"Pancasila dasar negara. Rakyat adil makmur sentosa. Pribadi bangsaku, ayo maju maju, ayo maju maju, ayo maju maju!"
Itulah bunyi refrain lagu Garuda Pancasila yang patriotik. Kita sudah menghafalkan lagu ini sejak kecil. Setiap 17 Agustus, lagu ini pasti dinyanyikan. Akan tetapi, apakah kita benar-benar memaknainya?
Menurut hemat penulis, begini maknanya. "Pancasila dasar negara" menyatakan bahwa ideologi Pancasila adalah dasar kita dalam hidup bernegara. Lantas, tujuan hidup bernegara dinyatakan dalam "rakyat adil makmur sentosa". Gemah ripah loh jinawi. Dasar hidup itu tertanam di antara manusia Indonesia dan menjadi "pribadi bangsaku". Akhirnya, kombinasi fundamen, tujuan, dan karakter bangsa ini akan membawa kita menuju kemajuan.
Intinya, Pancasila adalah batu pertama dari jalan kita menuju kemajuan. Our first stepping stone yang diletakkan para Bapak Bangsa 75 tahun yang lalu. Inilah ideologi terbuka yang secara ideal mampu menggalang kekuatan manusia Indonesia untuk berderap menuju kemajuan. Akan tetapi, apakah kita sudah maju?
Tentu saja belum. Jelas kita belum mencapai tujuan ideal yang diharapkan pada alinea ketiga Preambul UUD 1945. Oke, bangsa Indonesia sudah merdeka dan berdaulat secara politik. Namun, apakah kita sudah bersatu di tengah polarisasi sosial yang kian intensif? Apakah Indonesia sudah adil dengan sistem hukum yang masih korup? Terakhir, apakah kita sudah makmur dengan 24,97 juta penduduk yang masih miskin?
Akan tetapi, premis belum maju bukan berarti kita tidak mengalami kemajuan. Setelah 75 tahun, Indonesia sudah menjadi middle-income country. Kini, ekonomi Indonesia terintegrasi dengan rantai nilai global. Terlebih lagi, kita juga menikmati alam demokrasi yang tidak pernah dirasakan para pendahulu kita. Demokrasi inilah yang menjadi api bagi kemajuan kita.
Api sendiri adalah barang illith. Sebuah unsur yang jika jumlahnya sesuai akan berguna bagi manusia. Tetapi, manusia akan dirugikan bila jumlahnya terlalu banyak. Begitu pula dengan demokrasi. Adanya sistem yang memicu diskusi dan debat terbuka memang diperlukan untuk maju. Namun jika keterbukaan itu sudah kebablasan, maka dia akan berbahaya untuk kemajuan.
Pernyataan ini dibuktikan dengan kasus diskusi pemecatan Presiden yang viral kemarin. Seminar yang diadakan oleh Constitutional Law Society (CLS) UGM itu dibatalkan karena adanya intimidasi dari pihak lain. Tak main-main, ancaman tersebut disampaikan kepada Guru Besar Universitas Islam Indonesia, Ni'matul Huda sebagai narasumber. Tema seminar yang terkesan memicu makar dan aksi saling mengancam antara warga sipil menunjukkan ekses dari demokrasi kita. Ternyata, alam diskusi yang bebas belum menghasilkan diskursus yang bernas.
Munculnya kasus ini di tengah pandemi COVID-19 menunjukkan posisi kita yang berbahaya. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Berbagai luka yang timbul dari disrupsi COVID-19 digarami oleh luka ekses demokrasi. Dengan kata lain, kita sedang berada di bawah dalam roda kehidupan sebagai bangsa. We are on a new low, sebuah penurunan yang tidak pernah dihadapi apalagi dibayangkan sebelumnya.
New low ini sungguh signifikan. Bahkan bisa disejajarkan dengan Revolusi 1945, Kudeta Militer 1965, dan Reformasi 1998. Mengapa? Kita sebagai bangsa dipaksa untuk menghadapi sebuah persimpangan. Memilih di antara alternatif jalan yang tak mungkin kelihatan tatkala  berada di atas angin.