Mohon tunggu...
Rionanda Dhamma Putra
Rionanda Dhamma Putra Mohon Tunggu... Penulis - Ingin tahu banyak hal.

Seorang pembelajar yang ingin tahu Website: https://rdp168.video.blog/ Qureta: https://www.qureta.com/profile/RDP Instagram: @rionandadhamma

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Polarisator Isu Lingkungan Terparah Saat Ini

26 Januari 2020   20:29 Diperbarui: 26 Januari 2020   20:41 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kini, dunia sedang diguncang oleh seorang remaja putri. Beliau terkenal dengan pertanyaannya yang menusuk para pemimpin dunia, "How dare you?!" Begitu menarik, sampai pertanyaan ini menjadi objek meme di internet. Begitu menusuk dan berani, sampai Beliau diangkat sebagai Time Person of the Year 2019. Sudah ketebak kan siapa dia? Iya, Beliau adalah Greta Thunberg.

Gadis Swedia ini adalah seorang aktivis lingkungan yang sedang hype. Beliau adalah pencetus dari gerakan School Strike 4 Climate (SS4C). Dari Swedia, gerakan ini viral dan menyebar ke seluruh dunia. Termasuk ke Indonesia.

Pada September 2019, Greenpeace dan 50 komunitas peduli lingkungan lainnya melaksanakan aksi Climate Strike sebagai respon terhadap kerusakan lingkungan (Alfarizi dalam tekno.tempo.co, 2019).

Aksi mogok sekolah untuk menyelamatkan iklim bumi? Arrant nonsense. Menurut penulis, peserta didik justru harus belajar dengan giat di sekolah untuk menjadi agen perubahan. Be change makers, not strikers. Sehingga, setelah mereka lulus, alumni ini akan menjadi anggota masyarakat yang memulai peyelamatan lingkungan dari dirinya sendiri. Bukan dengan mengungkit-ungkit kesalahan pihak lain di luar diri mereka.

Selain melakukan aksi mogok, Thunberg dan remaja-remaja lain juga hadir di berbagai konferensi tingkat tinggi dunia. Salah satu yang paling disorot adalah kehadirannya di UN Climate Summit tahun kemarin. Pada kesempatan itu, Thunberg melancarkan sebuah serangan emosional kepada para pemimpin dunia. Dengan raut wajah dan ekspresi yang dirundung amarah, kesedihan, serta ketakutan, Beliau mengatakan demikian (Gajanan dalam time.com, 2020):

How dare you? You have stolen my dreams and my childhood with your empty words, and yet, I'm one of the lucky ones. People are suffering. People are dying. Entire ecosystems are collapsing. We are in the beginning of a mass extinction and all you can talk about is money and fairy tales of eternal economic growth. How dare you?" 

Ketika kebanyakan kaum muda dunia bersimpati dengan pernyataan ini, penulis justru menjadi antipati. Mengapa? Sebab ini menunjukkan bahwa Thunberg (despite her brilliant intellect) sudah lupa akan sejarah. Apakah Beliau tidak mengetahui bahwa negara-negara komunis dengan ekonomi terpusat justru mengalami kerusakan lingkungan yang sangat parah? Kalau negara-negara dengan ekonomi terbebas justru memiliki kualitas lingkungan yang paling bagus? Sungguh mengecewakan.

Belum lagi kehadiran Beliau pada World Economic Forum (WEF) 2020 di Davos. Kali ini, Thunberg meminta pemimpin bisnis dan pemerintahan besar di dunia untuk segera mengakhiri penggunaan bahan bakar fosil (ecowatch.com, 2020).

Penulis sendiri setuju dengan pernyataan ini. Akan tetapi, ada kesan bahwa Thunberg ingin agar pemerintah memilih pemenang dalam persaingan energi. Sebuah venture yang berbahaya bagi kapitalisme pasar bebas.

Inilah yang tidak bisa diterima kebanyakan kalangan konservatif seperti penulis. Orang-orang yang peduli lingkungan, konservasionis konservatif yang ingin menyelamatkan lingkungan dengan aksi nyata.

Munculnya aksi dan retorika seperti ini memberikan kesan bahwa if you're against her movement or not joining her bandwagon, you're the enemy of our environment. Selain itu, posisi politik Beliau juga memberikan impresi bahwa gerakannya bernada pesimis, scare-mongering, dan anti-kapitalisme pasar bebas. 

Presenter otomotif ternama dunia dan mantan climate change skeptic, Jeremy Clarkson menjadi contoh dari sikap ini. Tahun kemarin, proses syuting serial Grand Tour: Seaman di Vietnam dan Kamboja mengubah sikapnya.

Kini, Beliau percaya dengan urgensi perubahan iklim dan dibutuhkannya berbagai inisiatif untuk mengatasinya. Bahkan, kini Beliau membangun sebuah peternakan sebagai upaya konservasi. Namun, Beliau melontarkan kalimat ini ketika ditanya tentang Greta Thunberg (driving.co.uk, 2019).

"Greta hasn't got any answers. 'Ooh, we're all going to die.' Right, tremendous. Now go back to school. But I genuinely hope people are working on what on earth to do about it." 

Pada kesempatan lain, Clarkson bahkan mendeskripsikan Thunberg sebagai mad and dangerous. Menurut penulis, Thunberg tidak gila, she's mentally healthy youth. Tetapi, penulis setuju bahwa Beliau berbahaya. Mengapa?

Ini berhubungan dengan dampak aksi, retorika, dan posisi politik Beliau. It played into the hands of climate change skeptics and environmental bigots within conservative groups. Suara dan pendirian mereka menjadi semakin dominan dengan munculnya Greta Thunberg. Semua media menyorot mereka. Sehingga, suara konservasionis yang rasional dan ingin menyelamatkan lingkungan ciptaan Tuhan terpinggirkan.

Dengan kata lain, argumen Greta Thunberg diperalat para climate change skeptics. Untuk apa lagi kalau bukan menjauhkan masyarakat dari upaya penyelamatan lingkungan.

Lantas, mereka semakin mampu membingkai isu ini dengan trade-off sederhana nan keblinger, "Kemakmuran melalui pertumbuhan ekonomi atau penurunan standar hidup untuk menyelamatkan lingkungan?" Kini, trik ini berhasil menipu banyak orang konservatif.

Hasilnya, isu lingkungan dan perubahan iklim menjadi semakin partisan. Dan Greta Thunberg menjadi polarisator terparah dari isu tersebut. Kini, semakin kuat stigma bahwa orang-orang konservatif/sayap kanan adalah bigots yang menentang ide perubahan iklim dan konservasi. Mereka hanya peduli soal kemakmuran materi. This is so far from the truth, yet Greta Thunberg foster this stigma among her sympathizers.

Lingkungan bumi ini tidak dimiliki oleh kelompok politik tertentu. Ia milik kita semua. Setiap individu harus menjaganya, tanpa peduli apa aliran politiknya. Namun, Greta Thunberg telah menghancurkan premis ini dengan polarisasi yang dilakukannya. Partisanship rushes in like a tsunami into environmental issues, thanks to her.

Padahal, kerja sama antar kelompok politik adalah kunci kesuksesan peradaban ini untuk menyelamatkan lingkungan dan menyelesaikan krisis iklim ini. Oh God help us all.

SUMBER
https://tekno.tempo.co/read/1250268/suarakan-climate-strike-greenpeace-indonesia-gelar-long-march. Diakses pada 26 Januari 2020.  
https://time.com/5684216/greta-thunberg-un-climate-action-summit-climate-speech/. Diakses pada 26 Januari 2020.
https://www.ecowatch.com/davos-thunberg-trump-climate-change-2644863489.html. Diakses pada 26 Januari 2020.
https://www.driving.co.uk/news/jeremy-clarkson-next-grand-tour-episode-will-eco-documentary/. Diakses  pada 26 Januari 2020.

Disclaimer: Tulisan ini sudah terbit di laman Qureta penulis (Link) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun