsi BBM RON 88 (Premium) menurun sebanyak 64% seiring dengan keluarnya BBM RON 90 (Pertalite).Â
Selain itu, terjadi peningkatan 22% dari konsumsi Pertalite. Sayangnya, konsumsi BBM RON 92 (Pertamax) justru mengalami penurunan sebanyak 8,8% serta BBM RON 95, 98, dan 100 (Pertamax Turbo dan Pertamax Racing) hanya naik 1,57%.Â
Sehingga, BBM beroktan rendah tetap mendominasi pasar. Bahkan, 82,44% dari konsumsi BBM Indonesia masih didominasi oleh BBM beroktan rendah.
Dominasi inilah yang berusaha diberantas lewat upaya penghapusan BBM beroktan rendah. Diharapkan, peniadaan produk-produk tersebut dapat memaksa konsumen untuk beralih pada bahan bakar yang ramah lingkungan atau mendorong penggunaan transportasi umum. Akibatnya, angka emisi bisa ditekan dalam jangka panjang.
Faktor lingkungan muncul dari sisi konsumsi. Bagaimana dari sisi produksi? Dari sisi Pertamina sebagai produsen, jelas ada faktor cuan yang bermain. Melalui penghapusan empat produk beroktan rendah, Pertamina melakukan simplifkasi produk secara drastis. Dari yang sebelumnya delapan produk menjadi empat produk.Â
Dengan upaya ini, Pertamina dapat memangkas unit produksi dan distribusi yang diperlukan. Pemangkasan ini muncul dari berkurangnya kebutuhan penyulingan dan storage yang diperlukan oleh perseroan. Sehingga, biaya rata-rata produk BBM yang dipasarkan menurun. Jika biaya produksi berhasil ditekan, maka model bisnis Pertamina akan semakin menguntungkan. Selain itu, harga BBM yang tertera di SPBU-SPBU kita bisa diturunkan.
Lantas, penurunan harga BBM inilah yang diperlukan oleh konsumen. Mengapa? Sebab harga jual BBM di POM bensin kita terlalu mahal.
Kini, Pertamax Turbo (RON 95) dijual pada harga Rp 9.850/liter. Akan tetapi, harga BBM RON 95 pada negara-negara tetangga kita jauh lebih rendah. Malaysia menjualnya pada Rp 4.387/liter. Myanmar mengenakan harga 5.478,31/liter. Terakhir, Vietnam memberikan harga Rp 7.582,96/liter untuk BBM RON 95 (Baskoro dalam industri.kontan.co.id, 2020).Â
Sehingga, langkah ini harus dilakukan jika pemerintah benar-benar ingin menolong rakyat; Menyediakan BBM berkualitas dan ramah lingkungan dengan harga yang kompetitif. Bukan dengan terus mencekoki masyarakat BBM yang tidak ramah lingkungan dan not value for money.
Meski demikian, langkah ini bukan tongkat ajaib yang menyelesaikan masalah ekonomi-lingkungan. Dia hanya batu loncatan jangka menengah yang membantu bangsa ini naik kelas dalam pemenuhan energi. Dari BBM beroktan rendah menuju BBM beroktan tinggi. Tentu saja ini harus terjadi. Namun, di masa depan, kita harus beralih dari BBM itu sendiri menuju energi baru terbarukan (EBT).
Bagaimana cara kita menyongsong peralihan tersebut? Menurut hemat penulis, cara terbaik adalah dengan mengubah pola konsumsi masyarakat dan mendukung research & development (R&D).Â
Lebih jauh lagi, keduanya harus dipromosikan lewat kebijakan publik untuk mengubah insentif secara makro. Intinya, buat penggunaan bahan bakar tidak terbarukan menjadi mahal dan R&D energi terbarukan terjangkau.
Dalam mendorong biaya penggunaan bahan bakar tidak terbarukan, pemerintah bisa memulai dengan meningkatkan pajak atas BBM (PPh). Selanjutnya, pemerintah juga sebaiknya merubah basis objek pajak kendaraan bermotor.Â
Jika sekarang kapasitas mesin (dalam CC) menjadi salah satu basis penentuan pajak, maka ini harus diganti dengan jumlah emisi yang dikeluarkan. Sehingga, masyarakat akan mengubah preferensinya menuju kendaraan beremisi rendah. Terakhir, pemerintah melalui Pertamina juga dapat memperbanyak Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG).Â
Sementara, dalam mendukung R&D energi terbarukan, pemerintah sudah melakukan langkah yang benar dengan memberikan tax holiday dan tax allowance untuk keduanya.Â
Namun, harus ada upaya kebijakan publik yang lebih mendasar lagi. Upaya tersebut dapat diwujudkan lewat perubahan terhadap basis objek pajak korporasi (PPh 23) dari net income menuju distributed net profit/dividen.Â
Akibatnya, korporasi di Indonesia tidak akan dikenakan pajak untuk reinvestasi labanya (reinvestment), termasuk ke dalam bidang penerapan EBT yang menghemat biaya energi.
Kesimpulannya, penghapusan BBM beroktan rendah adalah pil pahit yang harus ditelan untuk menyelamatkan ekonomi dan lingkungan kita. Akan tetapi, pemerintah harus menerapkan market-based policies untuk memupuk transisi menuju EBT. Tanpa penerapan ini, Indonesia akan kembali tertinggal dalam transisi menuju green economy di masa mendatang.
REFERENSI
money.kompas.com. Diakses pada 22 Juni 2020.Â
cnnindonesia.com. Diakses pada 22 Juni 2020. Â
industri.kontan.co.id. Diakses pada 22 Juni 2020.
Disclaimer: Tulisan ini sudah terbit di laman Qureta penulis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H