Pada pukul 6 pagi WIB tadi, Brexit resmi terjadi. Kini, Inggris sudah bukan anggota Uni Eropa lagi. Sebagai Anglophile, penulis mengikuti berbagai perayaan dan hitung mundur yang dilakukan lewat live YouTube. Menontonnya saja membawa euforia bagi penulis. Mengapa? Sebab ada angin perubahan yang bertiup kencang di British Isles dan Eropa Kontinental. Wind of change is blowing through.
Menyaksikan peristiwa bersejarah ini mengingatkan penulis pada peristiwa sejarah lain. Ia terjadi 31 tahun yang lalu di Berlin. Sama seperti Brexit 31 Januari, rakyat berduyun-duyun merayakan perubahan yang terjadi. Apa peristiwa tersebut? Runtuhnya Tembok Berlin pada 9 November 1989. Kombinasi miskomunikasi birokrasi dan people power meruntuhkan pemisah antara Blok Timur dan Blok Barat.
Tersiarnya peristiwa ini menandai kemenangan Blok Barat dalam Perang Dingin. Satu demi satu, rezim komunis digulingkan oleh angin demokrasi yang bertiup. Setelah domino-domino di Blok Timur berjatuhan, akhirnya Uni Soviet pun runtuh pada 26 Desember 1991.Â
Ternyata, pada masa itu, ada sebuah band hard rock Jerman Barat yang menangkap angin demokrasi dari perspektif historis. Lantas, fenomena perubahan historis ini menjadi inspirasi karya mereka yang paling hits di pasaran. Siapakah band tersebut? Kawula Boomers dan Gen-Xers pasti tahu. Band itu adalah Scorpions dengan lagu Wind of Change.
Mahakarya ini sendiri terinspirasi dari apa yang dialami Klaus Meine dkk ketika manggung di Uni Soviet pada Agustus 1989. Pada masa itu, reformasi GPD (Glasnots, perestrioka, demokratiya) sedang gembor-gembornya di Uni Soviet. Salah satu wujud nyata dari glasnots (keterbukaan) adalah dengan mengizinkan band populer Barat untuk tampil di Moscow Music Peace Festival. Scorpions menjadi salah satu band yang tampil.
Melihat kebebasan berekspresi yang berbunga di negara komunis membuat band Jerman Barat ini tersentuh. Memiliki harapan baru akan perdamaian dunia. Apalagi mereka adalah generasi yang hidup di bayang-bayang Tirai Besi. They knew what the wall, division, and bitterness was like (Bienstock dalam rollingstone.com, 2015).
Lantas, fenomena dan perasaan inilah yang mereka gubah dalam lagu Wind of Change. Sesuai tren era tersebut, genre dan aransemen yang digunakan tetap hard rock. Namun iramanya mirip ballad. Kombinasi inilah yang membuat lagu ini dijuluki sebagai power ballad milik Scorpion.Â
Secara musik, lagu ini superb. Tak diragukan lagi kapabilitas Rudolf Schenker dan Matthias Jabs sebagai gitaris. Begitu pula dengan hentakan drum nan dinamis dari Herman Rarebell. Apalagi dengan dentum bass Francis Buchholz. Dipadukan dengan suara Klaus Meine yang unik memunculkan sebuah karya yang superb.
Akan tetapi, hal yang membuat penulis kagum adalah lirik lagu ini. Buat penulis, kata-katanya memberikan kesan historis tersendiri. Kesan inilah yang menimbulkan getaran berbeda ketika mendengar lagu ini. Rasanya, hati pendengar dibawa kembali pada optimisme dan antisipasi era 1989-1991, di mana Perang Dingin berakhir. With a decisive victory for freedom and democracy.
Berikut adalah lirik-lirik tersebut (azlyrics.com, 2020):
I follow the Moskva
Down to Gorky Park
Listening to the wind of change
An August summer night
Soldiers passing by
Listening to the wind of changeÂ
Bagian pertama verse langsung menggambarkan perubahan di ruang publik Uni Soviet, khususnya di Moskow. Meine menggambarkan bahwa angin perubahan bisa didengar di taman Gorky. Bahkan tentara Soviet yang lewat pun mendengarnya.
Walking down the street
Distant memories
Are buried in the past forever
I follow the Moskva
Down to Gorky Park
Listening to the wind of change
Sementara, bagian kedua verse langsung menggambarkan "prediksi" mereka akan masa depan Blok Timur. Ternyata, Meine cukup prophetic di sini. Represi dan koersi yang dibawa oleh komunisme adalah memori masa lalu. Sebuah memori yang terkubur, tetapi tidak akan pernah bisa dilupakan oleh yang pernah mengalaminya.
Take me to the magic of the moment
On a glory night
Where the children of tomorrow dream away
in the wind of changeÂ
Selain itu, ada juga bagian refrain yang diingat semua orang. Bagian ini melukiskan bagaimana generasi selanjutnya (millenials dan seterusnya) akan memimpikan dan membuat perubahan. Creating and feeling a wind of change for themselves. Bahkan sampai bermimpi di dalam angin perubahan. Sungguh sebuah kiasan yang indah.
The wind of change
Blows straight into the face of time
Like a stormwind that will ring the freedom bell
For peace of mind
Let your balalaika sing
What my guitar wants to sayÂ
Sayangnya, ada bagian lagu ini yang belum terwujud. Iya, angin perubahan memang membawa demokrasi di mayoritas wilayah bumi ini. Brexit menjadi bukti dari pernyataan ini. They are back to full parliamentary democracy. Tetapi, Rusia kini justru dicengkeram oleh sebuah oligarki. Sistem kekuasaan oligarki yang dilindungi oleh pemerintahan otokratik Vladimir Putin. Ironis. Demokrasi baru di era 90an berujung pada otokrasi.
Lagu ini memang bukan favorit penulis. But this song is one among millions. Kombinasi musikalitas, ketepatan historis, dan kekuatan lirik membuat lagu ini bersinar. Sama seperti lagu We'll Meet Again dan White Cliffs of Dover di era Perang Dunia II.
This is the right song at the right time. And eternally relevant too.
SUMBER
rollingstone.com. Diakses pada 1 Februari 2020.
azlyrics.com. Diakses pada 1 Januari 2020.
Disclaimer: Tulisan ini sudah terbit di laman Qureta penulis.
Link:Â qureta.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H