Dimulainya tahun 2020 menandai sebuah akhir bagi periode pertama rezim Trump. Kini, mereka harus menghadapi rakyat Amerika dan menguji legitimasi politik pemerintahannya.Â
Dengan kata lain, mereka harus mendapatkan mandat memerintah itu kembali dari rakyat. Dan rakyat itu kini terbelah, more divided and polarized than ever.
Terbelahnya Amerika terlihat dari tingkat kepuasan terhadap Presiden di antara simpatisan dua partai (Demokrat dan Republik). Di antara simpatisan Partai Republik, Trump selalu mendapatkan rating sebesar 85-90%.Â
Sementara, Trump hanya mendapat rating 5-10% di antara simpatisan Partai Demokrat. Artinya, ada kelompok yang benar-benar menyukai dan membenci presiden ini (news.gallup.com, 2020).
Menurut hemat penulis, ini sangat wajar. Sebab Trump sendiri adalah sosok kontroversial. Segala aksi personal dan politisnya selalu memecah belah opini masyarakat (divisive).Â
Mulai dari keputusan Beliau untuk membangun tembok di perbatasan AS-Meksiko, keluar dari Paris Agreement, tindakan pelecehan seksual di masa lalu, dan lain sebagainya. Sepertinya tidak ada tindakannya yang tak terlepas dari kontroversi.
Lantas, bagaimana sosok populis kutu loncat dapat menemukan panggung di partai Republik? Well, he didn't find a platform at the first place. He hijacked it. Trump membajak Partai Republik untuk mewujudkan agenda populis-nasionalisnya.Â
The Party of Lincoln and Reagan yang sejatinya berdiri untuk ideologi ekonomi liberal, konservatisme fiskal, dan konservatisme sosial berubah drastis. Kini, Trump menjadikannya sebuah partai dengan ideologi ekonomi populis, liberalisme fiskal, dan konservatisme sosial.
Singkatnya, Trump memindahkan partai Republik dari fiscal conservatism and social conservatism menuju fiscal liberalism and social conservatism. Beliau melakukannya untuk memenuhi keinginan konstituennya; The forgotten people yang tertinggal oleh globalisasi, liberalisasi ekonomi, namun konservatif secara sosial.Â
Sejak partai Republik melakukan bedol desa ideologis dan menang, partai Demokrat juga melakukan hal yang sama. If you can't beat them, well join' em menjadi premis yang berlaku.Â
Bedanya, jika partai Republik bergerak menjadi semakin populis-otoriter, partai Demokrat menjadi semakin progresif secara ekonomi dan sosial. Dengan kata lain, mereka bergerak ke kiri jalan.
Salah satu politisi yang memimpin bedol desa ini adalah Bernie Sanders. Beliau kini menjadi salah satu kandidat paling potensial untuk melawan Trump.Â
Bahkan, self-proclaimed socialist ini memeroleh rating tertinggi sebesar 20%, membalap nama-nama besar seperti Joe Biden, Elizabeth Warren, dan yang lainnya (Linly dalam theroot.com, 2020). Sebagai kandidat, kebijakan yang diusungnya sungguh berbeda dengan Democratic platform di masa lalu.
Jika disarikan, kebijakan-kebijakan Sanders terpusat pada satu hal; Mengurangi ketimpangan (inequality)Â dalam semua bidang. Dalam bidang ekonomi, Beliau ingin meningkatkan tarif pajak, menciptakan berbagai pajak baru, menaikkan gaji minimum, meningkatkan regulasi dan belanja pemerintah, serta memperluas welfare programs secara ekstensif. Sehingga, Beliau mengambil pendekatan Robin Hood; helping the poor more by taking more from the rich.Â
Selain itu, Beliau ingin melakukan berbagai reformasi sosial. Contohnya adalah pelegalan marijuana, Medicare-for-all, kuliah gratis, dan berbagai program liberalisasi sosial lainnya.Â
Dengan upaya ini, diharapkan masyarakat Amerika dapat menjadi lebih inklusif terhadap dinamika sosial yang muncul. Dengan kata lain, akan ada civil rights extension baru jika Beliau terpilih (Golshan dalam vox.com, 2019).
Dibandingkan dengan manifesto Demokrat di masa lalu, Sanders adalah seorang kandidat radikal. Bahkan, Beliau berani menyatakan dirinya sebagai democratic socialist.Â
Bayangkan jika Obama menyatakan dirinya begitu? Atau Bill Clinton? Bahkan Jimmy Carter? Bisa-bisa mereka dijungkalkan oleh rakyat Amerika sejak awal. Namun kini situasinya berbeda jauh. Socialism is an populist outcry among progressives.
Mengapa? Sebab pembajakan Trump menimbulkan radikalisasi di antara mereka. Kata "sosialisme" yang dulu dianggap setan kini meraih simpatik massa progresif. Moderasi dan pragmatisme yang dibawa oleh Carter sampai Obama sudah dianggap basi oleh mereka. Kini, mereka merasa sudah waktunya untuk menjadikan partai Demokrat a force for radical change. They're hijacking the soul of their own party for it.
Maka dari itu, jika Sanders berhasil memeroleh tiket partainya, cerita Pemilu AS 2020 akan menjadi sebuah drama kekuasaan yang seru. Sebuah pemilihan di mana dua kandidat populis dengan ideologi yang terpolarisasi bertarung untuk kursi kepresidenan. Trump pasti mengandalkan kartu truf kinerja ekonomi dan kredibilitasnya sebagai social conservative. Sementara, Sanders menggunakan isu masyarakat yang terpecah belah dan timpang sebagai isu untuk melawan Trump.
Jadi, meski Trump dan Sanders sangat berbeda sebagai kandidat, keduanya menggunakan strategi yang sama. Mereka membajak partai yang ada dan mengacak-acak ideologinya. Lantas, ideologi itu diacak-acak memenuhi aspirasi dan kebutuhan konstituen mereka yang anti-establishment. Trump punya the forgotten people, Sanders punya the radicalized progressives.Â
Mari kita lihat perkembangan ke depan. Semoga rasionalitas dan common sense menang dalam pemilu kali ini.
SUMBER
news.gallup.com. Diakses pada 12 Januari 2020.
theroot.com. Diakses pada 12 Januari 2020.
vox.com. Diakses pada 12 Januari 2020.
Disclaimer:Â Tulisan ini sudah diterbitkan di laman Qureta penulis. (Link:Â qureta.com)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI