Selain uang, perayaan imlek juga melibatkan banyak makanan dan minuman. Setiap datang ke rumah saudara pasti disuguhkan makanan. Mulai dari cemilan seperti kue bolu sampai makanan berat seperti nasi uduk. Tentu makanan-makanan ini tidak datang dari langit. Umumnya, para ibu-ibu harus membeli bahan dari pasar/retailer, memasak, dan menyajikannya. Ia datang dari transaksi ekonomi di pasar. Bukan jatuh dari langit.
Begitu pula dengan minuman yang disajikan. Mereka datang dari berbagai macam merek dan rasa. Mulai dari teh melati dalam kemasan, soda, sampai minuman berkarbonasi disediakan. Dengan ini, konsumen melakukan permintaan efektif terhadap sebuah produk dari produsen tertentu.Â
Lantas, gabungan berbagai tradisi inilah yang memicu spending spree dalam perekonomian. Makin banyak masyarakat berbelanja, makin tinggi pendapatan yang diterima bisnis. Makin tinggi pula transaksi yang terjadi di pasar. Sehingga, pasar secara keseluruhan menjadi semakin dinamis.Â
Berkat dinamika kapitalisme ini, pedagang pernak-pernik imlek untung besar. Semakin banyak kesempatan usaha musiman yang muncul bagi individu yang kreatif dan entrepreneurial. Mulai dari bambu hoki, parsel, barongsai, buah segar, dan lain sebagainya.
Kesimpulannya, Kapitalisme Imlek di Indonesia adalah pemersatu, pendorong, dan pembuka kesempatan ekonomi. Ia mempersatukan orang-orang dari berbagai suku, ras, dan agama untuk ikut menikmati cuan dari diskon dan promo yang menjamur. Selanjutnya, pertumbuhan ekonomi juga didorong oleh spending spree konsumen sebelum dan setelah Imlek. Terakhir, kesempatan usaha musiman juga semakin luas bagi individu yang mau mencobanya.Â
SUMBER
Mine News. Diakses pada 24 Januari 2020.
Pojok Satu. Diakses pada 24 Januari 2020.
Disclaimer: Tulisan ini sudah terbit di laman Qureta penulis.
Link:Â https://www.qureta.com/next/post/kapitalisme-imlek-di-indonesia.